Sunday, September 24, 2006

Sinar Islam dari "Ufuk India"

Oleh: Zamhasari Jamil

KALAU kita mau berpikir sejenak saja, kita akan mendapatkan bahwa setiap negara pasti mempunyai sebuah landasan hukum yang disebut dengan konstitusi. Konsitusi tersebut merupakan hasil ciptaan manusia yang bisa berubah sesuai dengan selera manusia yang menciptakannya. Perubahan terhadap konsitusi itu, dalam ilmu hukum dan politik disebut dengan amandemen. Nah, bila konstitusi itu mengalami amandemen, maka secara otomatis landasan hukum negara yang digunakan adalah konsitusi yang baru tersebut, sedangkan konsitusi yang lama gugur dengan sendirinya.

Begitu pula halnya dengan agama. Setiap agama juga mempunyai landasan hukum yang kita kenal dengan Kitab Suci. Dan ayat-ayat yang terkandung didalam Kitab Suci tersebut merupakan firman-firman Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui Rasul-RasulNya sebagai pedoman hidup bagi manusia yang berakal. Nah, bila kita percaya bahwa konstitusi suatu negara bisa mengalami perubahan, maka Tuhanpun juga berhak untuk mengamandemen firman-firmanNya yang ada dalam Kitab Suci tersebut. Karena itu, bila Tuhan telah mengamandemen firman-firmanNya yang terdapat dalam Kitab SuciNya yang terdahulu itu, maka selanjutnya kita sebagai manusia yang berakal sehat dituntut untuk menegakkan dan menjalankan firman-firmanNya yang terdapat dalam Kitab SuciNya yang terbaru. Dengan demikian, firman-firman Tuhan yang terkandung dalam Kitab SuciNya yang terdahulu tersebut gugur pula dengan sendirinya.

Islam adalah agama yang sarat dengan peraturan-peraturan global bagi kehidupan. Dan peraturan-peraturan itu terungkap dalam al-Qur’an. Kalaulah boleh saya berkata, saya hendak mengatakan bahwa al-Qur’an itu merupakan "hasil amandemen" dari firman-firman Tuhan yang sebahagian dari hukum-hukumnya sudah pernah ada dalam Kitab Suci-Kitab SuciNya sebelum al-Qur’an diturunkan. Untuk itu, adalah sangat tidak pantas sekali bila kita masih "berhukumkan" dengan firman-firmanNya yang masih terkandung dalam Kitab Suci-Kitab Suci sebelum al-Qur’an. Sebab, bagaimana mungkin pada waktu yang sama kita sebagai warga negara yang berdaulat berani beralih kepada konstitusi yang baru, yang merupakan hasil daripada konstitusi yang lama. Padahal, sudah sangat jelas bagi kita bahwa konstitusi itu datangnya juga dari manusia, sedangkan Kitab Suci itu adalah firman Tuhan. Lantas, kesombongan apakah yang membuat kita terlalu lancang untuk mengingkari firmanNya?

Bila kita kembali berbicara mengenai peraturan-peraturan global yang terdapat dalam al-Qur’an, maka mempelajari ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an itu tidak cukup hanya sekali dan sepintas saja. Mempelajari al-Qur’an hendaknya dilakukan dengan sabar dan ikhlas serta dilakukan secara terus-menerus dan istiqamah. Bila tidak, maka kita akan menjumpai sejumlah intelektual Muslim dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang banyak mengenai Islam, namun pola pemikiran mereka tersebut hanyalah akan mengacau-balaukan pola pemahaman masyarakat awam yang masih merangkak dan baru memulai untuk mempelajari al-Qur’an dan Islam itu sendiri. Itulah sebabnya, seorang yang mempelajari al-Qur’an itu dituntut bertalaqqi atau bertemu langsung kepada Masyaikhul Qurra, yaitu orang-orang yang benar ahli dalam bidang ilmu al-Qur’an tersebut.

INDIA adalah negara sekuler yang mayoritas penduduknya adalah beragama Hindu. Menurut Registrar General (Census Information) tahun 2000, 81.3% masyarakat India beragama Hindu, sedangkan masyarakat Islam ada 12%, Kristen 2.3%, Sikh 1.9%, lain-lain (termasuk Budha, Jain dan Parsi) ada 2.5%. Dan etnis masyarakat India meliputi Indo-Aryan 72%, Dravidian 25%, Mongoloid dan lain-lain 3%. India menguasai hampir seluruh anak benua India di Asia Selatan tersebut. Sebelah utara, India berbatasan dengan Cina, sebelah barat berbatasan dengan Pakistan, Nepal dan Bhutan. Sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Burma dan Bangladesh. Disini saya tidak akan membahas tentang kapan Islam masuk ke India, tapi saya ingin memberikan gambaran sederhana mengenai kehidupan masyarakat Muslim di India. Masyarakat Muslim India tidaklah "diikat" dengan peraturan-peraturan syariat Islam seketat yang diberlakukan oleh Pemerintah Arab Saudi, namun tidak jua "dilepas" sebebas masyarakat Muslim di Indonesia.

Dari segi tingkat kelas sosial, mayoritas masyarakat Muslim India berada pada posisi kelas menengah ke bawah. Namun demikian, kondisi ekonomi masyarakat India yang "belum beruntung" itu tidaklah membuat kaum Muslim India terus berpangku tangan sembari menunggu berkah yang turun dari langit. Kondisi yang demikian itu, tidak pula menghalangi mereka untuk menggapai perubahan menuju kehidupan yang lebih baik lagi.

Terlalu sempit rasanya ruangan ini untuk melukiskan kontribusi para ulama, tokoh intelektual dan filosuf Muslim India terhadap kajian keislaman, baik dari segi sosial, politik, ekonomi maupun budaya dan sebagainya. Tidak kalah pentingnya, Prof. Aktarul Wasey, Direktur Zakir Hussain Institute of Islamic Studies, Jamia Millia Islamia, New Delhi menulis dalam artikelnya "Indian Muslims Yesterday, Today & Tomorrow" dimana "masyarakat Muslim sudah menjadi komponen yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari bangsa India itu sendiri."

Yang sangat perlu untuk kita ketahui bersama adalah bahwa kesungguhan masyarakat Muslim India untuk menumbuhkembangkan semangat "berislam" itu telah dimulai sejak anak-anak mereka masih berusia dini. Mereka benar-benar mencurahkan perhatian dan pemikiran mereka hanyalah untuk kepentingan Islam semata. Apakah mereka ini miskin dari segi harta? Tidak. Mereka adalah ulama-ulama yang kreatif dan visioner, ulama-ulama yang mampu meneropong kehidupan jauh ke masa depan. Mereka memiliki usaha-usaha yang sah dan halal untuk menghidupi diri dan keluarga mereka sehingga mereka tak perlu membebani para siswa atau santri yang belajar di lembaganya.

Proses pembelajaran dan penjagaan terhadap firman-firman Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut boleh dikata berlangsung hampir di semua sekolah-sekolah Islam atau madrasah-madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyyah (Sekolah Dasar) hingga ke tingkat Perguruan Tinggi. Sebut saja, misalnya, Institut Agama Islam Nadwatul Ulama, Lucknow dan Institut Agama Islam Darul Ulum, Doeband. Kedua perguruan tinggi Islam ini tidak hanya masyhur di dalam negeri saja, tapi juga di Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Nadwatul Ulama memfokuskan kajiannya dalam bidang ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits. Sedangkan Darul Ulum, Doeband memusatkan kajiannya dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh. Kedua institut ini sudah banyak melahirkan ulama kenamaan yang keilmuan mereka tidak hanya diakui dan dikonsumsi oleh masyarakat Muslim India saja, tapi juga melebar ke
berbagai negara, termasuk Indonesia.

Bila tradisi keilmuan yang dimiliki oleh ulama India saat ini mampu diwariskan kepada generasi berikutnya secara ikhlas dan hanya mengharap ridho Allah SWT semata sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama India terdahulu, maka kelak kita akan menyaksikan sinar Islam yang akan muncul dari "Ufuk India" ini. Semoga saja, Insya Allah! []

Zamhasari Jamil, anggota General Education Center, Aligarh Muslim University, India. Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah, Pekanbaru.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home