Friday, September 26, 2014

Kontradiksi Politik Kebijakan Elit

Oleh: Zamhasari Jamil MA

Kata kontradiksi /kon-tra-dik-si/ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan (lihat: http://kbbi.web.id/kontradiksi). Sedangkan kata politik /po-li-tik/ dapat pula bermakna segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (lihat: http://kbbi.web.id/politik). Dengan demikian, secara sederhana pula penulis memaknai kata kontradiksi politik sebagai suatu tindakan atau kebijakan yang sangat berlawanan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Setidaknya ada dua kabar yang menghebohkan masyarakat Indonesia di akhir pekan ini. Pertama, Gubernur Riau Anas Maamun "berurusan" dengan lembaga anti rasuah (KPK). Dalam banyak kesempatan, Gubri sebagai elit politik selalu mengingatkan jajarannya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menyebabkan timbulnya perkara dan urusan dengan lembaga anti rasuah tersebut. Tentu sebagai masyarakat, kita mengapresiasi langkah kebijakan berupa peringatan yang dikeluarkan oleh pemimpin nomor satu di Riau ini.

Karena itu, adalah cukup mengejutkan memang saat kita mendapatkan kabar bahwa tokoh yang selalu mengingatkan jajarannya dan termasuk kita sebagai rakyatnya ini, malah berurusan dengan lembaga anti rasuah itu sendiri.  Dalam menghadapi kabar ini, masyarakat sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk menyelidiki dan menyelesaikan kasus yang disangkakan kepada Gubri tersebut. Masyarakat harus yakin bahwa keadilan adalah bagian dan hak azasi manusia yang  harus didapat oleh siapapun juga. Dengan demikian, bila sangkaan yang ditimpakan kepada Gubri tak terbukti, tentu Gubri akan dapat meneruskan roda kepemimpinannya untuk memajukan Provinsi Riau ini. Penulis yakin bahwa doa dan harapan masyarakat Riau umumnya agar pembangunan di Riau ini tetap terus dapat dilaksanakan. Namun, jika KPK mendapatkan bukti atas sangkaannya itu, dan Gubri telah melakukan suatu pertentangan antara ucapan dan tindakannya, maka dalam realita politik, inilah yang disebut sebagai kontradiksi politik.

Kedua, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) menjadi UU Pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada pukul 01.50 WIB dini hari Jumat, 26 September 2014. Inti dari RUU Pilkada itu adalah apakah pemilihan kepala daerah masih dapat dilaksanakan secara langsung seperti 10 tahun terakhir ini atau harus dikembalikan lagi pemilihannya di DPRD saja. Gagasan pilkada secara langung itu didukung oleh F-PDIP dan koalisinya, sedangkan gagasan pilkada yang harus dikembalikan ke DPRD lagi didukung oleh partai-partai politik yang bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).

Pengesahan UU tersebut berjalan alot dan melalui perdebatan yang cukup panjang dengan memutuskan bahwa Pilkada akan dikembalikan lagi pelaksanaannya di DPRD. Maka konsekwensi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada itu adalah tamatnya riwayat partisipasi masyarakat untuk memberikan hak politik suaranya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Yang jelas, pemerintah RI yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri turut menyaksikan juga proses pengesahan RUU Pilkada tersebut dan dalam sambutannya juga dapat menerima hasil keputusan dalam sidang paripurna itu.

Hal yang cukup menarik perhatian penulis adalah sikap dan kebijakan Fraksi Demokrat (F-Demokrat) yang menawarkan opsi boleh melakukan pilkada langsung dengan beberapa catatan khusus dan kebijakan yang ditawarkan itu kemudian disambut baik oleh Fraksi PDI-P dan koalisinya, kemudian di detik-detik terakhir saat pengambilan keputusan suara (voting), F-Demokrasi melakukan aksi dan manuver politik yang mengejutkan gedung Senayan dan masyarakat Indonesia yang sedang menyaksikannya dengan memilih kebijakan walk-out dengan pernyataan sebelumnya adalah bahwa F-Demokrat atas nama kesejahteraan rakyat Indonesia akan menerima dan menghormati segala keputusan yang diambil dan ditetapkan dalam sidang paripurna yang terhormat itu. 

Aneh bin ajaibnya, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum Partai Demokrat yang juga merupakan presiden RI, saat itu berada dalam acara kunjungan kenegaraan di Amerika Serikat juga terkejut (atau seolah-olah terkejut) dengan sikap F-Demokrat yang melakukan manuver politik walk-out dari sidang paripurna sekaligus tidak bisa menerima keputusan akhir dari UU Pilkada yang proses pelaksanaannya akan dikembalikan lagi ke DPRD. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tidak ada komunikasi yang akurat antara F-Demokrat dengan Ketua Umum Demokrat terlebih dahulu? Apakah tidak ada komunikasi yang tepat antara Mendagri dan Presiden RI sebelum Mendagri menyampaikan sambutannya? Padahal, semua alat komunikasi canggih tengah ada dalam genggaman tangan mereka.

Tontonan dan aksi teatrikal politik para elit di negeri ini telah membuktikan adanya kontradiksi politik dalam semua aspek kebijakan yang dibuatnya. Sehingga, lahirlah kebijakan yang seolah-olah mementingkan kehidupan rakyat, tapi realita dan fakta yang ada adalah menggentingkan kehidupan rakyat banyak. Padahal pencitraan politik yang bertujuan semata-mata untuk menarik simpati rakyat adalah kisah basi yang tak perlu diragi kembali. Untuk kaum elit yang menetaskan kebijakan-kebijakan penting di negeri ini, patutlah disematkan senandung irama: kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Idealnya, pemimpin dan setiap pribadi dan jiwa yang merasa sebagai pemimpin haruslah menghayati sindiran Tuhan (Q.S. Al-Shaff: 2-3) berikut ini: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Zamhasari Jamil MA, Ketua Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab, Pekanbaru.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home