Wednesday, December 09, 2015

Fikih Pilkada

Zamhasari Jamil
Dosen Fisipol  Universitas Abdurrab, Pekanbaru

Kata fikih rasanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam Wikipedia – Ensiklopedia Bebas, disebutkan bahwa fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.

Pilkada serentak yang akan dilangsungkan di akhir tahun 2015 disinyalir oleh sebagian masyarakat sebagai pilkada yang tak terlalu menghentakkan. Hal itu dirasakan oleh sebagian masyarakat terutama yang di daerahnya belum atau tidak melangsungkan pelaksanaan pilkada di penghujung tahun 2015 ini, kemudian sebagian masyarakat yang lain juga sudah bersikap apatis atau tak peduli lagi dengan perhelatan demokrasi di republik ini. Padahal, ilmuan politik Indonesia, almarhumah Miriam Budiardjo (1923-2007) sudah mengingatkan bahwa pemilihan umum merupakan tolok-ukur untuk menakar demokrasi suatu bangsa. Dari situ, penulis berpandangan bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa dapat ditilik dari partisipasi dan perilaku politik masyarakat itu sendiri.

Helat pilkada serentak yang tidak terlalu menggema seperti helat pileg dan pilpres 2014 silam juga disebabkan oleh pemahaman sebagian masyarakat yang tidak maksimal tentang keberadaan pilkada serentak pada tahun ini. Tulisan ini  sengaja diketengahkan sebagai bentuk kerisauan penulis melihat dinamika perilaku politik dan partisipasi pemilih yang seolah sedang mati suri, sekaligus sebagai bentuk partisipasi penulis dalam mentafaqquhkan atau memperdalam pemahaman masyarakat mengenai pilkada itu sendiri. 

Kewajiban Memilih

Sebagai masyarakat yang masih memegang teguh kepada ajaran agama, terutama Islam, pastilah menjadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber kemaslahatan bagi umat ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal pemilihan pemimpin ini, ada banyak pesan nabi yang patut dijadikan sandaran dan pedoman. Diantaranya, sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Umar berikut: “Apabila kamu dalam perjalanan, walau di padang pasir, maka hendaklah memilih salah seorang sebagai pemimpin”. Nabi SAW, seperti yang diriwayatkan oleh  Abu Dawud dari Abi Sa’id al-Khudri juga berpesan , “Bila tiga orang dari kalian melakukan perjalanan, maka kalian harus memilih pemimpin di antara kalian”.

Di lain hadits, Rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR: Imam Ahmad dari Ibnu Umar). Dengan berpedoman kepada beberapa hadits shahih di atas, dapatlah disimpulkan bahwa berpartisipasi dalam memberikan suara politik dan menggunakan hak pilih dalam perhelatan pemilu, termasuklah pada pilkada ini adalah wajib hukumnya, mengingat bahwa suara dan hak pilih yang kita fungsikan itu akan menentukan nasib dan langkah pemimpin kita selanjutnya sesuai dengan batas waktu yang diamanatkan oleh undang-undang. 

Sebagai bagian dari masyarakat yang akan dipimpin oleh seorang pimpinan hasil produk pilkada, tentulah masyarakat tak mau dipimpin oleh orang yang tidak patut untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Dalam menentukan calon pemimpin yang akan dipilih oleh masyarakat itu, Nabi SAW seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh al-Hakim menegaskan, “Barangsiapa yang memilih seseorang (pemimpin), sedang ia mengetahui bahwa ada orang (pemimpin) yang lebih wajar (pantas, patut) dari yang dipilihnya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat kaum muslimin”. Rasulullah SAW juga mengisyaratkan siapa yang harus dipilih, “Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atau penguasa atas kalian”.

Dalam tatanan sebuah bangsa yang mengadopsi sistem demokrasi seperti Indonesia, bahwa bersikap apolitik atau memilih berada di lingkaran golongan putih (golput) sah-sah saja sebagai suatu pilihan politik bagi masyarakat yang bersangkutan, namun sikap golput itu juga bukan merupakan solusi yang terbaik untuk mendapatkan pemimpin yang baik.

Syarat Normatif Fikih

Lantas, apa saja syarat normatif pemimpin a la fikih yang patut dijadikan pedoman bagi pemilih dalam proses pemilihan itu. Pertama, pemimpin haruslah orang yang memiliki nilai-nilai religius yang kuat (beriman), menyandarkan segala kebijakannya pada landasan agama (QS. at-Taubah:23). Kedua, memiliki ilmu dan pemahaman yang luas serta kondisi fisik yang kuat. (QS. al-Baqoroh: 247). Seorang pemimpin yang dipilih itu idealnya pemimpin yang visioner, mampu melihat jauh ke depan tentang masa depan yang lebih baik dan berkualitas tinggi untuk rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Memiliki kemampuan dan pemahaman untuk menyerap aspirasi rakyat, memberikan inspirasi positif kepada masyarakat serta mengimplentasikan kebijakan-kebijakan yang mengandung kemaslahan bagi rakyat banyak, bukan kebijakan yang membuka ruang pertengkaran fisik maupun emosi dan mental sosial.   

Ketiga, memiliki kemampuan untuk memelihara aset negara (QS. Yusuf: 55). Krisis multi-dimensi baik moril maupun materil yang sedang melanda republik ini membutuhkan sosok pemimpin dinamis yang mampu membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan dari segala sisi. Sosok pemimpin yang mampu memutus rantai perilaku koruptif anak bangsa menjadi idaman yang diharapkan lahir dari proses pilkada 2015 ini. Bila sembilan pasangan kepala daerah kabupaten/kota dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang terpilih hasil pilkada 2015 memiliki azam dan tekad yang kuat (political will) untuk menghapuskan tradisi koruptif dalam kehidupan politik dan pemerintahan di wilayah ini, maka lima tahun mendatang, wilayah Riau akan mencapai level 75% betul-betul bebas prilaku koruptif.  

Keempat, orang yang kuat dan mempunyai integritas serta betul-betul dapat dipercaya (QS. Al-Qashash:  26).  Debat publik antar pasangan calon yang maju pada pilkada dan difasilitasi oleh penyelanggara pemilihan (KPUD/Panwaslu) itu tak lain dan tak bukan untuk melihat sejauh mana visi misi pasangan calon. Meski tak dipungkiri bahwa ada sebagian dari visi misi pasangan calon itu bukanlah berasal dari hati nurani pasangan calon terkait, melainkan hasil rumusan tim ahli ataupun tim sukses pasangan calon semata. Sungguhpun demikian, kegiatan debat publik yang kegiatannya dianggarkan oleh negara yang dananya juga berasal dari rakyat, sudah sepantasnya dimaksimalkan sebaik mungkin sehingga dapat menjadi sarana dan rujukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan ke depan. Sehingga, kesempatan debat publik tidak digunakan untuk saling hujat, cemeeh, apalagi jatuh-menjatuhkan.

Perlu dihayati kembali bahwa jabatan yang diemban pasti ada masa berlakunya. Oleh karenanya, sudah semestinya pemilih memberikan suaranya kepada orang yang patut pula. Pasangan calon yang terpilih dapat menjadikan jabatan yang diampunya sebagai sarana untuk memperbaiki dan meningkatkan komunikasi vertikal dengan Tuhan pemilik hakiki semua jabatan, sekaligus sebagai jembatan horizontal untuk menggapai puncak kejayaan dan meraih kemenangan bersama antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Bagi pemilih, memilihlah dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Semoga pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang diridhoi oleh Tuhan. Mari mewaspadai pemilih dan suara siluman, karena pemimpin hasil siluman akan menjerumuskan kita ke masa depan yang suram.[]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home