Wednesday, December 09, 2015

Fikih Pilkada

Zamhasari Jamil
Dosen Fisipol  Universitas Abdurrab, Pekanbaru

Kata fikih rasanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam Wikipedia – Ensiklopedia Bebas, disebutkan bahwa fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.

Pilkada serentak yang akan dilangsungkan di akhir tahun 2015 disinyalir oleh sebagian masyarakat sebagai pilkada yang tak terlalu menghentakkan. Hal itu dirasakan oleh sebagian masyarakat terutama yang di daerahnya belum atau tidak melangsungkan pelaksanaan pilkada di penghujung tahun 2015 ini, kemudian sebagian masyarakat yang lain juga sudah bersikap apatis atau tak peduli lagi dengan perhelatan demokrasi di republik ini. Padahal, ilmuan politik Indonesia, almarhumah Miriam Budiardjo (1923-2007) sudah mengingatkan bahwa pemilihan umum merupakan tolok-ukur untuk menakar demokrasi suatu bangsa. Dari situ, penulis berpandangan bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa dapat ditilik dari partisipasi dan perilaku politik masyarakat itu sendiri.

Helat pilkada serentak yang tidak terlalu menggema seperti helat pileg dan pilpres 2014 silam juga disebabkan oleh pemahaman sebagian masyarakat yang tidak maksimal tentang keberadaan pilkada serentak pada tahun ini. Tulisan ini  sengaja diketengahkan sebagai bentuk kerisauan penulis melihat dinamika perilaku politik dan partisipasi pemilih yang seolah sedang mati suri, sekaligus sebagai bentuk partisipasi penulis dalam mentafaqquhkan atau memperdalam pemahaman masyarakat mengenai pilkada itu sendiri. 

Kewajiban Memilih

Sebagai masyarakat yang masih memegang teguh kepada ajaran agama, terutama Islam, pastilah menjadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber kemaslahatan bagi umat ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal pemilihan pemimpin ini, ada banyak pesan nabi yang patut dijadikan sandaran dan pedoman. Diantaranya, sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Umar berikut: “Apabila kamu dalam perjalanan, walau di padang pasir, maka hendaklah memilih salah seorang sebagai pemimpin”. Nabi SAW, seperti yang diriwayatkan oleh  Abu Dawud dari Abi Sa’id al-Khudri juga berpesan , “Bila tiga orang dari kalian melakukan perjalanan, maka kalian harus memilih pemimpin di antara kalian”.

Di lain hadits, Rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR: Imam Ahmad dari Ibnu Umar). Dengan berpedoman kepada beberapa hadits shahih di atas, dapatlah disimpulkan bahwa berpartisipasi dalam memberikan suara politik dan menggunakan hak pilih dalam perhelatan pemilu, termasuklah pada pilkada ini adalah wajib hukumnya, mengingat bahwa suara dan hak pilih yang kita fungsikan itu akan menentukan nasib dan langkah pemimpin kita selanjutnya sesuai dengan batas waktu yang diamanatkan oleh undang-undang. 

Sebagai bagian dari masyarakat yang akan dipimpin oleh seorang pimpinan hasil produk pilkada, tentulah masyarakat tak mau dipimpin oleh orang yang tidak patut untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Dalam menentukan calon pemimpin yang akan dipilih oleh masyarakat itu, Nabi SAW seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh al-Hakim menegaskan, “Barangsiapa yang memilih seseorang (pemimpin), sedang ia mengetahui bahwa ada orang (pemimpin) yang lebih wajar (pantas, patut) dari yang dipilihnya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat kaum muslimin”. Rasulullah SAW juga mengisyaratkan siapa yang harus dipilih, “Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atau penguasa atas kalian”.

Dalam tatanan sebuah bangsa yang mengadopsi sistem demokrasi seperti Indonesia, bahwa bersikap apolitik atau memilih berada di lingkaran golongan putih (golput) sah-sah saja sebagai suatu pilihan politik bagi masyarakat yang bersangkutan, namun sikap golput itu juga bukan merupakan solusi yang terbaik untuk mendapatkan pemimpin yang baik.

Syarat Normatif Fikih

Lantas, apa saja syarat normatif pemimpin a la fikih yang patut dijadikan pedoman bagi pemilih dalam proses pemilihan itu. Pertama, pemimpin haruslah orang yang memiliki nilai-nilai religius yang kuat (beriman), menyandarkan segala kebijakannya pada landasan agama (QS. at-Taubah:23). Kedua, memiliki ilmu dan pemahaman yang luas serta kondisi fisik yang kuat. (QS. al-Baqoroh: 247). Seorang pemimpin yang dipilih itu idealnya pemimpin yang visioner, mampu melihat jauh ke depan tentang masa depan yang lebih baik dan berkualitas tinggi untuk rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Memiliki kemampuan dan pemahaman untuk menyerap aspirasi rakyat, memberikan inspirasi positif kepada masyarakat serta mengimplentasikan kebijakan-kebijakan yang mengandung kemaslahan bagi rakyat banyak, bukan kebijakan yang membuka ruang pertengkaran fisik maupun emosi dan mental sosial.   

Ketiga, memiliki kemampuan untuk memelihara aset negara (QS. Yusuf: 55). Krisis multi-dimensi baik moril maupun materil yang sedang melanda republik ini membutuhkan sosok pemimpin dinamis yang mampu membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan dari segala sisi. Sosok pemimpin yang mampu memutus rantai perilaku koruptif anak bangsa menjadi idaman yang diharapkan lahir dari proses pilkada 2015 ini. Bila sembilan pasangan kepala daerah kabupaten/kota dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang terpilih hasil pilkada 2015 memiliki azam dan tekad yang kuat (political will) untuk menghapuskan tradisi koruptif dalam kehidupan politik dan pemerintahan di wilayah ini, maka lima tahun mendatang, wilayah Riau akan mencapai level 75% betul-betul bebas prilaku koruptif.  

Keempat, orang yang kuat dan mempunyai integritas serta betul-betul dapat dipercaya (QS. Al-Qashash:  26).  Debat publik antar pasangan calon yang maju pada pilkada dan difasilitasi oleh penyelanggara pemilihan (KPUD/Panwaslu) itu tak lain dan tak bukan untuk melihat sejauh mana visi misi pasangan calon. Meski tak dipungkiri bahwa ada sebagian dari visi misi pasangan calon itu bukanlah berasal dari hati nurani pasangan calon terkait, melainkan hasil rumusan tim ahli ataupun tim sukses pasangan calon semata. Sungguhpun demikian, kegiatan debat publik yang kegiatannya dianggarkan oleh negara yang dananya juga berasal dari rakyat, sudah sepantasnya dimaksimalkan sebaik mungkin sehingga dapat menjadi sarana dan rujukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan ke depan. Sehingga, kesempatan debat publik tidak digunakan untuk saling hujat, cemeeh, apalagi jatuh-menjatuhkan.

Perlu dihayati kembali bahwa jabatan yang diemban pasti ada masa berlakunya. Oleh karenanya, sudah semestinya pemilih memberikan suaranya kepada orang yang patut pula. Pasangan calon yang terpilih dapat menjadikan jabatan yang diampunya sebagai sarana untuk memperbaiki dan meningkatkan komunikasi vertikal dengan Tuhan pemilik hakiki semua jabatan, sekaligus sebagai jembatan horizontal untuk menggapai puncak kejayaan dan meraih kemenangan bersama antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Bagi pemilih, memilihlah dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Semoga pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang diridhoi oleh Tuhan. Mari mewaspadai pemilih dan suara siluman, karena pemimpin hasil siluman akan menjerumuskan kita ke masa depan yang suram.[]

Read more!

Monday, November 30, 2015

Pilkada dan Peradaban Politik

Oleh: Zamhasari Jamil
Dosen Fisipol Universitas Abdurrab, Pekanbaru
(Tulisan ini telah dimuat di Riau Pos, 30 November 2015)

Pilkada serentak 2015 memiliki keistimewaan tersendiri, di mana helat ini merupakan yang pertama sekali dilakukan dalam catatan sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia. Sedikit banyaknya, sebagian masyarakat masih tetap menaruh harapan besar bahwa melalui pilkada yang serentak ini akan membawa pencerahan baru bagi kualitas kehidupan masyarakat yang turut berpartisipasi dalam memberikan suara dan hak pilihnya pada hari di mana pemilihan akan dilangsungkan.

Dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing tersebut, masyarakat sebagai pemilik suara dan pemegang hak pilih mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan pemimpin untuk daerahnya. Di era keterbukaan informasi yang sudah cukup luas ini, di mana masyarakat dapat memperoleh dan mengakses beragam informasi mengenai rekam jejak pasangan calon kepala daerah dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, sudah saatnya masyarakat untuk tidak mudah terpedaya oleh bermacam metode mengais suara pemilih melalui beberapa istilah yang sudah populer di kalangan masyarakat, seperti serangan fajar, serangan dhuha, atau salaman di tempat pemungutan suara (TPS).

Pemimpin yang dihasilkan melalui produk serangan dan salaman tersebut sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang tidak akan pernah amanah dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah (RA) berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kehancurannya,’ Abu Hurairah pun bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kehancurannya!”.

Dengan demikian, bagi penulis, kehancuran suatu bangsa atau suatu daerah tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor ulah pemimpinnya yang tidak ahli dan tidak amanah, tapi juga oleh faktor pemilih pemimpin tersebut yang juga tidak amanah dan tidak istiqomah, tidak punya pendirian yang diridoi Tuhan. 

Peradaban Politik Bermartabat

Pendiri bangsa Indonesia telah memberikan dasar-dasar peradaban politik kepada generasi penerus bangsa untuk terus dikembangkan dan dilestarikan demi kemajuan bangsa Indonesia. Bermula dari amandemen UUD 1945 pasca reformasi 1998, perjalanan dan peradaban politik di tanah air terus menunjukkan ke arah perbaikan yang cukup signifikan walau masih belum menemukan jati diri politik Indonesia yang sesungguhnya.

Perhelatan pilkada serentak 2015 ini sebagai upaya menuju kepada pembangunan peradaban politik yang mumpuni sehingga layak untuk dikenang sepanjang zaman. Masyarakat tak memungkiri berbagai bentuk prestasi pembangunan dari berbagai sisi yang diukir oleh putra-putri terbaik bangsa ini, namun masyarakat juga dipersaksikan dengan adegan, aksi dan ulah sebagian anak bangsa yang terus menggerogoti bangsa ini.

Pemberitaan negatif mengenai bangsa ini yang dikomsumsi oleh publik atau masyarakat Indonesia tidak berbanding lurus dengan pemberitaan positif sebagaimana mestinya. Mantan Presiden India, APJ Abdul Kalam pernah mengingatkan masyarakat India agar senantiasa mengikuti pemberitaan positif tentang negaranya guna membangun semangat kepercayaan diri bangsa. Di Indonesia, pemberitaan positif dari para pemimpin nampaknya sudah menjadi isu langka. Masyarakat pun sudah cerdas memilih informasi dan berita sehingga tak mudah terpengaruh oleh suguhan pemberitaan yang bersifat advetorial belaka.   

Pilkada serentak yang hari pelaksanaannya sudah sangat dinantikan, diharapkan dapat melahirkan pemimpin daerah yang amanah dengan tugas dan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Sebagai bangsa dengan ideologi Pancasila yang salah satu silanya adalah berketuhanan yang maha esa, maka sudah saatnya pemilih memberikan hak pilihnya sesuai dengan tata cara yang sedapat mungkin diridoi oleh Tuhan, sekaligus pasangan calon kepala daerah pula dapat berkompetisi dengan cara-cara yang juga diridoi Tuhan.

Tak ada istilah suara rakyat suara Tuhan, sebab suara Tuhan tak pernah salah. Bila proses pemenangan pasangan calon tersebut diawali dengan proses serangan itu-ini, salaman sana-sini, maka itu sama saja dengan suara rakyat suara siluman. Seorang Nabi saja, yang pengutusan dan penunjukannya langsung berasal dari Tuhan, masih tetap saja ada kaum atau rakyatnya yang berbuat zalim dan durhaka kepada Tuhan, apalagi sepasang kepala daerah yang juga dipilih oleh manusia, sangat memungkinkan di kemudian hari terjadinya pembangkangan dan penolakan dari masyarakat yang sebelumnya telah memilihnya.

Yang pasti, masyarakat terus menanti inovasi dan kreasi positif dari para pemimpinnya yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan produktif yang dapat mengubah taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Masyarakat tak menghendaki pemimpin yang zalim, sehingga mendorong masyarakat untuk berlaku zalim pula sesamanya. Sebab, bila pemimpin zalim sudah menguasai suatu negeri, maka suatu saat peradaban politik yang sedang kita coba ukir ke arah yang baik ini akan hilang dan tenggelam dalam kemurkaan Tuhan, sama seperti kisah peradaban bangsa-bangsa yang terdahulu.

Terhadap pilkada yang hanya menunggu hitungan hari, mari kita semua turut berpartisipasi dan sama-sama kita awasi pelaksanaannya untuk masa depan peradaban politik Indonesia yang bermartabat, layak dikenang hingga akhir zaman.

Read more!

Sunday, January 18, 2015

Pendidikan dan Hak Konstitusional Anak Bangsa

Oleh: Zamhasari Jamil
Ketua Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru.

Dalam suatu kunjungan ke sebuah sekolah menengah di wilayah Gujarat, India, Presiden India Dr. A.P.J. Abdul Kalam (2002-2007) ditanya oleh seorang siswa: “Bapak Presiden, siapakah yang menjadi musuh kita?” Terhadap pertanyaan ini, Presiden memberikan respon positif dengan mengatakan: “Ini adalah pertanyaan yang bagus sekali.” Sang Presidenpun meminta siswa/siswi yang lain untuk memberikan jawaban terlebih dahulu. Dari sekian banyak jawaban yang dikemukakan oleh para siswa, Presiden Abdul Kalam sangat terkesan dengan jawaban dari siswi yang bernama Snehal Thakkar yang mengatakan:  “Musuh kita adalah kemiskinan.” Setelah pertemuan dan dialog ini berlangsung, sang Presiden akhirnya menuangkan ide-ide kreatif dan inspirasi-inspirasi fenomenalnya untuk dikonsumsi oleh para siswa/siswi di seluruh India melalui sebuah buku yang berjudul Ignited Minds - Unleashing the Power Within India, terbit tahun 2002.

Dalam pandangan Abdul Kalam, Presiden India yang ke-11 ini, bahwa salah satu jalan atau cara mengurangi angka kemiskinan di negara itu adalah dengan menyiapkan generasi masa depan bangsa melalui jalur pendidikan. Bangsa India yakin sepenuhnya bahwa pendidikan memiliki peran yang cukup besar untuk mensejahterakan bangsanya di masa yang akan datang. Itulah sebabnya India memberikan perhatian yang cukup serius untuk masalah ini. Sehingga penerapan program pendidikan dasar gratis dari jenjang SD sederajat hingga SMA sederajat bukan lagi cerita baru di India. Bahkan di Perguruan Tinggi di India itu, semakin tinggi strata yang ditempuh, maka semakin murah pula biaya pendidikannya. Pemerintah India juga berani menawarkan beasiswa bagi mahasiswa asing yang hendak belajar di negaranya, yang pada tahun 2015 ini informasi selengkapnya dapat diunduh dari: http://www.indianconsulatemedan.com/content/general-cultural-scholarship

Hak Konstitusional Warga Negara

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, sebagai rakyat kita dihadapkan pada suatu dilema benang basah yang kusut. Padahal, pendidikan bagi setiap anak bangsa Indonesia ini adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara melalui amandemen UUD 1945, pasal 32 Ayat 1 yang menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat 2 menyatakan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Idealnya, siapapun di republik ini menyandang status warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan secara merata. Karena itulah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggraan Pendidikan yang berbunyi; “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Hal ini juga tercantum dalam Bab IV Pasal 5 Bagian Kesatu tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara yang berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau  sosial berhak memperoleh pendidikan khusus; (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Sayangnya, implementasi dan penerapan amanat Undang-Undang ini tidaklah berjalan mulus seperti yang kita hajatkan. Pendidikan yang tidak diskriminatif, yang demokratis dan berkeadilan itu masih sebatas angan-angan dan masih jauh dari harapan. Padahal anggaran dana yang diserap untuk pendidikan ini cukup besar sekali. Sebagai contoh kecil saja, pengeluaran biaya untuk pelaksanaan Ujian Nasional bisa mencapai Rp 600 miliar. Begitu pula dengan anggaran awal revisi Kurikulum 2013 sebelumnya yang kemudian membengkak mencapai Rp 1,4 triliun lebih, dengan perincian anggaran pencetakan buku Rp 1,03 triliun dan biaya pelatihan guru Rp 422 miliar. Pertanyaan sederhananya adalah: apa manfaat yang didapat oleh rakyat setelah pemerintah mengeluarkan dana sebanyak itu? Siswa/siswi peraih nilai UN terbaik di masing-masing sekolahnya juga tidak ada jaminan baginya untuk mendapatkan pendidikan lanjutan yang layak. Bahkan tidak dipungkiri bahwa di sebagian lembaga pendidikan termasuk lembaga atau perguruan tinggi ada praktek-praktek komersialisme pendidikan disitu.

Posisi Kualitas Pendidikan
 
Adalah wajar bila kita turut risau terhadap pendidikan di negeri ini. Kerisaun ini bukan tidak beralasan, sebab bila dilihat dari Indeks Perkembangan Pendidikan (Education Development Index) yang dikeluarkan oleh UNESCO dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini, Indonesia menempati urutan posisi 70-an dari 120 negara. Untuk kawasan Asia saja, kualitas pendidikan di negara kita ini masih jauh tertinggal walaupun hanya dibandingkan dengan Brunei Darussalam, yang menempati posisi ke-34, dan Malaysia (posisi ke-65). Banyak faktor memang yang membuat kualitas pendidikan kita jauh terpental ke belakang. Perilaku koruptif yang menggerogoti setiap item anggaran pendidikan adalah salah satu faktor saja, masih banyak sebenarnya faktor-faktor yang lain. Tak heran bila gelar “juara bertahan” pemuncak negara korup di Asia masih dipegang oleh Indonesia.

Di sisi lain, tengok pula tindak kriminalitas yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga survey tahun 2012 lalu. Diantaranya, penyalahgunaan narkoba di Indonesia sebanyak 50 – 60% dilakukan oleh remaja. Tindak Asusila, sebanyak 64% remaja menonton video porno, 39% diantaranya sudah berhubungan seks di luar nikah, bahkan 90% video porno diperankan oleh remaja, lalu terdapat 500ribu kasus aborsi oleh remaja, bahkan sekitar 150.000 remaja menjadi pelacur. Begitu pula dengan kekerasan remaja, 339 kasus tawuran pelajar sudah menelan korban jiwa sebanyak 82 remaja, geng motor pun sudah menewaskan 60 orang dengan adanya ajang perjudian di setiap balap liar yang bernilai jutaan rupiah. Lantas, masihkah kita menutup mata dengan realita dan kenyataan yang begitu pahit ini?

Kembali ke Filosofi Dasar

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Setidaknya kita harus kembali kepada filosofi awal dasar pendidikan nasional kita, dimana Bapak Pendidikan Indonesia Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau sejak 1922 lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959) yang telah mempelopori berdirinya  Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada zaman itu. Sehingga semoboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani dapat dihidupkan kembali. Tentu, semua kita berharap bahwa: di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik; di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide; serta dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.

Bila di Indonesia ada Ki Hadjar Dewantara, ternyata di India pula dikenal ada Rabindranath Tagore (7 May 1861 – 7 August 1941), pelopor pendidikan di India dengan perguruan (ashram) Shriniketan (di daerah Santiniketan) yang juga sama-sama memperjuangkan hak pendidikan bagi masyarakat India. Komposer lagu kebangsaan India "Jana Gana Mana" ini merupakan tokoh pertama selain bangsa Eropa yang meraih Hadiah Nobel dalam bidang Literatur tahun 1913. Nah, jika di India itu sudah terbangun filosofi dan dasar, arah dan tujuan pendidikan nasional-nya secara kokoh, sehingga tidak lagi terjadi "bongkar-pasang" kurikulum dan sebagainya yang tentunya menelan anggaran yang tidak sedikit, maka seharusnya di Indonesia ini juga harus seperti itu. Dengan demikian, pergantian roda pemerintahan tidak pula harus membongkar total sistem pendidikan kita, karena sebenarnya "kartu" untuk mensejahterakan rakyat, bangsa Indonesia di masa yang akan datang itu ada pada pendidikan yang diberikan kepada generasi kita hari ini. [*]

Read more!

Friday, September 26, 2014

Kontradiksi Politik Kebijakan Elit

Oleh: Zamhasari Jamil MA

Kata kontradiksi /kon-tra-dik-si/ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan (lihat: http://kbbi.web.id/kontradiksi). Sedangkan kata politik /po-li-tik/ dapat pula bermakna segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (lihat: http://kbbi.web.id/politik). Dengan demikian, secara sederhana pula penulis memaknai kata kontradiksi politik sebagai suatu tindakan atau kebijakan yang sangat berlawanan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Setidaknya ada dua kabar yang menghebohkan masyarakat Indonesia di akhir pekan ini. Pertama, Gubernur Riau Anas Maamun "berurusan" dengan lembaga anti rasuah (KPK). Dalam banyak kesempatan, Gubri sebagai elit politik selalu mengingatkan jajarannya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menyebabkan timbulnya perkara dan urusan dengan lembaga anti rasuah tersebut. Tentu sebagai masyarakat, kita mengapresiasi langkah kebijakan berupa peringatan yang dikeluarkan oleh pemimpin nomor satu di Riau ini.

Karena itu, adalah cukup mengejutkan memang saat kita mendapatkan kabar bahwa tokoh yang selalu mengingatkan jajarannya dan termasuk kita sebagai rakyatnya ini, malah berurusan dengan lembaga anti rasuah itu sendiri.  Dalam menghadapi kabar ini, masyarakat sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk menyelidiki dan menyelesaikan kasus yang disangkakan kepada Gubri tersebut. Masyarakat harus yakin bahwa keadilan adalah bagian dan hak azasi manusia yang  harus didapat oleh siapapun juga. Dengan demikian, bila sangkaan yang ditimpakan kepada Gubri tak terbukti, tentu Gubri akan dapat meneruskan roda kepemimpinannya untuk memajukan Provinsi Riau ini. Penulis yakin bahwa doa dan harapan masyarakat Riau umumnya agar pembangunan di Riau ini tetap terus dapat dilaksanakan. Namun, jika KPK mendapatkan bukti atas sangkaannya itu, dan Gubri telah melakukan suatu pertentangan antara ucapan dan tindakannya, maka dalam realita politik, inilah yang disebut sebagai kontradiksi politik.

Kedua, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) menjadi UU Pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada pukul 01.50 WIB dini hari Jumat, 26 September 2014. Inti dari RUU Pilkada itu adalah apakah pemilihan kepala daerah masih dapat dilaksanakan secara langsung seperti 10 tahun terakhir ini atau harus dikembalikan lagi pemilihannya di DPRD saja. Gagasan pilkada secara langung itu didukung oleh F-PDIP dan koalisinya, sedangkan gagasan pilkada yang harus dikembalikan ke DPRD lagi didukung oleh partai-partai politik yang bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).

Pengesahan UU tersebut berjalan alot dan melalui perdebatan yang cukup panjang dengan memutuskan bahwa Pilkada akan dikembalikan lagi pelaksanaannya di DPRD. Maka konsekwensi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada itu adalah tamatnya riwayat partisipasi masyarakat untuk memberikan hak politik suaranya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Yang jelas, pemerintah RI yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri turut menyaksikan juga proses pengesahan RUU Pilkada tersebut dan dalam sambutannya juga dapat menerima hasil keputusan dalam sidang paripurna itu.

Hal yang cukup menarik perhatian penulis adalah sikap dan kebijakan Fraksi Demokrat (F-Demokrat) yang menawarkan opsi boleh melakukan pilkada langsung dengan beberapa catatan khusus dan kebijakan yang ditawarkan itu kemudian disambut baik oleh Fraksi PDI-P dan koalisinya, kemudian di detik-detik terakhir saat pengambilan keputusan suara (voting), F-Demokrasi melakukan aksi dan manuver politik yang mengejutkan gedung Senayan dan masyarakat Indonesia yang sedang menyaksikannya dengan memilih kebijakan walk-out dengan pernyataan sebelumnya adalah bahwa F-Demokrat atas nama kesejahteraan rakyat Indonesia akan menerima dan menghormati segala keputusan yang diambil dan ditetapkan dalam sidang paripurna yang terhormat itu. 

Aneh bin ajaibnya, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum Partai Demokrat yang juga merupakan presiden RI, saat itu berada dalam acara kunjungan kenegaraan di Amerika Serikat juga terkejut (atau seolah-olah terkejut) dengan sikap F-Demokrat yang melakukan manuver politik walk-out dari sidang paripurna sekaligus tidak bisa menerima keputusan akhir dari UU Pilkada yang proses pelaksanaannya akan dikembalikan lagi ke DPRD. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tidak ada komunikasi yang akurat antara F-Demokrat dengan Ketua Umum Demokrat terlebih dahulu? Apakah tidak ada komunikasi yang tepat antara Mendagri dan Presiden RI sebelum Mendagri menyampaikan sambutannya? Padahal, semua alat komunikasi canggih tengah ada dalam genggaman tangan mereka.

Tontonan dan aksi teatrikal politik para elit di negeri ini telah membuktikan adanya kontradiksi politik dalam semua aspek kebijakan yang dibuatnya. Sehingga, lahirlah kebijakan yang seolah-olah mementingkan kehidupan rakyat, tapi realita dan fakta yang ada adalah menggentingkan kehidupan rakyat banyak. Padahal pencitraan politik yang bertujuan semata-mata untuk menarik simpati rakyat adalah kisah basi yang tak perlu diragi kembali. Untuk kaum elit yang menetaskan kebijakan-kebijakan penting di negeri ini, patutlah disematkan senandung irama: kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Idealnya, pemimpin dan setiap pribadi dan jiwa yang merasa sebagai pemimpin haruslah menghayati sindiran Tuhan (Q.S. Al-Shaff: 2-3) berikut ini: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Zamhasari Jamil MA, Ketua Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab, Pekanbaru.

Read more!

Sunday, October 27, 2013

Moral DPR dan Tanggung Jawab Parpol


Oleh: Zamhasari Jamil

Nama-nama calon anggota legislatif (Caleg) yang diajukan oleh Partai Politik (Parpol) untuk “bertarung” pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mendatang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seperti Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, karakteristik nama-nama Caleg yang muncul tersebut tak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. Nama-nama Caleg yang tampil masih didominasi oleh anggota DPR petahana (incumbent), selebritis, keluarga dan kerabat pejabat di pemerintahan. Di tingkat pusat, setidaknya ada 15 orang diantara Caleg tersebut merupakan keluarga dekat Presiden SBY dan ada 4 orang pula yang merupakan keluarga dekat Rhoma Irama. Kenyataan ini memperkuat keyakinan masyarakat bahwa perpolitikan di Indonesia ini masih lekat dengan uang, hubungan keluarga dan kekuatan lama, sehingga perpolitikan di republik ini belum mengedepankan kapasitas, kapabilitas atau kemampuan, pengalaman dan keunggulan yang dimiliki oleh seseorang.

Ada beberapa hal yang menyebabkan perpolitikan di negeri kita ini terkesan tidak tertata rapi: Pertama, penerapan aturan hukum yang masih lemah. Peraturan yang berkaitan dengan Pemilu selalu saja berubah-ubah dalam setiap pemilihan, tergantung selera dan kepentingan para pembuat aturan tersebut, dan tidak pula mendasarkan peraturan yang dilahirkan itu kepada proses pendewasaan demokrasi di negeri ini. Itulah alasan mengapa politik di negeri ini masih dalam tahap konsolidasi walaupun sudah 15 tahun reformasi. Jadi, lemahnya aturan hukum ini membuat para politikus leluasa untuk mengekploitasi hukum sesuai dengan kepentingan mereka. Penulis dapat mengatakan bahwa perusak hukum di negeri kita adalah mereka yang telah merumuskan dan melahirkan hukum itu sendiri.

Kedua, prilaku pemilih yang masih “gila idola”. Akhir-akhir ini ada kecenderungan peralihan prilaku pemilih di Indonesia yang pada awal-awal reformasi masih mengutamakan paham atau aliran kesepahaman (untuk tidak mengatakan aliran kepercayaan dan aliran keyakinan). Sebagai contoh, pada awal-awal reformasi ada partai baru yang berlandaskan kepada agama tertentu sangat mendapat tempat di hati pemilih (rakyat), namun seiring dengan bergulirnya waktu saat petinggi partai tersebut tersandung kasus hukum, maka tak sedikit yang mencela dan merasa menyesal karena telah menyanjung dan memuja partai itu secara berlebihan. Lihat saja misalnya dalam Pilgubri putaran I pada 4 September 2013 lalu, Cagubri yang diusung oleh partai yang selama ini dikenal bersih dan jauh dari “zona syubhat” tak lagi mendapat tempat di hati rakyat.

R. William Liddle, profesor Ilmu Politik di Ohio State University, Amerika Serikat dan juga pakar ke-Indonesia-an mengungkapkan bahwa karakteristik prilaku pemilih Indonesia lebih mengedepankan popularitas figur dan ketokohan seseorang ketimbang ideologi partai pengusung Caleg yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa figur-figur selebritis, mereka yang akrab dengan media terutama televisi dan juga keluarga politikus dan pejabat yang sedang berkuasa memiliki peluang dan tingkat kemungkinan terpilih dalam Pemilu lebih besar karena memang mereka sudah memiliki popularitas yang cukup memadai. Modal popularitas ini pulalah yang tidak menafikan sebagian Parpol untuk mengusung Caleg-caleg yang sudah punya nama ini, selain mengharapkan kapital yang akan menghidupkan mesin Parpol tersebut. Parpol tak usahlah memungkiri karena memang tak ada Parpol yang tidak mengharapkan kapital dari setiap Caleg yang diusungnya. Walaupun mungkin tidak “diminta” ketika masih dalam proses pencalonan, tapi bisa saja harus “menyetor lebih” kepada Parpol pengusungnya bila sudah duduk di “rumah perwakilan rakyat” itu nantinya.

Ketiga, tanggung jawab Parpol yang tak jelas. Kasus hukum yang menyeret banyak petinggi Parpol akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tanggung jawab Parpol terhadap kader-kadernya tidak ada sama sekali dan itu terlihat sangat jelas. Adapun memberhentikan kader atau meminta kader yang terlibat kasus hukum untuk mundur atau berhenti bukanlah merupakan sikap arif dan bijaksana Parpol, sebaliknya itu merupakan tindakan “cuci tangan” Parpol.

Masing-masing Parpol pastilah berusaha sekuat mungkin untuk menjadikan Parpolnya tetap “berkibar” dan selalu berada di puncak.  Tentu saja, memenangi Calegnya dalam Pemilu dan mendanai Parpol ini agar tetap berjalan sesuai dengan harapan tertingginya selalu menjadi perhatian utama. Dan kesempatan yang paling besar itu ada bila Parpol mencalonkan mereka yang memang sudah punya nama dan populer di hadapan masyarakat. Proses dan mekanisme seleksi Caleg dan mempromosikan kader Parpol untuk maju di Pemilihan Legislatif apalagi dengan memandang dan mengedepankan kualitas Caleg belumlah menjadi prioritas utama bagi sebagian Parpol di negeri ini.              

Idealnya, bila Parpol betul-betul ingin mendapatkan Calegnya yang berkualitas dan memiliki integritas yang baik, maka Parpol haruslah terbuka dalam proses seleksi dan merekrut calon-calon yang ada secara terbuka, tidak semata-mata memandang popularitasnya semata. Parpol haruslah menayangkan background Caleg yang diusungnya itu sehingga pemilih betul-betul dapat mengenal siapa Caleg yang patut dan layak untuk mewakili suaranya di gedung Dewan tersebut. Tidak seperti yang selama ini terjadi: asal pilih saja. Mana Caleg yang sering terdengar namanya dan sering muncul di layar kaca, maka dialah yang dipilih, walaupun umumnya pemilih di negeri kita ini tak mengetahui secara jelas dan pasti background Caleg yang dipilihnya itu.

Pemilih tak ada pilihan lain terhadap semua Caleg yang diusung oleh Parpol selain memilih salah-satu diantara Caleg yang ada. Kehati-hatian dan ketelitian Parpol dalam mengusung Calegnya adalah sesuatu yang dinantikan oleh Pemilih Indonesia dalam rangka mendapatkan Perwakilan Rakyat yang betul-betul berkualitas. Pada dasarnya, moral Caleg yang kemudian terpilih menjadi Dewan Perwakilan Rakyat itu adalah tanggung jawab partai, karena Parpol-lah yang telah mengusung mereka. Sedangkan rakyat hanya dihadapkan pada pilihan: memilihnya atau tidak memilihnya sama sekali.   

Zamhasari Jamil, Ketua Laboratorium dan dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru.

Read more!