Wednesday, November 23, 2005

Menolak Kritikan: Pengkhianatan Intelektualitas

Oleh: Zamhasari Jamil

MEMBACA tulisan saudara Lukman Nul Hakim, yang selanjutnya saya singkat LNH "Memberi Kritik" yang dimuatnya di milis [ppi-india] pada tanggal 19/11/2005, di satu sisi saya sepakat dengan apa yang telah disampaikannya tersebut, namun di sisi lain saya juga tidak sepaham dengan opini yang ditawarkan oleh LNH ini. Kesepakatan saya tersebut bisa dilihat pada pernyataan LNH bahwa "sahabat yang baik seharusnya tidak membiarkan kawannya berjalan dijalur yang salah". Di sini saya sangat sepaham sekali. Bahkan menurut saya, seseorang itu belum bisa disebut sebagai kawan sejati bila ia hanya terus-menerus memberikan pujian tapi tak pernah memberikan kritikan.

Didalam tulisannya, LNH telah memberikan beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam memberikan kritikan. Tujuan dari langkah-langkah yang telah ditawarkan itu tentunya untuk menghindari miscalculation dan misunderstanding antara yang menerima kritikan dan yang memberikan kritikan. Bagi si pengkritik, tujuannya menyampaikan kritikan itu mungkin "suci", yaitu agar yang dikritisi itu berubah, tentunya berubah menuju ke arah yang lebih baik lagi. Hanya saja, berapa banyak hubungan antara pengkritik dengan yang dikritisi menjadi retak, hanya karena kesalahan si pengkritik yang tidak memandang tempat dan waktu ketika menyampaikan kritikannya serta yang lebih berbahaya lagi, yaitu karena ketidaksiapan yang dikritisi dalam menerima kritikan itu tadi.

Langkah pertama yang ditawarkan oleh LNH , yaitu agar 'memberikan pujian didepan banyak orang, tetapi memberi kritikan ketika tidak ada orang' dalam pandangan saya hanya berlaku untuk seorang " kawan sejati" saja, tapi kiat ini tentunya sudah tak berlaku lagi bila " kawan sejati" tadi telah menjelma menjadi seorang public figur. Sebagai contoh, saudara adalah kawan sejati saya. Kemudian saudara menjadi seorang ketua organisasi. Saat anda masih berstatus kawan sejati saya, saya biasa mengkritisi "kepribadian saudara" secara face to face. Di sini anda masih bisa menerima kritikan dari saya. Nah, setelah saudara menjadi seorang ketua organisasi, tentunya saudara bukan hanya menjadi kawan sejati saya saja, tapi saudara juga sudah menjadi kawan sejati banyak orang dan status saudarapun berubah menjadi public figur.

Tatkala saudara menjadi seorang public figur dan saya tetap harus menyampaikan kritikan saya mengenai "kepemimpinan saudara", maka dalam kondisi seperti ini, saya harus menyampaikan kritikan itu secara terbuka. Hal ini saya lakukan karena kesempatan kita untuk saling bersua secara face to face seperti saat kita masih ber" kawan sejati" itu sudah berkurang atau bahkan sudah tidak ada lagi. Hal penting yang harus saudara ingat dan saudara pahami adalah bahwa pada saat kita berkawan sejati dulu yang saya kritisi adalah "kepribadian saudara", dan pada saat saudara sudah menjelma menjadi seorang public figur, maka yang saya kritisi adalah "kepemimpinan saudara". Kenyataan yang sering terjadi di tengah-tengah kehidupan dan lingkungan sekitar kita memperlihatkan bahwa cukup banyak pemimpin kita, ketua organisasi kita, tokoh atau public figur di negara kita ini yang tidak siap menerima kritikan tersebut.

Manakala kita menyampaikan kritikan mengenai gaya atau sikap kepemimpinan seorang ketua yang telah berubah menjadi seorang public figur itu, kritikan tersebut masih dikira dan dianggap menyerang kepribadiannya. Jiwa kepemimpinan seorang tokoh atau ketua yang semacam ini saya sebut sebagai "Jiwa Agar-agar". Saya yakin saudara pernah mendengar nama kue agar-agar ini. Rasanya enak, tapi sulit untuk digenggam. Seorang pemimpin yang memiliki "jiwa aga-agar" enak diajak berbicara, tapi sulit untuk diajak untuk berkomunikasi serta bertukarpikiran. Pemimpin atau ketua yang "berjiwa agar-agar" sulit untuk menerima masukan serta kritikan dari orang lain, sebab pemimpin atau ketua tersebut merasa bahwa ia memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan tanpa pernah memandang aspirasi dari pihak lain yang merupakan bawahannya atau anggotanya.

Pada langkah yang kedua, LNH menulis, "Ingat selalu rumus '3 - 1'. Jika anda ingin mengkritik orang maka berilah ia pujian 3 kali, baru kemudian kritik satu kali". Pada poin ini, saya juga tidak sepakat sepenuhnya dengan tawaran LNH tersebut. Menurut saya, hanya seorang yang “berjiwa agar-agar” saja yang bisa menerima dan sepakat dengan langkah kedua yang diketengahkan oleh LNH itu. Bila kita membaca sejarah orang-orang besar, F.W. Taylor, seorang pakar Public Administrasi, misalnya, dimana pendapatnya yang mengatakan bahwa "manusia itu pada dasarnya dilahirkan dengan membawa sifat malas dan itu alami adanya" dikritisi oleh pihak lain, apakah Taylor marah dan kemudian menjadikan Taylor "berjiwa agar-agar?" Tidak, Taylor bukanlah orang yang "berjiwa agar-agar". Taylor memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang berjiwa tegar dan berjiwa besar dalam menerima kritikan.

Contoh lain tak usah jauh-jauh, bila kita selalu membaca dan mau memperhatikan "Mukaddimah" sebuah buku, biasanya penulis buku tersebut mengakhiri Mukaddimahnya dengan meminta saran dan kritikan dari para pembaca demi peningkatan mutu dan kualitas tulisannya pada terbitan berikutnya. Ini artinya, hanya orang-orang yang berjiwa besar yang berani meminta dan siap menerima kritikan itu, apapun bentuknya. Sampai hari ini, saya belum pernah menemukan ada penulis sebuah buku yang meminta dipuja dan dipuji mengenai hasil karyanya itu. Hanya mereka yang berjiwa besarlah yang siap menerima kritikan. Dan memang "orang besar" selalu memiliki "jiwa besar", bukan memiliki "jiwa agar-agar".

Pujian tak selamanya menjadikan pihak yang dipuji itu menjadi maju dan berkembang, dan bahkan bagi mereka yang "belum siap" untuk dipuji, bisa membuat pujian itu sebagai jurang menuju ke lembah kemunduran bagi yang dipuji. Dan begitu pula, tak selamanya kritikan itu membuat yang dikritisi menjadi hina dan wibawanya hilang karena kritikan itu tadi. Sebab bagi sebagian orang, tentunya bagi mereka yang hendak menjadi "orang besar", kritikan adalah cambuk sekaligus jembatan atau titian menuju ke puncak kemajuan.

Kemudian pada langkah ketiga, LNH menulis "Katakan dengan bahasa yang tidak menyakitkan hati. Katakan dengan bahasa yang tidak menghakimi, halus dan sopan". Disini lagi-lagi saya ingin menyampaikan bahwa poin ini hanya berlaku untuk " kawan sejati" serta bagi mereka yang "berjiwa agar-agar". Bagi seorang yang berjiwa besar, apapun bentuk kritikan tersebut akan diterimanya dengan lapang dada. Saudara mungkin masih ingat bagaimana sikap Megawati Sukarno Putri pada saat menjadi presiden dan sebagai bentuk kritikan terhadap pemerintahannya, gambar Megawati yang masih "manis" itu dibakar oleh mahasiswa. Megawati tak bisa menerima kenyataan itu. Tapi pernahkan saudara tahu bagaimana sikap Sonia Gandhi ketika gambarnya dibakar dan diinjak-injak oleh kaumnya? Sonia Gandhi tak pernah memperlihatkan sikap kekecewaannya, namun sebaliknya Sonia Gandhi terus menata dan memperbaiki kepemimpinannya sekaligus membawa masyarakatnya untuk bersama-sama mencapai "India Shining" di pentas dunia.

Pada langkah keempat dari tawaran LNH tersebut, saya jadi teringat dengan salah satu bait lagu Nawal Al-Zoughbi yang artinya begini, "Introspeksi diri anda dulu sebelum anda mengintrospeksi diri orang lain". Saudara LNH mungkin lupa dengan ayat Allah SWT yang mengajarkan manusia ini untuk saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam berbuat kesabaran. Kalimat "saling menasehati" bagi saya dapat diimplementasikan dalam bentuk saling mengkritisi. Bila saudara melihat sesuatu yang perlu saudara kritisi tentang kepribadian atau kepemimpinan saya, silakan saudara kritisi. Dan begitu pula sebaliknya, saya akan mengkritisi kepribadian atau kepemimpinan saudara kalau itu memang perlu untuk dikritisi. Sebab tanpa pernah dikritisi oleh orang lain, kita akan selalu merasa benar sendiri.

Adapun pada langkah terakhir LNH menulis, "Beberapa individu atau beberapa orang dari daerah tertentu cenderung terbiasa dengan kata-kata yang halus, pilihan kata yang menurut kita 'biasa' untuk orang dari komunitas kita belum tentu biasa untuk orang lain". Pada poin ini, lagi-lagi saya ingin menyatakan bahwa langkah ini hanya berlaku untuk "kawan sejati" saja. Bila ia sudah menjadi seorang pemimpin atau public figur, maka ia harus bisa menerima segala macam bentuk kritikan. Sebab seorang pemimpin atau seorang ketua harus memahami bahwa orang yang sedang dipimpinnya itu berasal dari beragam suku dan budaya. Dengan demikian, cara penyampaian kritikan pun nantinya akan beraneka dan beragam pula. Itulah sebabnya seorang pemimpin dituntut untuk tidak "berjiwa agar-agar", tapi harus berjiwa besar dan selalu berlapang dada. Pernahkah kita menyadari bahwa Rasulullah SAW dikagumi oleh makhluk di langit dan di bumi, tentunya tidak lain dan tidak bukan karena kebesaran jiwa dan sikapnya yang selalu berlapang dada dalam menerima hinaan, cobaan, kritikan baik dari kawan maupun dari lawannya?

Di akhir tulisan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada saudara Lukman Nul Hakim, mahasiswa pascasarjana Psikologi di Jamia Millia Islamia, New Delhi, atas langkah-langkah dalam memberikan kritikan yang telah saudara paparkan. Dan saya hanya ingin mengatakan bahwa langkah-langkah itu sudah benar, tapi "kebenarannya" masih berada dalam "sub-folder" kebenaran, bukan berada pada "main folder" kebenaran. Sebagai Ustadz Dinamis, saya ingin menyampaikan bahwa tak ada gunanya kita membiarkan "jiwa agar-agar" tersebut bersemayam indah didalam diri kita. Saya juga menghimbau mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang merupakan insan akademis dan juga merupakan kaum intelektual untuk mampu memperlihatkan kebesaran jiwa kita dalam menerima berbagai kritikan dari orang lain. Mahasiswa dan mahasiswi itu adalah singa. Dan sudah bukan masanya lagi singa itu tidur dan cengeng bila dikritisi. Jadikan kritikan itu sebagai jembatan dan titian dalam menggapai kemajuan, sebab bila kita menolak kritikan, berarti kita telah melakukan pengkhianatan intelektualitas. Karena itu, bangunlah dan mengaumlah wahai singa-singa yang masih bermalas-malasan.[]

Zamhasari Jamil,
Pelajar asal Riau pada Department of Political Science di Aligarh Muslim University, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home