Kontradiksi Politik Kebijakan Elit
Oleh: Zamhasari Jamil MA
Kata kontradiksi /kon-tra-dik-si/ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai pertentangan antara dua hal yang
sangat berlawanan atau bertentangan (lihat: http://kbbi.web.id/kontradiksi).
Sedangkan kata politik /po-li-tik/ dapat pula bermakna segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain (lihat: http://kbbi.web.id/politik). Dengan demikian, secara
sederhana pula penulis memaknai kata kontradiksi politik sebagai suatu tindakan
atau kebijakan yang sangat berlawanan mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain.
Setidaknya ada dua kabar yang menghebohkan masyarakat Indonesia di
akhir pekan ini. Pertama, Gubernur Riau Anas Maamun "berurusan"
dengan lembaga anti rasuah (KPK). Dalam banyak kesempatan, Gubri sebagai elit
politik selalu mengingatkan jajarannya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan
yang akan menyebabkan timbulnya perkara dan urusan dengan lembaga anti rasuah
tersebut. Tentu sebagai masyarakat, kita mengapresiasi langkah kebijakan berupa
peringatan yang dikeluarkan oleh pemimpin nomor satu di Riau ini.
Karena itu, adalah cukup mengejutkan memang saat kita mendapatkan
kabar bahwa tokoh yang selalu mengingatkan jajarannya dan termasuk kita sebagai
rakyatnya ini, malah berurusan dengan lembaga anti rasuah itu sendiri. Dalam menghadapi kabar ini, masyarakat
sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk menyelidiki dan menyelesaikan
kasus yang disangkakan kepada Gubri tersebut. Masyarakat harus yakin bahwa
keadilan adalah bagian dan hak azasi manusia yang harus didapat oleh siapapun juga. Dengan demikian,
bila sangkaan yang ditimpakan kepada Gubri tak terbukti, tentu Gubri akan dapat
meneruskan roda kepemimpinannya untuk memajukan Provinsi Riau ini. Penulis
yakin bahwa doa dan harapan masyarakat Riau umumnya agar pembangunan di Riau
ini tetap terus dapat dilaksanakan. Namun, jika KPK mendapatkan bukti atas sangkaannya
itu, dan Gubri telah melakukan suatu pertentangan antara ucapan dan
tindakannya, maka dalam realita politik, inilah yang disebut sebagai
kontradiksi politik.
Kedua, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada) menjadi UU Pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada pukul
01.50 WIB dini hari Jumat, 26 September 2014. Inti dari RUU Pilkada itu adalah
apakah pemilihan kepala daerah masih dapat dilaksanakan secara langsung seperti
10 tahun terakhir ini atau harus dikembalikan lagi pemilihannya di DPRD saja.
Gagasan pilkada secara langung itu didukung oleh F-PDIP dan koalisinya,
sedangkan gagasan pilkada yang harus dikembalikan ke DPRD lagi didukung oleh
partai-partai politik yang bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).
Pengesahan UU tersebut berjalan alot dan melalui perdebatan yang
cukup panjang dengan memutuskan bahwa Pilkada akan dikembalikan lagi pelaksanaannya
di DPRD. Maka konsekwensi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada itu adalah
tamatnya riwayat partisipasi masyarakat untuk memberikan hak politik suaranya
dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di wilayahnya masing-masing. Yang
jelas, pemerintah RI yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri turut menyaksikan juga
proses pengesahan RUU Pilkada tersebut dan dalam sambutannya juga dapat
menerima hasil keputusan dalam sidang paripurna itu.
Hal yang cukup menarik perhatian penulis adalah sikap dan kebijakan
Fraksi Demokrat (F-Demokrat) yang menawarkan opsi boleh melakukan pilkada
langsung dengan beberapa catatan khusus dan kebijakan yang ditawarkan itu
kemudian disambut baik oleh Fraksi PDI-P dan koalisinya, kemudian di detik-detik
terakhir saat pengambilan keputusan suara (voting), F-Demokrasi
melakukan aksi dan manuver politik yang mengejutkan gedung Senayan dan
masyarakat Indonesia yang sedang menyaksikannya dengan memilih kebijakan walk-out
dengan pernyataan sebelumnya adalah bahwa F-Demokrat atas nama kesejahteraan
rakyat Indonesia akan menerima dan menghormati segala keputusan yang diambil
dan ditetapkan dalam sidang paripurna yang terhormat itu.
Aneh bin ajaibnya, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum
Partai Demokrat yang juga merupakan presiden RI, saat itu berada dalam acara
kunjungan kenegaraan di Amerika Serikat juga terkejut (atau seolah-olah
terkejut) dengan sikap F-Demokrat yang melakukan manuver politik walk-out
dari sidang paripurna sekaligus tidak bisa menerima keputusan akhir dari UU
Pilkada yang proses pelaksanaannya akan dikembalikan lagi ke DPRD. Pertanyaan
yang muncul adalah, apakah tidak ada komunikasi yang akurat antara F-Demokrat
dengan Ketua Umum Demokrat terlebih dahulu? Apakah tidak ada komunikasi yang
tepat antara Mendagri dan Presiden RI sebelum Mendagri menyampaikan
sambutannya? Padahal, semua alat komunikasi canggih tengah ada dalam genggaman
tangan mereka.
Tontonan dan aksi teatrikal politik para elit di negeri ini telah
membuktikan adanya kontradiksi politik dalam semua aspek kebijakan yang
dibuatnya. Sehingga, lahirlah kebijakan yang seolah-olah mementingkan kehidupan
rakyat, tapi realita dan fakta yang ada adalah menggentingkan kehidupan rakyat
banyak. Padahal pencitraan politik yang bertujuan semata-mata untuk menarik
simpati rakyat adalah kisah basi yang tak perlu diragi kembali. Untuk kaum elit
yang menetaskan kebijakan-kebijakan penting di negeri ini, patutlah disematkan
senandung irama: kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Idealnya, pemimpin dan
setiap pribadi dan jiwa yang merasa sebagai pemimpin haruslah menghayati
sindiran Tuhan (Q.S. Al-Shaff: 2-3) berikut ini: “Wahai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
Zamhasari Jamil MA, Ketua
Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab, Pekanbaru.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home