Monday, November 30, 2015

Pilkada dan Peradaban Politik

Oleh: Zamhasari Jamil
Dosen Fisipol Universitas Abdurrab, Pekanbaru
(Tulisan ini telah dimuat di Riau Pos, 30 November 2015)

Pilkada serentak 2015 memiliki keistimewaan tersendiri, di mana helat ini merupakan yang pertama sekali dilakukan dalam catatan sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia. Sedikit banyaknya, sebagian masyarakat masih tetap menaruh harapan besar bahwa melalui pilkada yang serentak ini akan membawa pencerahan baru bagi kualitas kehidupan masyarakat yang turut berpartisipasi dalam memberikan suara dan hak pilihnya pada hari di mana pemilihan akan dilangsungkan.

Dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing tersebut, masyarakat sebagai pemilik suara dan pemegang hak pilih mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan pemimpin untuk daerahnya. Di era keterbukaan informasi yang sudah cukup luas ini, di mana masyarakat dapat memperoleh dan mengakses beragam informasi mengenai rekam jejak pasangan calon kepala daerah dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, sudah saatnya masyarakat untuk tidak mudah terpedaya oleh bermacam metode mengais suara pemilih melalui beberapa istilah yang sudah populer di kalangan masyarakat, seperti serangan fajar, serangan dhuha, atau salaman di tempat pemungutan suara (TPS).

Pemimpin yang dihasilkan melalui produk serangan dan salaman tersebut sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang tidak akan pernah amanah dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah (RA) berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kehancurannya,’ Abu Hurairah pun bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kehancurannya!”.

Dengan demikian, bagi penulis, kehancuran suatu bangsa atau suatu daerah tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor ulah pemimpinnya yang tidak ahli dan tidak amanah, tapi juga oleh faktor pemilih pemimpin tersebut yang juga tidak amanah dan tidak istiqomah, tidak punya pendirian yang diridoi Tuhan. 

Peradaban Politik Bermartabat

Pendiri bangsa Indonesia telah memberikan dasar-dasar peradaban politik kepada generasi penerus bangsa untuk terus dikembangkan dan dilestarikan demi kemajuan bangsa Indonesia. Bermula dari amandemen UUD 1945 pasca reformasi 1998, perjalanan dan peradaban politik di tanah air terus menunjukkan ke arah perbaikan yang cukup signifikan walau masih belum menemukan jati diri politik Indonesia yang sesungguhnya.

Perhelatan pilkada serentak 2015 ini sebagai upaya menuju kepada pembangunan peradaban politik yang mumpuni sehingga layak untuk dikenang sepanjang zaman. Masyarakat tak memungkiri berbagai bentuk prestasi pembangunan dari berbagai sisi yang diukir oleh putra-putri terbaik bangsa ini, namun masyarakat juga dipersaksikan dengan adegan, aksi dan ulah sebagian anak bangsa yang terus menggerogoti bangsa ini.

Pemberitaan negatif mengenai bangsa ini yang dikomsumsi oleh publik atau masyarakat Indonesia tidak berbanding lurus dengan pemberitaan positif sebagaimana mestinya. Mantan Presiden India, APJ Abdul Kalam pernah mengingatkan masyarakat India agar senantiasa mengikuti pemberitaan positif tentang negaranya guna membangun semangat kepercayaan diri bangsa. Di Indonesia, pemberitaan positif dari para pemimpin nampaknya sudah menjadi isu langka. Masyarakat pun sudah cerdas memilih informasi dan berita sehingga tak mudah terpengaruh oleh suguhan pemberitaan yang bersifat advetorial belaka.   

Pilkada serentak yang hari pelaksanaannya sudah sangat dinantikan, diharapkan dapat melahirkan pemimpin daerah yang amanah dengan tugas dan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Sebagai bangsa dengan ideologi Pancasila yang salah satu silanya adalah berketuhanan yang maha esa, maka sudah saatnya pemilih memberikan hak pilihnya sesuai dengan tata cara yang sedapat mungkin diridoi oleh Tuhan, sekaligus pasangan calon kepala daerah pula dapat berkompetisi dengan cara-cara yang juga diridoi Tuhan.

Tak ada istilah suara rakyat suara Tuhan, sebab suara Tuhan tak pernah salah. Bila proses pemenangan pasangan calon tersebut diawali dengan proses serangan itu-ini, salaman sana-sini, maka itu sama saja dengan suara rakyat suara siluman. Seorang Nabi saja, yang pengutusan dan penunjukannya langsung berasal dari Tuhan, masih tetap saja ada kaum atau rakyatnya yang berbuat zalim dan durhaka kepada Tuhan, apalagi sepasang kepala daerah yang juga dipilih oleh manusia, sangat memungkinkan di kemudian hari terjadinya pembangkangan dan penolakan dari masyarakat yang sebelumnya telah memilihnya.

Yang pasti, masyarakat terus menanti inovasi dan kreasi positif dari para pemimpinnya yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan produktif yang dapat mengubah taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Masyarakat tak menghendaki pemimpin yang zalim, sehingga mendorong masyarakat untuk berlaku zalim pula sesamanya. Sebab, bila pemimpin zalim sudah menguasai suatu negeri, maka suatu saat peradaban politik yang sedang kita coba ukir ke arah yang baik ini akan hilang dan tenggelam dalam kemurkaan Tuhan, sama seperti kisah peradaban bangsa-bangsa yang terdahulu.

Terhadap pilkada yang hanya menunggu hitungan hari, mari kita semua turut berpartisipasi dan sama-sama kita awasi pelaksanaannya untuk masa depan peradaban politik Indonesia yang bermartabat, layak dikenang hingga akhir zaman.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home