Wednesday, February 08, 2006

Mempertahankan Status Minoritas dan Reservasi

Oleh: Zamhasari Jamil

ALIGARH Muslim University (AMU) merupakan sebuah institusi akademis yang cukup ternama tidak hanya di India saja, tapi di seluruh dunia. AMU sebagaimana pernah ditulis oleh harian nasional Times of India sebagai Oxford-nya Asia tersebut terletak di wilayah utara India, tepatnya di Negara Bagian Uttar Paradesh (UP).

Pendiri AMU Sir Syed Ahmad Khan, seorang tokoh reformis pada masanya merasa perlu untuk mendirikan sebuah institusi akademis yang modern. Ia memulai usahanya tersebut dengan mendirikan sebuah sekolah yang kemudian pada tahun 1875 sekolah tersebut menjelma menjadi sebuah kolej yang bernama "Mohammadan Anglo-Oriental (MAO) College". Dalam perkembangan selanjutnya MAO ini pulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya AMU, tepatnya pada tahun 1920.

Kini, AMU menjadi sebuah institusi yang memiliki reputasi internasional menyediakan 12 fakultas modern dan tradisional. Disamping memiliki 12 fakultas, AMU juga memiliki 6 kolej, 2 politeknik, beberapa institut, pusat kajian dan penelitian serta 15 asrama mahasiswa dan mahasiswi. AMU juga memiliki 7 Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Pada tahun ajaran 2005 – 2006 tercatat lebih dari 27.000 mahasiswa dan mahasiswi yang belajar di universitas ini. Mahasiswa dan mahasiswi tersebut tidak hanya berasal dari seluruh penjuru India, tapi juga berasal dari negara-negara luar, khususnya dari Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara.

AMU terbuka untuk semua golongan, kasta, warna kulit dan jenis kelamin. Menariknya lagi, di AMU ini kita akan menemukan adanya keseimbangan antara suasana kehidupan tradisional dan modern. Mutu dan kualitas program studi yang tinggi serta kenyamanan lingkungan sosial kampus yang ditawarkan oleh AMU dan nilai-nilai kebudayaan tradisional masyarakat India yang masih terpelihara membuat AMU menjadi pilihan yang sangat tepat bagi siapa saja yang ingin belajar dan mempertajam keilmuannya sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya.

Sebagai sebuah universitas terpandang dan ternama yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Muslim India, tentu saja, universitas yang merupakan simbol keislaman dan berada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu tersebut senantiasa berupaya keras untuk mempertahankan haknya sebagai universitas yang berstatus "minoritas".

Dengan adanya status minoritas yang melekat pada AMU tersebut, diharapkan para pelajar Muslim India memperoleh quota dan reservasi yang lebih besar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi terutama pada jurusan-jurusan profesional, seperti Kedokteran, Administrasi Bisnis serta Informasi dan Teknologi.

Upaya AMU untuk mempertahankan status minoritas ini muncul disebabkan oleh kenyataan yang ada bahwa para pelajar Muslim India masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan para pelajar Hindu. Lagi pula, banyak diantara para pelajar Muslim India yang terkena bias diskriminasi pada saat mendaftar dan masuk ke universitas-universitas di India. Itulah sebabnya AMU tetap berupaya keras untuk mempertahankan status minoritas ini.

Di dalam menanggapi "status minoritas" ini, Pengadilan Tinggi Allahabad (AHC: Allahabad High Court) menyatakan bahwa "status minoritas" yang melekat pada AMU serta reservasi 50% untuk masyarakat Muslim India tersebut adalah ilegal dan tidak dapat dibenarkan. AHC beralasan bahwa seluruh anak bangsa India harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan sesuai dengan perundang-undangan atau konstitusi yang berlaku di India.

Perdebatan mengenai "status minoritas" antara AMU dan AHC ini tidak hanya menjadi fokus perhatian AMU dan AHC saja, tapi juga melibatkan para politisi Muslim seluruh India, tokoh pemikir dan intelektual serta ulama-ulama India, mengingat kegagalan mempertahankan status minoritas ini merupakan kegagalan umat Islam India dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas para pelajar Muslim di bidang keilmuan profesional seperti yang disebutkan di muka tadi.

Menariknya, Pemerintah Pusat India melalui Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (Ministry of Human Resource Development (HRD), Government of India) mengatakan bahwa status minoritas yang melekat pada AMU adalah sah. Lebih dari itu, Pemerintah India yang berkuasa saat ini, tak hanya mengakui status minoritas pada universitas yang berdasarkan agama saja, tapi juga minoritas berdasarkan bahasa daerah, kasta dan ras. Dan sepanjang tahun 2005 lalu, boleh dikata berbagai Seminar dan Konferensi yang menuntut status minoritas ini diselenggarakan di AMU dan di beberapa wilayah Negara Bagian di India.

Perlu disebutkan juga bahwa sikap Pemerintah India yang berkuasa saat ini atau lebih dikenal dengan sebutan United Alliance Progresive (UPA) Government (Pemerintahan Aliansi Progresif Bersatu) mendapat tanggapan sebaliknya dari mantan Menteri HRD saat Partai Bharatia Janata (BJP: Bharatia Janata Party) berkuasa, Murli Manohar Joshi. Ia meminta Menteri HRD saat ini, Arjun Singh untuk bertanggung jawab terhadap "minoritisme" yang dibenarkan oleh UPA.

Dr. Joshi juga mempertanyakan pembentukan Komisi Nasional Institusi Pendidikan Minoritas (NCMEI: National Commission for Minority Educational Institutions). Menurutnya, pembentukan NCMEI ini telah meruntuhkan kredibilitas All India Council and Technical Education (AICTE) dan University Grants Commission (UGC). "Apakah UGC dan AICTE tak dapat dipercaya untuk menangani lembaga-lembaga minoritas?", tanyanya. Ia juga mengatakan bahwa politik "mayoritas-minoritas" inilah yang membuat perpecahan negera ini. Anggapan pendidikan yang penuh prasangka tersebut juga akan menciptakan sikap saling curiga antara sesama generasi muda bangsa.

Mengenai status minoritas ini telah diundangkan dalam Konstitusi India pasal 29 (Perlindungan terhadap kepentingan kelompok minoritas) dan pasal 30 (Hak-hak kelompok minoritas untuk mendirikan dan mengatur lembaga-lembaga pendidikan). Sungguhpun demikian, dalam Konstitusi pasal 29 ayat 2 disebutkan, "No citizen shall be denied admission into any educational institution maintained by the State or receiving and out of State funds only on grounds of religion, race, caste, language or any of them".

Di pihak lain, Perhimpunan Dosen-Dosen AMU (AMUTA: AMU Teachers’ Association) menyambut positif pembentukan departemen baru, yaitu Departemen Urusan Minoritas (Ministry for Minority Affairs). Karena itu, AMUTA mendorong semua partai untuk menyamakan platform mengenai jaminan status minoritas terhadap universitas. Kemudian pada tanggal 3 Pebruari 2006 lalu, delegasi AMUTA mengadakan pertemuan dengan Menteri Urusan Minoritas, AR Antulay.

Rizwan Khan, Sekretaris AMUTA menyatakan bahwa pembentukan departemen yang baru tersebut merupakan langkah positif dan ia mengungkapkan harapannya semoga semua partai dan tokoh-tokoh politik mematuhi kebijakan transparansi terhadap isu-isu sensitif yang berkaitan dengan minoritas. []

Zamhasari Jamil, Pelejar asal Riau pada Department of Political Science, Aligarh Muslim University, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home