Saturday, December 17, 2005

Presiden dan Wapres Inkari Amanah Konsekwensi

Oleh: Zamhasari Jamil

ORANG TUA saya selalu mengingatkan begini, "Nak, semakin tinggi pohon itu, semakin kencang angin yang dihadapinya. Dan bila kau takut dengan hembusan yang kencang itu, maka jadilah rumput yang rendah. Sebab dengan menjadi rumput yang rendah itu, engkau tak kena hembusan angin memang, tapi kau akan diinjak-injak orang." Ungkapan orang tua saya tersebut memperlihatkan bahwa amanah konsekwensi harus kita hadapi dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Artinya, semakin besar dan tinggi jabatan yang disandang oleh seseorang, sebagai konsekwensinya adalah semakin besar pula amanah dan tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Petuah yang disampaikan oleh orang tua saya tersebut sangat tepat untuk mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf kalla (JK) yang telah memperlihatkan sikap kekanak-kanakan mereka dalam menghadapi kritikan yang dihembuskan oleh rakyat Indonesia beberapa bulan terakhir ini. Tengoklah sikap Wapres JK dalam menanggapi kritikan yang disampaikan melalui untaian bait-bait puisi yang dibacakan oleh Prof. Dr. Winarno Surachmad dalam memperingati HUT PGRI Ke-60 di Solo beberapa pekan lalu.

Dan yang masih segar dalam ingatan kami sebagai pelajar yang sedang mengikuti pendidikan di berbagai Perguruan Tinggi India ini adalah dalam menghadapi kenyataan yang diperlihatkan oleh Presiden SBY pada saat acara silaturrahmi dengan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi tanggal 24 Nopember lalu, dimana acara silaturrahmi tersebut juga merupakan salah satu agenda resmi Presiden SBY pada saat mengadakan kunjungan resmi kenegaraan ke India dari tanggal 21-24 Nopember 2005.

Dalam acara silaturrahmi tersebut, salah seorang teman kami, menyampaikan masukan dan kritikan mengenai pendidikan di Indonesia. Teman tersebut membuat perbandingan antara mutu dan kualitas pendidikan India yang jauh lebih unggul dengan mutu dan pendidikan di Indonesia yang semakin suram, padahal Indonesia dan India adalah sama-sama negara yang sedang berkembang.

Menanggapi masukan dan kritikan ini, Presiden SBY beranggapan bahwa kami telah merendahkan Indonesia secara langsung dihadapannya. Presiden SBY telah memperlihatkan ketidakridhoannya pada saat kami menyatakan bahwa mutu dan kualitas pendidikan di India jauh lebih unggul bila dibandingkan dengan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Padahal, seperti yang diakui oleh Ibu Niniek Kun Naryatie, Kepala Bidang Ekonomi di KBRI New Delhi melalui komentarnya di mailing list ppi-india at yahoogroups.com bahwa data-data yang diangkat oleh teman tersebut cukup valid.

Presiden SBY sebaliknya menyerang bahwa teman kami yang bertanya tersebut seolah-olah gagap perubahan sehingga Presiden SBY mengatakan bahwa beliau sendiri juga pernah merasakan pendidikan di luar negeri, tapi beliau tidak mengagung-agungkan negara tempat ia mengikuti pendidikan tersebut yang kemudian berani pula melecehkan bangsa sendiri. Presiden SBY menganggap kami yang telah belajar di India telah berani melecehkan Indonesia dihadapannya selaku Kepala Negara RI saat ini. Padahal, masukan dan kritikan yang disampaikan tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian kami mengenai masa depan pendidikan di tanah air kami yang tercinta, Indonesia.

Ketidakridhoan Presiden SBY terhadap kritikan yang disampaikan oleh teman tersebut juga dapat disimak dalam pernyataan Presiden SBY di Istana Negara, Kamis (8/12). Beliau mengatakan, ”Saat berdialog dengan masyarakat Indonesia di India, ada warga yang sejak mulai bicara sampai selesai menjelek-jelekkan negeri kita dan memuji-muji luar negeri. Orang itu bicara di depan saya. Saya menyesalkan.” (KOMPAS, Jumat, 09 Desember 2005)

Satu hal yang patut diketahui oleh bangsa Indonesia adalah bahwa kunjungan resmi kenegaraan yang dilakukan oleh presiden RI mulai dari Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri hingga Presiden SBY tak banyak diliput dan diberitakan oleh media-media India. Ini pertanda kunjungan resmi kenegaraan yang dilakukan oleh RI bukanlah topik yang hangat untuk diketengahkan di khalayak ramai masyarakat India. Pemandangan ini akan sangat berbeda bila yang melakukan kunjungan resmi kenegaraan adalah presiden atau perdana menteri (PM) dari negara-negara lain dikawasan Asia, Singapura, misalnya.

Sepekan sebelum kunjungan PM Singapura ke India, media-media India telah ramai memuat pemberitaan mengenai rencana kunjungan, kemajuan-kemajuan, perkembangan dan hasil-hasil kesepakatan yang telah dicapai oleh kedua negara tersebut. Pemberitaan yang disampaikan oleh media-media tersebut berhasil menciptakan dan membangun kedekatan emosional masyarakat antar kedua negara itu, sehingga tak heran bila masyarakat India lebih mengenal Singapura daripada Indonesia. Padahal, wilayah Indonesia jauh lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah Singapura.

Rupanya, ketidaktertarikan media-media India untuk meliput kunjungan Presiden RI tersebut merupakan konsekwensi dari sikap arogansi pemerintah Indonesia di era Presiden Soeharto. Presiden Soeharto, yaitu presiden dari kawasan Asia yang paling disegani oleh dunia kala itu, telah memandang rendah terhadap India. Dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto inilah, pemerintah Indonesia dan masyarakat Indonesia memandang India hanyalah sebagai negara miskin dan terbelakang di dunia, sehingga Indonesia tak pernah menjadikan India sebagai patner dalam menggapai pembangunan yang lebih maju lagi. Adalah sangat wajar bila kunjungan Presiden SBY tersebut jadi tak istimewa bagi media dan masyarakat India. Itu semua merupakan konsekwensi dari sikap pemerintah Indonesia pada era Presiden Soeharto dulu.

Menariknya, mayoritas masyarakat India hanya mengenal Bali yang merupakan destinasi wisata serta Aceh yang merupakan wilayah konflik yang kemudian dihantam oleh badai tsunami. Mereka tak mengenal Indonesia, padahal kedua wilayah di atas (Bali dan Aceh) merupakan bagian dari Negara Kesatuan RI.

Suramnya wajah pendidikan di Indonesia juga merupakan konsekwensi dari hasil pendidikan yang diterima oleh menteri pendidikan beserta pengelola pendidikan pada era Presiden Soeharto dulu. Dan kusutnya muka Indonesia di panggung internasional saat ini juga merupakan konsekwensi dari pendidikan yang diraih oleh Presiden SBY dan Wapres JK pada duapuluh tahun atau tigapuluh tahun yang lalu. Kalaulah seandainya pendidikan di Indonesia sudah mapan sejak duapuluh tahun atau tigapuluh tahun yang lalu, bisa dipastikan bahwa Indonesia yang saat ini dinahodai oleh Presiden SBY dan Wapres JK sudah menjulang tinggi, dan Indonesia tak perlu lagi meminta-minta bantuan kesana-kemari.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk disebutkan disini bahwa Presiden India, Dr. APJ. Abdul Kalam dalam setiap kesempatan selalu mengungkapkan kepada rakyatnya akan pentingnya arti pendidikan bagi anak-anak yang saat ini masih pada usia Sekolah Dasar (SD). Abdul Kalam sadar betul bahwa wajah India duapuluh tahun atau tigapuluh tahun mendatang berada di pundak anak-anak yang saat ini masih pada usia SD tersebut.

Presiden Abdul Kalam adalah seorang ilmuan yang memiliki visi yang tajam dan jauh kedepan. Ia berasal dan dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin. Tak heran bila seluruh hari-harinya ia curahkan untuk memajukan bangsa dan negaranya. Menurut Abdul Kalam, pendidikan adalah sarana yang paling ampuh dan paling jitu untuk memperbaiki kehidupan. Walaupun India masih dianggap miskin materi, tapi India harus kaya sumber daya manusia (SDM) yang bisa dipertanggungjawabkan. Bila masyarakat suatu bangsa sudah memiliki SDM yang mantap, maka kekayaan materi itu bukanlah sesuatu yang sulit untuk didapatkan.

Berbeda dengan Presiden SBY atau Wapres JK yang dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yang sudah mapan, ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah pada zaman orde baru (Orba) yang memanjakan bangsa Indonesia dengan pembangunan infrastruktur, akan tetapi tidak diimbangi dengan pembangunan SDM yang kokoh, hingga akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin Indonesia yang cengeng dalam menghadapi kritikan, walaupun kritikan yang disampaikan itu didukung oleh data-data yang valid dan realita yang terjadi di tengah-tengah rakyat Indonesia.

Presiden SBY dan Wapres JK tak perlu menangisi berbagai kritikan yang disampaikan tersebut, karena kritikan rakyat itu juga merupakan salah satu agenda pemerintah RI yang harus diselesaikan. Semestinya Presiden SBY dan Wapres JK harus menerima kritikan dari rakyat Indonesia dengan lapang dada dan dengan tangan terbuka. Kritikan atau masukan -apapun bentuknya- merupakan salah satu konsekwensi dari tingginya jabatan yang SBY dan JK sandang saat ini. Bila Presiden SBY dan Wapres JK tak siap diterpa badai kritikan yang dihembuskan oleh rakyat Indonesia, itu artinya Presiden SBY dan Wapres JK telah menginkari amanah konsekwensi.

Untuk itu saya mengingatkan Presiden SBY dan Wapres JK, daripada mengingkari amanah konsekwensi, lebih baik Presiden SBY dan Wapres JK kembali menjadi rumput bersama-sama dengan kami. Dengan menjadi rumput yang rendah ini (baca: rakyat), niscaya Presiden SBY dan Wapres JK tak lagi diterpa badai kritikan. Hanya saja, kita harus siap dan tahan untuk diinjak-injak orang. Kritikan atau injakan orang lain, kedua-duanya adalah sebuah konsekwensi sekaligus sekuntum bunga yang menemani perjalanan kita dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia yang hanya sementara dan fana ini. []

Zamhasari Jamil, Mahasiswa Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, Aligarh India; berasal dari Riau.

1 Comments:

Blogger arisdarmanto said...

Maaf Pak Zamhasari Jamil, boleh saya tanggapi tulisan anda, menurut pendapat saya yang awam dan bodoh ini mungkin cara yang dilakukan oleh kawan anda itu kurang tepat padahal apa yang ingin disampaikan adalah baik. kenapa? karena menurut keyakinan saya dan berdasarkan apa yang saya pelajari bahwa cara memberikan kritik/saran/nasihat kepada pemimpin tidak seperti itu. Di dalam sebuah hadits disebutkan:"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah menyatakannya di depan umum terang-terangan. Hendaklah ia mengambil tangan penguasa tersebut (ke tempat tersembunyi -pent). Maka bila penguasa itu mau mendengar nasehat tersebut, itulah yang dikehendaki. Tetapi bila tidak mau mendengarnya, sungguh penasehat itu telah menunaikan apa yang diwajibkan atasnya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya, jilid 3 hal. 403-404, Al-Hakim dalam Mustadraknya, jilid 3 hal. 290, Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah hal. 507 no. 1096)

Jadi sangatlah tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga akan menimbulkan banyak fitnah. Seharusnya menasehati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat yang rahasia. Imam Syafi'i berkata bahwa barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah menasihati dan menghiasainya dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka dia telah mempermalukan dan merusaknya.

Demikian menurut saya, maaf apabila apa yang saya sampaikan tidak sesuai dengan apa yang anda harapkan.

11:16 PM  

Post a Comment

<< Home