Monday, March 20, 2006

Naluri Diskusi Yang Kering

Oleh: Zamhasari Jamil

HAL menarik yang saya temukan di Aligarh Muslim University (AMU), Aligarh adalah dimana setiap hari saya bisa mengikuti berbagai seminar, diskusi ilmiah, simposium atau workshop dan sebagainya. Saya tinggal memilih topik yang menarik bagi saya. Bila topik yang dibahas tidak menarik perhatian saya, maka saya tetap berusaha untuk hadir -walau sekejap saja- hanya sekedar mengetahui siapa yang menjadi pembicara, pemakalah ataupun narasumber pada acara itu. Bagi saya, menghadiri beragam kegiatan yang disebut diatas merupakan salah satu proses pengayaan database keilmuan kita sendiri selain dari apa yang sudah kita dapatkan dari dosen-dosen kita di ruang kuliah. Selain dari itu, hadir dalam berbagai seminar, diskusi dan sebagainya, menurut saya, juga menjadi sarana untuk memantapkan bacaan kita selama ini.

Saya kagum dengan kenekadan AMU Students' Union (AMUSU) yang kerap menyelenggarakan seminar, diskusi, simposium yang berskala nasional dengan menghadirkan tokoh-tokoh kenamaan India: anggota parlemen, menteri, pemuka agama, birokrat, politisi dan sebagainya di AMU. Dan kita tahu bahwa mereka yang duduk menjabat sebagai pengurus AMUSU tersebut adalah mahasiswa dan mahasiswi yang seangkatan dan sebaya dengan kita yang juga berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswi di India ini.

Saya menjadi sering berkhayal: sekiranya mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di India ini juga nekad melakukan hal serupa seperti yang diselenggrakan oleh AMUSU, maka alangkah indahnya kehidupan keilmuan kita di India ini, sehingga perasaan bingung untuk mengaplikasikan keilmuan yang telah kita peroleh selama belajar di India ini secara lambat laun akan sirna. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa teman-teman yang belajar di India ini telah mumpuni dalam bidang kajian yang digelutinya selama ini, dan hal ini dapat dibuktikan -misalnya- dengan nilai yang bagus dalam setiap ujian. Tapi, bila kita berhadapan dengan masyarakat sosial yang lebih luas, kita kerap menemukan kegamangan dalam mengaplikasikan keilmuan yang kita peroleh di bangku kuliah selama ini. Hal ini terjadi, saya kira, karena rutinitas belajar yang kita lakukan di India tak berbeda jauh dengan apa yang kita lakukan ketika di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dahulu: masuk pagi, pulang petang. Sampai dirumah, kita makan, terus menyelesaikan assingments (PR) dan kemudian tidur sambil menunggu pagi. Begitulah perputaran kehidupan kita selama menjadi pelajar di India ini.

Kita yang belajar di India ini, saya yakin mampu melakukan kegiatan seperti yang diselenggarakan oleh AMUSU tersebut. Tentu saja, dengan membawa "bendera" organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India. Namun, sebuah alasan klasik selalu saja menghantui kita untuk meniadakan penyelenggaraan acara semacam itu: kita disibukkan oleh jam kuliah yang begitu padat. Kemudian, alasan yang lebih "nakal" lagi adalah: jumlah kita terlalu sedikit. Nah, kalau ini yang terus kita jadikan alasan, bukankah hari Sabtu (misalnya, di Jamia Millia Islamia), termasuk hari yang diliburkan? Begitu pula, bila kita terus menanti dan menanti jumlah yang banyak, maka sampai kapankah kita harus menunggu? Saya menjadi ragu, jangan-jangan setelah jumlah kita banyak di India ini, keberadaan kita tak jauh berbeda dengan buih di lautan: tak punya identitas kemandirian dan mudah diombang-ambing.

Pada tahun 2002, bersamaan dengan pelakasanaan Musyawarah Tahunan Anggota (MTA) V - PPI India, kita pernah mengadakan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dengan menghadirkan Prof. Dr. Uton Mukhtar Rafe'i, Regional Director of WHO, Southeast Asia dan Dr. Zafarul Islam Khan, Editor-in-Chief of Milligazette News, New Delhi. Pelaksanaan LDK tersebut mendapat kritikan dari Bpk. Saifuddin Syukur (saat itu masih kandidat doktor Hukum di Delhi University) dimana beliau menilai bahwa kegiatan LDK itu belumlah memenuhi standar LDK yang benar. Sebagai Ketua Pelaksana LDK dan MTA V, saya mengakui kekurangan-kekurangan tersebut. Tapi kegiatan itu setidaknya mampu menjadi batu loncatan bagi PPI India, dimana sebenarnya kita mampu menghadirkan orang-orang yang berskala nasional bahkan internasional sekalipun. Riuhnya ruang LDK dengan pertanyaan dua bahasa (Arab dan Inggris) kala Zafarul Islam Khan membuka pertanyaan masih terngiang merdu di telinga saya, apalagi KH. Rizqan Khamami, yang menjadi moderator juga memperlihatkan kefasihannya dalam menggunakan bahasa Arab a la Iraqi.

Kemudian pada MTA VII tahun 2004, PPI India juga mengadakan diskusi dengan menghadirkan Bapak Dalton Sembiring dan Bapak Kol. I wayan Midhio sebagai pembicara. Dan pada MTA VIII tahun 2005 lalu, PPI India menghadirkan Bapak Dr. Saifuddin Sykur dan Dr. Khairuddin Siregar sebagai pembicara dalam diskusi kala itu. Sayangnya, kegiatan-kegiatan semacam itu hanya "berani" kita adakan bersamaan dengan perhelatan MTA. Kita tak pernah melakukan hal serupa setelah kepengurusan PPI India terbentuk dan tersusun dengan sempurna. Mengapa kita tak "berani" mengadakan kegiatan tersebut? Alasannya, ya, apalagi kalau bukan seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini.

Suatu kali saya pernah mendapat bisikan dari diplomat KBRI New Delhi begini, "Sebenarnya KBRI itu siap membantu PPI India secara finasial, tapi dalam bentuk kerja sama. Misalnya, PPI India bekerjasama dengan KBRI menyelenggarakan seminar atau diskusi. PPI India sebagai pantia pelaksana dan KBRI sebagai penyokong dana. Sebab dana untuk kegiatan semacam itu memang ada." Nah, kalau bisikan ini adalah bisikan yang jujur dan bukan sekedar penyejuk hati, maka PPI India masih punya waktu untuk membuktikan suara bisikan tadi.

Adalah sangat disesalkan sekali, bila dari MTA ke MTA, dan dari PPI India periode sekian ke periode selanjutnya, kegiatan PPI India dalam bidang keilmuan ini selalu kering tanpa makna. Kita begitu antusias menghadirkan seni-budaya Indonesia dalam berbagai festival, dan kita juga begitu bergairah ketika menghadirkan "masakan Indonesia" dalam setiap bazar dan food festival. Tapi kita telah terjerembat ke dalam "alergi" yang tak beralasan bila sudah berurusan dengan keilmuan. Jika antusiasme dan gairah yang mampu kita hadirkan dalam berbagai festival atau bazar tersebut tak mampu kita tularkan dalam kegiatan-kegiatan yang menunjang dan sekaligus memantapkan keilmuan kita sendiri, maka benarlah anggapan saya selama ini: naluri diskusi kita sudah mengering. Bila hal ini yang terjadi, maka pelaksanaan MTA dan keberadaan PPI India tak ubahnya seperti "ritual teatrikal" belaka, sebuah tontonan yang akan terus terjadi dan terjadi tanpa adanya perubahan pasca layar monitor itu kita tutup.

Terakhir, saya mohon maaf bila dalam tulisan singkat ini ditemukan kalimat yang tak berkenan di hati pembaca. Saya tak memiliki maksud lain menulis risalah singkat ini selain mengharapkan adanya kemajuan yang berarti bagi PPI India dari zaman ke zaman. Bagaimana dengan Tasar Karimuddin, Irwansyah Yahya, Tylla Subiantoro dan Yunita Ramadhana: apakah anda sudah benar-benar siap bersaing untuk menjadi Ketua Umum PPI India? Come on!

Zamhasari Jamil, anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India; berasal dari Provinsi Riau.

1 Comments:

Blogger Mas Qisa'i said...

Points noted!

I definitely agree with the view you've shared here. It is high time for us, Indonesian students in India, to really emulate the ideas and understandings learnt in the university into reality.

No more exuses.

Can't we started off in Aligarh for that matter?

What do you say?

9:55 PM  

Post a Comment

<< Home