Tuesday, August 16, 2011

Berlomba Mencapai Derajat Taqwa

Oleh Zamhasari Jamil


IBADAH puasa merupakan ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang beriman dan mampu untuk melaksanakannya, yaitu menahan diri dari segala macam bentuk makan dan minum sejak dari masa imsak atau mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sekali lagi, kewajiban berpuasa ini hanya berlaku bagi mereka yang mampu dan tentunya dilaksanakan pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Nah, bagi orang yang sudah tua atau yang sudah uzur dan tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka baginya boleh tidak berpuasa dengan catatan harus menggantinya dengan memberi makan satu orang fakir atau miskin setiap hari sejumlah puasa yang ditinggalkan tersebut.


Didalam Kitab Bulughul Maraam yang disusun oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Ashqalani Bab tentang Berpuasa disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang persoalan orang tua yang boleh meninggalkan puasa ini. “Dari Ibnu Abbas yang diridhoi oleh Allah SWT, ia berkata, “Telah diberi kemudahan bagi orang tua yang sudah lanjut usia untuk berbuka (tidak berpuasa), akan tetapi wajib baginya untuk memberi makan seorang fakir miskin setiap hari dan kepadanya tidak ada kewajiban untuk mengqadha atau mengganti puasanya.” (HR. Imam Dar Quthni dan Imam Hakim. Kedua Imam ini menyatakan bahwa hadits Rasululllah SAW ini derajatnya Shahih atau benar).


Ibadah Puasa ini rupanya tidak hanya diwajibkan dan diberlakukan oleh Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW semata, tetapi sudah pernah diwajibkan dan diberlakukan juga kepada semua umat Nabi-Nabi terdahulu yang tujuan akhirnya adalah untuk mengetahui orang-orang yang benar-benar bertaqwa disisi Allah SWT. Puasa ini memang merupakan sarana yang sudah dirancang oleh Allah SWT bagi kita supaya kita bisa mendekatkan diri kita kepadaNya. Puasa dirancang oleh Allah sedemikian rupa sehingga kita mampu mengelola hawa nafsu kita yang semula mungkin kita selalu berlebihan dalam hal makan dan minum, kini melalui puasa Allah SWT membatasi dan mengatur jarak makan dan minum kita. Pula, melalui puasa ini juga kita diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk ikut merasakan bagaimana keras, pedih dan perihnya kehidupan saudara-saudara kita yang masih bersusah payah untuk mendapatkan makan dan minum.


Puasa yang diinginkan Allah SWT


Telah berkembang pemahaman ditengah-tengah lingkungan masyarakat kita bahwa puasa itu hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Itu benar, tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah puasa kita ini sudah sesuai dengan “harapan” Allah SWT atau belum. Ingatlah bahwa berpuasa ini harus dilandasi dengan penuh keyakinan dan keimanan, sebab puasa ini merupakan sebuah teken kontrak antara kita dengan Allah SWT. Artinya, kita yang berpuasa dan Allah langsung yang akan menilai dan memberinya pahala. Dan tujuan akhir dari puasa ini diharapkan adanya hasil, yaitu pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT.


Jadi belum termasuk kedalam kategori orang yang berpuasa bila selama menahan diri untuk tidak makan dan minum sejak waktu imsak hingga terbit fajar tersebut ia masih saja melakukan hal-hal yang tidak benar, seperti mengunjing orang, menyebar fitnah, mencaci-maki, berkelahi, tidak bertegur sapa dengan orang lain karena kebencian, mengisi hari-hari dan malam-malam Ramadhan hanya dengan bunyian petasan, asmara subuh, jalan-jalan sore yang tidak jelas tujuannya kemana, kumpul-kumpul di perempatan dan persimpangan jalan dan lain sebagainya. Mereka ini belum termasuk kedalam kategori orang yang berpuasa yang sesuai dengan yang diharapkan oleh Allah SWT sebenarnya.


Tanpa terasa hari ini kita sudah melawati sepuluh pertama dari bulan Ramadhan, dan sekarang kita sedang berada di sepuluh kedua bulan Ramadhan itu. Sepuluh kedua ini merupakan masa dimana Allah SWT akan memberikan pengampunan kepada hambaNya yang berpuasa dan selalu menyibukkan diri untuk meminta ampun kepadaNya atas semua dosa dan salah yang pernah dilakukan. Ada baiknya kita mengenang sejenak tentang sepuluh hari pertama yang sudah berlalu, apakah kita sudah memaksimalkannya untuk memohon rahmat dan kasih sayang dari Allah SWT? Karena memang sepuluh hari pertama bulan Ramadhan itu, Allah SWT telah menyediakan rahmat dan kasih sayangNya bagi mereka yang telah meminta dan mengaharapkannya. Bila kita tak memintanya, maka kita telah termasuk kedalam kelompok orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang sudah disediakan oleh Allah SWT tersebut.


Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar


Bulan Ramadhan ini menjadi istimewa dan terhormat karena pada bulan ini pulalah Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT. Kita tahu bahwa Al-Qur’an ini merupakan Kitab Suci dan Undang-undang bagi umat Islam, sebuah kitab yang berisi tentang panduan dan tata cara menjalani hidup dan kehidupan bagi umat manusia di permukaan bumi ini. Dan malam peristiwa penurunan Al-Qur’an ini disebut dengan malam Qadar atau Lailatul Qadar. Qadar disini berarti ketetapan. Yaitu, ketetapan Allah SWT terhadap “Pedoman Hidup Manusia”, yaitu Al-Qur’an itu tadi. Sehingga Allah SWT menjadikan malam Qadar ini sebagai malam yang sangat teristimewa bagiNya bahkan Allah menyatakan bahwa malam tersebut jauh lebih baik, lebih mulia, lebih istimewa dari seribu bulan.


Para sahabat Rasulullah SAW pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada hari ketujuh dari sepuluh terakhir Ramadhan (malam ke-27 Ramadhan). Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Aku telah melihat kebenaran mimpi kamu semua, yaitu tepat pada hari ketujuh sepuluh terakhir itu. Oleh karena itu, barang siapa yang menginginkan Lailatul Qadar, maka carilah pada hari ketujuh yang terakhir dari bulan Ramadhan itu.” (Hadits ini disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim). Kemudian istri Rasulullah SAW, Saidati Aisyah yang diridhoi oleh Allah SWT pernah bertanya kepada Rasulullah SAW begini: “Bagaimana bila aku mengetahui Lailatul Qadar itu, lalu apa yang harus kuuucapkan?” Rasulullah SAW menjawab, bacalah, “Allahumma ‘afuwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni”. (Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang maha Pemaaf, Engkaulah yang berhak memaafkan, maka maafkanlah kesalahan-kesalahanku.”). Kedua hadits terakhir ini juga dapat dilihat didalam Kitab Bulughul Maraam yang disusun oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Ashqalani Bab tentang Berpuasa juga.


Mengakhiri tulisan sederhana yang singkat ini, penulis mengajak kita semua, pembaca setia Harian Pagi Pos Metro Rohil ini untuk mengenang kembali tentang hari-hari puasa yang sudah kita lewati dengan harapan tentunya agar kita dapat lebih memperbaiki diri dan lebih maksimal lagi dalam mengisi hari-hari Ramadhan kedepan dengan hal-hal yang lebih baik dan tentunya dengan perbuatan dan amaliyah sesuai dengan yang diharapkan oleh Allah SWT. Pada akhirnya nanti, segala kebaikan yang kita lakukan ini, manfaatnya akan kembali kepada masing-masing diri kita juga. Untuk itu, marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dalam mencapai dan meraih keridhoan Allah SWT, Rabbul Izzati wa Rabbul Jalili.[Dimuat di Posmetro Rohil, Jum'at, 12 Agustus 2011]


Penulis adalah Alumni Pascasarjana Aligarh Muslim University, India; Berasal dari Kecamatan Kubu, Rokan Hilir.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home