Secercah Harapan Mendapatkan Keadilan
Oleh: H. Zamhasari Jamil, MA.
PADA hari itu tak ada lagi mulut yang
bisa berkata, tak ada lagi pribadi yang bisa berbuat apa saja. Tak ada saksi,
kecuali anggota tubuh kita sendiri yang menjadi saksi. Tak ada lagi Jaksa
Penuntut, karena amal baik atau amal buruk selama di dunia inilah yang akan
menuntut diri ini untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah
dilakukan. Tak ada lagi pengacara, karena anggota tubuh itulah yang berbicara
dengan sendirinya. Tak ada lagi hakim ketua, hakim anggota, kecuali yang ada
hanya Allah langsung yang akan menjadi hakim tunggalnya. Hari itu adalah hari
dimana semua manusia sejak Nabi Adam hingga manusia akhir zaman disidang oleh
Allah di Mahkamah Mahsyar. Dialah dzat yang manjadi hakim yang Maha Agung pada
persidangan itu. Allah berfirman: “Pada hari itu, lidah, tangan dan kaki mereka
menjadi saksi bagi mereka terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
An-Nur: 24)
Susahnya mendapatkan rasa keadilan di
negeri ini membuat kita bertanya, apakah memang keadilan sudah tak ada lagi di
negeri ini? Apakah memang harga keadilan sudah begitu mahalnya sehingga tak
dapat lagi dirasakan oleh mereka yang sebenarnya berhak untuk mendapatkannya?
Apakah memang para hakim yang terhormat di negeri ini sudah tak dapat lagi
membedakan mana yang seharusnya diputuskan benar dan mana yang harus diputuskan
bersalah? Disinilah peran para ulama yang shalih, para ustadz yang shalih harus
mengingatkan para umara, para pemangku jabatan dan pengambil keputusan bahwa
apapun yang diperbuat di muka bumi ini, kelak akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah. Karena itu, hendaklah mereka yang sudah bersumpah atas nama
Allah untuk mengemban amanah yang diembankan kepadanya agar senantiasa menepati
janjinya dan senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Ingatlah firman Allah, “Sebenarnya,
barang siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 76)
Memegang
sumpah hakim
Adanya pemberitaan mengenai
hakim-hakim yang masih hidup dibawah garis kelayakan, tidaklah sepatutnya
membuat para hakim tersebut kemudian harus mengorbankan kebenaran dan
menjualnya demi mengharapkan sejumlah uang dan keuntungan lainnya. Keputusan
untuk menjadi seorang hakim, saya kira merupakan keputusan yang sudah diniatkan
dan bukan tanpa kesengajaan. Karena itu, keputusan hakim hendaklah tetap
berpijak pada niat awal ketika diamanahkan jabatan hakim tersebut kepadanya.
Menyatakan benar kepada pihak yang patut untuk mendapatkan kebenaran tersebut
dan menyatakan salah kepada pihak yang patut untuk disalahkan. Itulah hakim
yang adil. Allah SWT berfirman: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan
berbagai macam amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu
menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkanya dengan adil.
Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya dan memberi petunjuk kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar ucapan-ucapanmu, lagi Maha Mengetahui dan
Maha Melihat seluruh perbuatanmu.” (QS. An-Nisa: 58)
Persoalan keadilan yang terjadi di
negeri ini bertambah susah didapatkan karena didukung oleh rumitnya untuk
menemukan pribadi yang siap bersaksi dengan jujur. Hari ini kita merasakan
bahwa kesaksian seseorang memihak kearah mana angin keberuntungan. Kesaksian
kini juga mempertimbangkan azas kepetingan. Karena itu, tak heran bila seorang
saksi rela mengorbankan harta bahkan jiwanya demi mengamankan posisi dan
kepentingan pribadi atau kelompoknya, walaupun tak jarang akhirnya posisi
tersebut juga berakhir tragis bersamaan dengan runtuhnya harga diri yang
dibanggakan selama ini. Allah sudah mengingatkan: “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia
(yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah Maha Tahu tentang kebaikannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka Allah Maha Teliti terhadap semua yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135).
Lihat juga firman Allah yang lain (QS. Al-Maidah: 8)
Hakim yang bijaksana dan benar-benar
bertakwa kepada Allah sudah tentu takkan tergoda oleh kepentingan tertentu dan
keuntungan sesaat, juga takkan rela menggadaikan kebenaran dan sumpah yang
telah ia ikrarkan. Hakim yang mulia juga takkan mengabaikan bukti-bukti yang
dapat dipercaya dan tidak pula berkhianat dengan keputusan yang telah
disuarakan oleh hati nuraninya. Sebab, orang yang memiliki hati nurani yang
bersih, tentu ia akan dapat melihat kebenaran tersebut dengan terang. Hakim
yang memiliki hati nurani yang terang tentu takkan mengabaikan bukti-bukti yang
jelas sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah. Allah menyatakan:
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang bukti-bukti yang nyata dan apa yang
dibawa oleh Rasul, membunuh para Nabi Allah dengan zalim, dan membunuh
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka kabarilah, bahwa mereka
akan menerima azab yang pedih.” (QS. Ali Imran: 21)
Meskipun hari ini menegakkan keadilan
itu terasa berat, dan mendapatkan rasa keadilan itu sendiri sudah sedemikian
susahnya, kiranya tak pula membuat para hakim dan penegak hukum lantas terkulai
layu begitu saja, sebab bila komitmen dan kusungguhan dan ketulusan hati untuk
mengusung dan menegakkan keadilan itu sudah bersemayam dalam setiap lubuk hati
para pemangku amanah tersebut, maka keadilan itu akan mudah untuk didapatkan
dan tak lagi mejadi sesuatu yang langka di negeri ini, tentunya dengan izin
Allah SWT jua. Allah berfiman: “Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad), dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan. Dialah (Allah)
hakim yang terbaik.” (QS. Yunus: 109)
Larangan
Allah Suruhan Iblis
Perlu disadari dan pahami betul bahwa
sejak manusia yang pertama, Nabi Adam, diciptakan oleh Allah didalam surga,
iblis sudah memproklamirkan dirinya sebagai musuh yang nyata bagi manusia.
Sehingga sejak itu pula perintah Allah kepada manusia selalu bertolak belakang
dengan perintah iblis kepada manusia. Bila Allah menyuruh manusia berbuat baik,
maka iblis melarang manusia berbuat baik. Bila Allah melarang manusia untuk
berbuat jahat, maka iblis menyuruh manusia berbuat jahat. Karena itu, bila
keputusan yang dibuat hari ini tidak sejalan dengan ketetapan yang telah
diajarkan oleh Allah melalui tuntunan Nabi Muhammad SAW, sudah barang tentu
keputusan itu adalah keputusan yang sehaluan dengan keinginan iblis. Kalau
keputusan iblis yang sudah merajalela di negeri ini, maka tak heran bila di
negeri ini lembaga pengadilan banyak, tapi keadilan itu yang tak ada lagi
didapatkan.
Keadilan adalah milik kita, dan kita
masih memiliki secercah harapan untuk mendapatkannya. Allah menegaskan: “Dan
orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya; Dan orang-orang yang berpegang
teguh pada kesaksiannya; Dan orang-orang yang memelihara shalatnya; Mereka itu
akan dimuliakan didalam surga.” (QS. Al-Ma’arij: 32-35). Mudah-mudahan keadilan
yang menjadi dambaan kita di negeri ini masih dapat kita raih sebelum hari
dimana Allah mengunci lidah serta membelenggu tangan dan kaki kita di Mahkamah
Mahsyar itu tiba, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam kelompok
orang-orang yang dimuliakan didalam surga yang dijanjikanNya itu. Amin.
H.
Zamhasari Jamil, MA., berasal dari Kec. Kubu
Babussalam, Rokan Hilir. E-mail: izamsh@gmail.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home