Sunday, April 01, 2012

Secercah Harapan Mendapatkan Keadilan

Oleh: H. Zamhasari Jamil, MA.

PADA hari itu tak ada lagi mulut yang bisa berkata, tak ada lagi pribadi yang bisa berbuat apa saja. Tak ada saksi, kecuali anggota tubuh kita sendiri yang menjadi saksi. Tak ada lagi Jaksa Penuntut, karena amal baik atau amal buruk selama di dunia inilah yang akan menuntut diri ini untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan. Tak ada lagi pengacara, karena anggota tubuh itulah yang berbicara dengan sendirinya. Tak ada lagi hakim ketua, hakim anggota, kecuali yang ada hanya Allah langsung yang akan menjadi hakim tunggalnya. Hari itu adalah hari dimana semua manusia sejak Nabi Adam hingga manusia akhir zaman disidang oleh Allah di Mahkamah Mahsyar. Dialah dzat yang manjadi hakim yang Maha Agung pada persidangan itu. Allah berfirman: “Pada hari itu, lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi bagi mereka terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nur: 24)

Susahnya mendapatkan rasa keadilan di negeri ini membuat kita bertanya, apakah memang keadilan sudah tak ada lagi di negeri ini? Apakah memang harga keadilan sudah begitu mahalnya sehingga tak dapat lagi dirasakan oleh mereka yang sebenarnya berhak untuk mendapatkannya? Apakah memang para hakim yang terhormat di negeri ini sudah tak dapat lagi membedakan mana yang seharusnya diputuskan benar dan mana yang harus diputuskan bersalah? Disinilah peran para ulama yang shalih, para ustadz yang shalih harus mengingatkan para umara, para pemangku jabatan dan pengambil keputusan bahwa apapun yang diperbuat di muka bumi ini, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu, hendaklah mereka yang sudah bersumpah atas nama Allah untuk mengemban amanah yang diembankan kepadanya agar senantiasa menepati janjinya dan senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Ingatlah firman Allah, “Sebenarnya, barang siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 76)

Memegang sumpah hakim

Adanya pemberitaan mengenai hakim-hakim yang masih hidup dibawah garis kelayakan, tidaklah sepatutnya membuat para hakim tersebut kemudian harus mengorbankan kebenaran dan menjualnya demi mengharapkan sejumlah uang dan keuntungan lainnya. Keputusan untuk menjadi seorang hakim, saya kira merupakan keputusan yang sudah diniatkan dan bukan tanpa kesengajaan. Karena itu, keputusan hakim hendaklah tetap berpijak pada niat awal ketika diamanahkan jabatan hakim tersebut kepadanya. Menyatakan benar kepada pihak yang patut untuk mendapatkan kebenaran tersebut dan menyatakan salah kepada pihak yang patut untuk disalahkan. Itulah hakim yang adil. Allah SWT berfirman: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan berbagai macam amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkanya dengan adil. Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya dan memberi petunjuk kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar ucapan-ucapanmu, lagi Maha Mengetahui dan Maha Melihat seluruh perbuatanmu.” (QS. An-Nisa: 58)

Persoalan keadilan yang terjadi di negeri ini bertambah susah didapatkan karena didukung oleh rumitnya untuk menemukan pribadi yang siap bersaksi dengan jujur. Hari ini kita merasakan bahwa kesaksian seseorang memihak kearah mana angin keberuntungan. Kesaksian kini juga mempertimbangkan azas kepetingan. Karena itu, tak heran bila seorang saksi rela mengorbankan harta bahkan jiwanya demi mengamankan posisi dan kepentingan pribadi atau kelompoknya, walaupun tak jarang akhirnya posisi tersebut juga berakhir tragis bersamaan dengan runtuhnya harga diri yang dibanggakan selama ini. Allah sudah mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah Maha Tahu tentang kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka Allah Maha Teliti terhadap semua yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135). Lihat juga firman Allah yang lain (QS. Al-Maidah: 8)

Hakim yang bijaksana dan benar-benar bertakwa kepada Allah sudah tentu takkan tergoda oleh kepentingan tertentu dan keuntungan sesaat, juga takkan rela menggadaikan kebenaran dan sumpah yang telah ia ikrarkan. Hakim yang mulia juga takkan mengabaikan bukti-bukti yang dapat dipercaya dan tidak pula berkhianat dengan keputusan yang telah disuarakan oleh hati nuraninya. Sebab, orang yang memiliki hati nurani yang bersih, tentu ia akan dapat melihat kebenaran tersebut dengan terang. Hakim yang memiliki hati nurani yang terang tentu takkan mengabaikan bukti-bukti yang jelas sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah. Allah menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang menentang bukti-bukti yang nyata dan apa yang dibawa oleh Rasul, membunuh para Nabi Allah dengan zalim, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka kabarilah, bahwa mereka akan menerima azab yang pedih.” (QS. Ali Imran: 21)

Meskipun hari ini menegakkan keadilan itu terasa berat, dan mendapatkan rasa keadilan itu sendiri sudah sedemikian susahnya, kiranya tak pula membuat para hakim dan penegak hukum lantas terkulai layu begitu saja, sebab bila komitmen dan kusungguhan dan ketulusan hati untuk mengusung dan menegakkan keadilan itu sudah bersemayam dalam setiap lubuk hati para pemangku amanah tersebut, maka keadilan itu akan mudah untuk didapatkan dan tak lagi mejadi sesuatu yang langka di negeri ini, tentunya dengan izin Allah SWT jua. Allah berfiman: “Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad), dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan. Dialah (Allah) hakim yang terbaik.” (QS. Yunus: 109)

Larangan Allah Suruhan Iblis

Perlu disadari dan pahami betul bahwa sejak manusia yang pertama, Nabi Adam, diciptakan oleh Allah didalam surga, iblis sudah memproklamirkan dirinya sebagai musuh yang nyata bagi manusia. Sehingga sejak itu pula perintah Allah kepada manusia selalu bertolak belakang dengan perintah iblis kepada manusia. Bila Allah menyuruh manusia berbuat baik, maka iblis melarang manusia berbuat baik. Bila Allah melarang manusia untuk berbuat jahat, maka iblis menyuruh manusia berbuat jahat. Karena itu, bila keputusan yang dibuat hari ini tidak sejalan dengan ketetapan yang telah diajarkan oleh Allah melalui tuntunan Nabi Muhammad SAW, sudah barang tentu keputusan itu adalah keputusan yang sehaluan dengan keinginan iblis. Kalau keputusan iblis yang sudah merajalela di negeri ini, maka tak heran bila di negeri ini lembaga pengadilan banyak, tapi keadilan itu yang tak ada lagi didapatkan.

Keadilan adalah milik kita, dan kita masih memiliki secercah harapan untuk mendapatkannya. Allah menegaskan: “Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya; Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya; Dan orang-orang yang memelihara shalatnya; Mereka itu akan dimuliakan didalam surga.” (QS. Al-Ma’arij: 32-35). Mudah-mudahan keadilan yang menjadi dambaan kita di negeri ini masih dapat kita raih sebelum hari dimana Allah mengunci lidah serta membelenggu tangan dan kaki kita di Mahkamah Mahsyar itu tiba, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam kelompok orang-orang yang dimuliakan didalam surga yang dijanjikanNya itu. Amin.

H. Zamhasari Jamil, MA., berasal dari Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir. E-mail: izamsh@gmail.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home