Sunday, April 01, 2012

Bagaimana Menyikapi Keputusan Pemerintah?

Oleh: H. Zamhasari Jamil, MA.

SALAH satu adegan yang terdahsyat di atas panggung Republik Indonesia akhir-akhir ini adalah geliat BBM bersubsidi yang telah menyedot mayoritas lapisan masyarakat Indonesia untuk turun ke jalan berunjuk rasa memprotes geliat BBM bersubsidi yang didalangi oleh pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono – Boediono. Hampir semua mahasiswa dari seluruh kampus di negeri ini dan beberapa lembaga swadaya masyarakat melakukan protes dan berdemonstrasi menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM tersebut.

Terlepas dari aksi unjuk rasa dan demonstrasi itu, ada pihak-pihak tertentu yang tak mau ketinggalan dengan adegan BBM yang terus menggeliat ini. Mereka seolah tak risau dengan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut, sebaliknya mereka malah berusaha untuk meraup keuntungan sebesar mungkin dengan menimbun BBM bersubsidi sebanyak-banyaknya dalam rangka menyikapi kenaikan harga BBM bersubsidi yang rencananya diterapkan tanggal 1 April lalu. Perilaku penimbunan ini tentu saja menimbulkan keresahan dan kesusahan bagi masyarakat banyak karena dengan adanya praktek penimbunan secara liar tersebut menimbulkan persoalan baru di lapangan berupa kelangkaan BBM di sebagian besar SPBU.

Sebagian masyarakat juga ada yang menanggapi kenaikan harga BBM ini secara positif. Hal ini tentu saja mengakibatkan perpedaan pandangan yang berujung pada perselisihan di kalangan masyarakat itu sendiri. Disinilah para penentu kebijakan harus arif dan bijaksana dalam bersikap sehingga melahirkan keputusan yang adil terhadap harga BBM ini. Dengan demikian keputusan tersebut tidak mengabaikan kepentingan nasional dan tidak pula mencederai kondisi riil masyarakat yang ternyata masih banyak yang susah, melarat dan mau sakarat, sakaratul maut.

Penimbun BBM dan Mengurangi Timbangan

Islam memandang bahwa praktek penimbunan barang termasuk BBM yang salah satu tujuannya adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya masuk dalam kategori serakah. Padahal serakah adalah sifat yang tercela dalam Islam karena lebih mengedepankan sahwat syaithoniyah yang dikendalikan oleh Iblis. Peringatan bagi para penimbun BBM seperti ini dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah diingatkan oleh Allah SWT terhadap para penimbun harta terdahulu dalam bentuk emas dan perak, sebagaimana yang tertera dalam firmanNya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35)

Kebijakan menaikkan harga BBM sudah barang tentu berimbas pula pada melonjaknya harga-harga kebutuhan lainnya. Kondisi harga-harga kebutuhan lain yang semakin mahal ini tentu saja akan memperdalam luka di hati masyarakat. Untuk mengantisipasi hal ini, dimana para pedagangpun juga tak mau rugi dengan kondisi seperti ini membuat sebagian pedagang memilih jalur untuk berlaku curang dalam timbangan sehingga seolah-olah harga barang tersebut masih tetap normal dan biasa saja. Munculnya pedagang-pedagang yang suka mengurangi timbangan inipun merupakan masalah baru pula di kalangan masyarakat, padahal Allah SWT sudah mengingatkan: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifin: 1-3)

Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah SAW sampai ke Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk yang paling curang dalam takaran dan timbangan. Maka Allah menurunkan ayat diatas sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang. Setelah ayat ini turun orang-orang Madinah termasuk orang yang jujur dalam menimbang dan menakar. (Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menta’ati Pemimpin yang Adil

Ketahuilah, bahwa jika benar tujuan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi ini untuk kepentingan nasional dan masyarakat banyak, maka kita patut untuk mengikuti keputusan pemerintah ini, karena seseorang belum dikatakan beriman bila tak mentaati pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (Pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah keputusan/pendapat itu kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa': 59).

Namun, apabila, sekali lagi, apabila keputusan pemerintah ini hanyalah merupakan salah bentuk pesanan dari neo-kapitalisme yang digaungkan dan diagungkan oleh pihak asing, maka kita wajib untuk menolaknya. Dan kepada pemimpin yang masih mampu berbuat adil, Allah tetap mengingatkan agar tetap rendah diri kepada masyarakat. Sebab, dengan keberadaan masyarakat itulah, maka ia menjadi seorang pemimpin. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy Syu'araa': 215).

Tolong Menolong dan Tidak Boros

Jika pada akhirnya keputusan pemerintah untuk tetap menaikkan harga BBM bersubsidi ini tak dapat kita elakkan lagi, maka diantara jalan keluarnya adalah agar kita sesama masyarakat baik pihak produsen maupun konsumen, atau pihak penjual dan pembeli agar tetap memegang prinsip tolong-menolong sebagaimana yang dianjurkan dalam agama kita. Para penjual hendaklah tidak mengambil keuntungan yang berlebihan sehingga menyusahkan saudara kita yang berstatus sebagai pembeli dan kepada pembelipun hendaklah tidak terlalu boros dan berlebih-lebihan dalam belanja.

Hal ini sesuai dengan panggilan Allah, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maa'idah: 2). Kepada pembelipun Allah SWT sudah mengingatkan, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (yang patut-patut saja).” (QS. Al-Furqaan: 67). Akhirnya, marilah kita sama-sama berdoa dan bermunajat, semoga Allah SWT tetap melimpahkan karuniaNya kepada kita semua. Amien.

H. Zamhasari Jamil, MA., berasal dari Kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir. E-mail: izamsh@gmail.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home