Sunday, January 18, 2015

Pendidikan dan Hak Konstitusional Anak Bangsa

Oleh: Zamhasari Jamil
Ketua Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru.

Dalam suatu kunjungan ke sebuah sekolah menengah di wilayah Gujarat, India, Presiden India Dr. A.P.J. Abdul Kalam (2002-2007) ditanya oleh seorang siswa: “Bapak Presiden, siapakah yang menjadi musuh kita?” Terhadap pertanyaan ini, Presiden memberikan respon positif dengan mengatakan: “Ini adalah pertanyaan yang bagus sekali.” Sang Presidenpun meminta siswa/siswi yang lain untuk memberikan jawaban terlebih dahulu. Dari sekian banyak jawaban yang dikemukakan oleh para siswa, Presiden Abdul Kalam sangat terkesan dengan jawaban dari siswi yang bernama Snehal Thakkar yang mengatakan:  “Musuh kita adalah kemiskinan.” Setelah pertemuan dan dialog ini berlangsung, sang Presiden akhirnya menuangkan ide-ide kreatif dan inspirasi-inspirasi fenomenalnya untuk dikonsumsi oleh para siswa/siswi di seluruh India melalui sebuah buku yang berjudul Ignited Minds - Unleashing the Power Within India, terbit tahun 2002.

Dalam pandangan Abdul Kalam, Presiden India yang ke-11 ini, bahwa salah satu jalan atau cara mengurangi angka kemiskinan di negara itu adalah dengan menyiapkan generasi masa depan bangsa melalui jalur pendidikan. Bangsa India yakin sepenuhnya bahwa pendidikan memiliki peran yang cukup besar untuk mensejahterakan bangsanya di masa yang akan datang. Itulah sebabnya India memberikan perhatian yang cukup serius untuk masalah ini. Sehingga penerapan program pendidikan dasar gratis dari jenjang SD sederajat hingga SMA sederajat bukan lagi cerita baru di India. Bahkan di Perguruan Tinggi di India itu, semakin tinggi strata yang ditempuh, maka semakin murah pula biaya pendidikannya. Pemerintah India juga berani menawarkan beasiswa bagi mahasiswa asing yang hendak belajar di negaranya, yang pada tahun 2015 ini informasi selengkapnya dapat diunduh dari: http://www.indianconsulatemedan.com/content/general-cultural-scholarship

Hak Konstitusional Warga Negara

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, sebagai rakyat kita dihadapkan pada suatu dilema benang basah yang kusut. Padahal, pendidikan bagi setiap anak bangsa Indonesia ini adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara melalui amandemen UUD 1945, pasal 32 Ayat 1 yang menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat 2 menyatakan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Idealnya, siapapun di republik ini menyandang status warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan secara merata. Karena itulah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggraan Pendidikan yang berbunyi; “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Hal ini juga tercantum dalam Bab IV Pasal 5 Bagian Kesatu tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara yang berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau  sosial berhak memperoleh pendidikan khusus; (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Sayangnya, implementasi dan penerapan amanat Undang-Undang ini tidaklah berjalan mulus seperti yang kita hajatkan. Pendidikan yang tidak diskriminatif, yang demokratis dan berkeadilan itu masih sebatas angan-angan dan masih jauh dari harapan. Padahal anggaran dana yang diserap untuk pendidikan ini cukup besar sekali. Sebagai contoh kecil saja, pengeluaran biaya untuk pelaksanaan Ujian Nasional bisa mencapai Rp 600 miliar. Begitu pula dengan anggaran awal revisi Kurikulum 2013 sebelumnya yang kemudian membengkak mencapai Rp 1,4 triliun lebih, dengan perincian anggaran pencetakan buku Rp 1,03 triliun dan biaya pelatihan guru Rp 422 miliar. Pertanyaan sederhananya adalah: apa manfaat yang didapat oleh rakyat setelah pemerintah mengeluarkan dana sebanyak itu? Siswa/siswi peraih nilai UN terbaik di masing-masing sekolahnya juga tidak ada jaminan baginya untuk mendapatkan pendidikan lanjutan yang layak. Bahkan tidak dipungkiri bahwa di sebagian lembaga pendidikan termasuk lembaga atau perguruan tinggi ada praktek-praktek komersialisme pendidikan disitu.

Posisi Kualitas Pendidikan
 
Adalah wajar bila kita turut risau terhadap pendidikan di negeri ini. Kerisaun ini bukan tidak beralasan, sebab bila dilihat dari Indeks Perkembangan Pendidikan (Education Development Index) yang dikeluarkan oleh UNESCO dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini, Indonesia menempati urutan posisi 70-an dari 120 negara. Untuk kawasan Asia saja, kualitas pendidikan di negara kita ini masih jauh tertinggal walaupun hanya dibandingkan dengan Brunei Darussalam, yang menempati posisi ke-34, dan Malaysia (posisi ke-65). Banyak faktor memang yang membuat kualitas pendidikan kita jauh terpental ke belakang. Perilaku koruptif yang menggerogoti setiap item anggaran pendidikan adalah salah satu faktor saja, masih banyak sebenarnya faktor-faktor yang lain. Tak heran bila gelar “juara bertahan” pemuncak negara korup di Asia masih dipegang oleh Indonesia.

Di sisi lain, tengok pula tindak kriminalitas yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga survey tahun 2012 lalu. Diantaranya, penyalahgunaan narkoba di Indonesia sebanyak 50 – 60% dilakukan oleh remaja. Tindak Asusila, sebanyak 64% remaja menonton video porno, 39% diantaranya sudah berhubungan seks di luar nikah, bahkan 90% video porno diperankan oleh remaja, lalu terdapat 500ribu kasus aborsi oleh remaja, bahkan sekitar 150.000 remaja menjadi pelacur. Begitu pula dengan kekerasan remaja, 339 kasus tawuran pelajar sudah menelan korban jiwa sebanyak 82 remaja, geng motor pun sudah menewaskan 60 orang dengan adanya ajang perjudian di setiap balap liar yang bernilai jutaan rupiah. Lantas, masihkah kita menutup mata dengan realita dan kenyataan yang begitu pahit ini?

Kembali ke Filosofi Dasar

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Setidaknya kita harus kembali kepada filosofi awal dasar pendidikan nasional kita, dimana Bapak Pendidikan Indonesia Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau sejak 1922 lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959) yang telah mempelopori berdirinya  Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda pada zaman itu. Sehingga semoboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani dapat dihidupkan kembali. Tentu, semua kita berharap bahwa: di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik; di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide; serta dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.

Bila di Indonesia ada Ki Hadjar Dewantara, ternyata di India pula dikenal ada Rabindranath Tagore (7 May 1861 – 7 August 1941), pelopor pendidikan di India dengan perguruan (ashram) Shriniketan (di daerah Santiniketan) yang juga sama-sama memperjuangkan hak pendidikan bagi masyarakat India. Komposer lagu kebangsaan India "Jana Gana Mana" ini merupakan tokoh pertama selain bangsa Eropa yang meraih Hadiah Nobel dalam bidang Literatur tahun 1913. Nah, jika di India itu sudah terbangun filosofi dan dasar, arah dan tujuan pendidikan nasional-nya secara kokoh, sehingga tidak lagi terjadi "bongkar-pasang" kurikulum dan sebagainya yang tentunya menelan anggaran yang tidak sedikit, maka seharusnya di Indonesia ini juga harus seperti itu. Dengan demikian, pergantian roda pemerintahan tidak pula harus membongkar total sistem pendidikan kita, karena sebenarnya "kartu" untuk mensejahterakan rakyat, bangsa Indonesia di masa yang akan datang itu ada pada pendidikan yang diberikan kepada generasi kita hari ini. [*]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home