Zamhasari
Jamil
Dosen Fisipol Universitas Abdurrab, Pekanbaru
Kata
fikih rasanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam Wikipedia –
Ensiklopedia Bebas, disebutkan bahwa fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam
syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun
kehidupan manusia dengan Tuhannya. Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih
berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.
Pilkada
serentak yang akan dilangsungkan di akhir tahun 2015 disinyalir oleh sebagian
masyarakat sebagai pilkada yang tak terlalu menghentakkan. Hal itu dirasakan
oleh sebagian masyarakat terutama yang di daerahnya belum atau tidak
melangsungkan pelaksanaan pilkada di penghujung tahun 2015 ini, kemudian
sebagian masyarakat yang lain juga sudah bersikap apatis atau tak peduli lagi
dengan perhelatan demokrasi di republik ini. Padahal, ilmuan politik Indonesia,
almarhumah Miriam Budiardjo (1923-2007) sudah mengingatkan bahwa pemilihan umum
merupakan tolok-ukur untuk menakar demokrasi suatu bangsa. Dari situ, penulis
berpandangan bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa dapat ditilik dari
partisipasi dan perilaku politik masyarakat itu sendiri.
Helat
pilkada serentak yang tidak terlalu menggema seperti helat pileg dan pilpres
2014 silam juga disebabkan oleh pemahaman sebagian masyarakat yang tidak
maksimal tentang keberadaan pilkada serentak pada tahun ini. Tulisan ini sengaja diketengahkan sebagai bentuk kerisauan
penulis melihat dinamika perilaku politik dan partisipasi pemilih yang seolah
sedang mati suri, sekaligus sebagai bentuk partisipasi penulis dalam
mentafaqquhkan atau memperdalam pemahaman masyarakat mengenai pilkada itu
sendiri.
Kewajiban Memilih
Sebagai
masyarakat yang masih memegang teguh kepada ajaran agama, terutama Islam,
pastilah menjadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber
kemaslahatan bagi umat ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal
pemilihan pemimpin ini, ada banyak pesan nabi yang patut dijadikan sandaran dan
pedoman. Diantaranya, sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Bazzar dari Ibnu Umar berikut: “Apabila kamu dalam perjalanan, walau di
padang pasir, maka hendaklah memilih salah seorang sebagai pemimpin”. Nabi SAW,
seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Abi Sa’id al-Khudri juga berpesan , “Bila tiga orang dari kalian melakukan
perjalanan, maka kalian harus memilih pemimpin di antara kalian”.
Di
lain hadits, Rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang
yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka
sebagai pemimpin.” (HR: Imam Ahmad dari Ibnu Umar). Dengan berpedoman kepada
beberapa hadits shahih di atas, dapatlah disimpulkan bahwa berpartisipasi dalam
memberikan suara politik dan menggunakan hak pilih dalam perhelatan pemilu,
termasuklah pada pilkada ini adalah wajib hukumnya, mengingat bahwa suara dan
hak pilih yang kita fungsikan itu akan menentukan nasib dan langkah pemimpin
kita selanjutnya sesuai dengan batas waktu yang diamanatkan oleh undang-undang.
Sebagai
bagian dari masyarakat yang akan dipimpin oleh seorang pimpinan hasil produk
pilkada, tentulah masyarakat tak mau dipimpin oleh orang yang tidak patut untuk
menjadi pemimpin di daerahnya. Dalam menentukan calon pemimpin yang akan
dipilih oleh masyarakat itu, Nabi SAW seperti dalam hadist yang diriwayatkan
oleh al-Hakim menegaskan, “Barangsiapa yang memilih seseorang (pemimpin),
sedang ia mengetahui bahwa ada orang (pemimpin) yang lebih wajar (pantas,
patut) dari yang dipilihnya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat
kaum muslimin”. Rasulullah SAW juga mengisyaratkan siapa yang harus dipilih, “Sebagaimana
keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atau penguasa atas kalian”.
Dalam
tatanan sebuah bangsa yang mengadopsi sistem demokrasi seperti Indonesia, bahwa
bersikap apolitik atau memilih berada di lingkaran golongan putih (golput)
sah-sah saja sebagai suatu pilihan politik bagi masyarakat yang bersangkutan,
namun sikap golput itu juga bukan merupakan solusi yang terbaik untuk
mendapatkan pemimpin yang baik.
Syarat Normatif Fikih
Lantas,
apa saja syarat normatif pemimpin a la
fikih yang patut dijadikan pedoman bagi pemilih dalam proses pemilihan itu.
Pertama, pemimpin haruslah orang yang memiliki nilai-nilai religius yang kuat
(beriman), menyandarkan segala kebijakannya pada landasan agama (QS. at-Taubah:23).
Kedua, memiliki ilmu dan pemahaman yang luas serta kondisi fisik yang kuat.
(QS. al-Baqoroh: 247). Seorang pemimpin yang dipilih itu idealnya pemimpin yang
visioner, mampu melihat jauh ke depan tentang masa depan yang lebih baik dan
berkualitas tinggi untuk rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Memiliki kemampuan
dan pemahaman untuk menyerap aspirasi rakyat, memberikan inspirasi positif
kepada masyarakat serta mengimplentasikan kebijakan-kebijakan yang mengandung
kemaslahan bagi rakyat banyak, bukan kebijakan yang membuka ruang pertengkaran
fisik maupun emosi dan mental sosial.
Ketiga,
memiliki kemampuan untuk memelihara aset negara (QS. Yusuf: 55). Krisis
multi-dimensi baik moril maupun materil yang sedang melanda republik ini
membutuhkan sosok pemimpin dinamis yang mampu membawa bangsa ini keluar dari
keterpurukan dari segala sisi. Sosok pemimpin yang mampu memutus rantai
perilaku koruptif anak bangsa menjadi idaman yang diharapkan lahir dari proses
pilkada 2015 ini. Bila sembilan pasangan kepala daerah kabupaten/kota dari 12
kabupaten/kota di Provinsi Riau yang terpilih hasil pilkada 2015 memiliki azam
dan tekad yang kuat (political will) untuk menghapuskan tradisi koruptif dalam
kehidupan politik dan pemerintahan di wilayah ini, maka lima tahun mendatang, wilayah
Riau akan mencapai level 75% betul-betul bebas prilaku koruptif.
Keempat,
orang yang kuat dan mempunyai integritas serta betul-betul dapat dipercaya (QS.
Al-Qashash: 26). Debat publik antar pasangan calon yang maju
pada pilkada dan difasilitasi oleh penyelanggara pemilihan (KPUD/Panwaslu) itu
tak lain dan tak bukan untuk melihat sejauh mana visi misi pasangan calon.
Meski tak dipungkiri bahwa ada sebagian dari visi misi pasangan calon itu
bukanlah berasal dari hati nurani pasangan calon terkait, melainkan hasil
rumusan tim ahli ataupun tim sukses pasangan calon semata. Sungguhpun demikian,
kegiatan debat publik yang kegiatannya dianggarkan oleh negara yang dananya
juga berasal dari rakyat, sudah sepantasnya dimaksimalkan sebaik mungkin
sehingga dapat menjadi sarana dan rujukan bagi masyarakat dalam menentukan
pilihan ke depan. Sehingga, kesempatan debat publik tidak digunakan untuk
saling hujat, cemeeh, apalagi jatuh-menjatuhkan.
Perlu
dihayati kembali bahwa jabatan yang diemban pasti ada masa berlakunya. Oleh
karenanya, sudah semestinya pemilih memberikan suaranya kepada orang yang patut
pula. Pasangan calon yang terpilih dapat menjadikan jabatan yang diampunya
sebagai sarana untuk memperbaiki dan meningkatkan komunikasi vertikal dengan Tuhan
pemilik hakiki semua jabatan, sekaligus sebagai jembatan horizontal untuk
menggapai puncak kejayaan dan meraih kemenangan bersama antara pemimpin dengan
yang dipimpin.
Bagi
pemilih, memilihlah dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Semoga pemimpin yang
dipilih adalah pemimpin yang diridhoi oleh Tuhan. Mari mewaspadai pemilih dan
suara siluman, karena pemimpin hasil siluman akan menjerumuskan kita ke masa
depan yang suram.[]