Wednesday, November 09, 2005

Apakah Kamu Tak Berpikir?

Oleh: Zamhasari Jamil

BULAN Ramadhan sebagai bulan yang diagungkan oleh seluruh umat Islam dibelahan bumi manapun berakhir sudah. Ramadhan akan selalu datang setiap tahunnya, dan kemudian iapun akan kembali pergi meninggalkan kita. Ia datang kehadapan kita sembari menghidangkan rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan “belanga” ‘itqun min an-naar (pembebasan dari api neraka) dari Allah Ta’ala. Seluruh umat Islam yang sadar akan nikmatnya hidangan tersebut akan berlomba-lomba untuk menikmatinya. Dalam setiap khutbah, ceramah dan kuliah yang disampaikan oleh muballigh-muballighat dalam rangka menyambut kehadiran bulan Ramadhan selalu disampaikan tentang berbagai kenikmatan yang ada di bulan Ramadhan tersebut. Nikmatnya hidangan Ramadhan dapat kita rasakan manakala kita menyadari betul betapa besarnya kasih sayang Allah Ta’ala kepada hambaNya sehingga ia mendatangkan Ramadhan dengan berbagai hidangan yang tak disediakan di bulan-bulan yang lain selain di bulan Ramadhan ini. Apakah kamu tak pernah berpikir?

Bulan Ramadhan 1426 H ini adalah bulan Ramadhan yang kelima bagi penulis selama di India. Dan sudah duapuluh enam kali pula Ramadhan yang penulis lalui sejak penulis dilahirkan pada Jum’at, 22 Dzulhijjah 1400 H. Penulis merasakan banyak perubahan dari tahun ke tahun dalam menyambut dan mengisi bulan Ramadhan itu. Dulu, manakala penulis masih berumur 5 tahun, kedua orang tua serta kakek dan nenek penulis telah mengajarkan penulis untuk berpuasa yang dimulai sejak waktu Imsak hingga pukul 12.00 siang. Mungkin kedengaran aneh, tapi begitulah keluarga penulis mengajarkan penulis untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Dan didikan tersebut begitu terkesan bagi penulis hingga saat ini, apalagi di malam-malam bulan Ramadhan bapak selalu mengajak penulis untuk bersama-sama melaksanakan sholat tarawih yang kemudian diteruskan dengan tadarrus Al-qur’an di mesjid yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah penulis.

Hari ini sudah tak sama lagi dengan hari-hari penulis dua puluh tahun yang lalu, dimana saat ini urusan belajar sholat serta belajar membaca Al-quran sudah tak dipandang perlu lagi. Seorang anak akan dianggap ketinggalan zaman bila tak sukses dalam belajar ilmu matematika, ilmu biologi, ilmu kimia, ilmu fisika serta tak menguasai bahasa asing seperti bahasa inggris. Tapi dianggap biasa saja bila si anak tak bisa sholat, tak bisa membaca Al-quran. Sayangnya banyak diantara orang tua si anak juga beranggapan sama, yaitu merasa tak perlu dengan urusan yang terakhir ini. Ada yang merasa perlu, tapi perasaan perlu tersebut dikalahkan pula oleh perasaan malu untuk belajar dan bertanya. Akhirnya, sampai kapanpun si anak tak akan pernah bisa untuk bisa sholat dan membaca Al-quran secara sempurna. Kesempatan untuk belajar dan bertanya itu ada, tapi sangat jarang diantara kita yang mampu menggunakan kesempatan itu. Ketahuilah bahwa kesempatan tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Apakah kamu tak pernah berpikir?

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam menyambut dan mengisi bulan Ramadhan itu terjadi karena memang penghayatan kita terhadap tingginya nilai dan keistimewaan bulan Ramadhan tersebut telah berkurang. Bagaimana mungkin kita merasa nikmat melaksanakan sholat sedangkan kita sendiri tak menguasai bacaan dan tata cara sholat secara benar? Bagaimana mungkin kita betah bertahan di mesjid atau di musholla, duduk bersama-sama bertadarrus Al-quran sedangkan kita tak bisa membaca Al-quran? Tak heran, bila mesjid hanya diisi oleh generasi-generasi ‘tempoe doeloe’ yang notabene mereka adalah orang-orang yang masih menyadari bahwa hidup ini harus seimbang, yaitu antara hidup di dunia dan hidup di akhirat kelak. Muncul pertanyaan, apakah generasi sekarang tidak menyadari tentang pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat? Penulis hanya ingin mengatakan bahwa setiap pribadi manusia sudah diberikan akal pikiran, apakah kamu tak pernah berpikir?

Pemandangan yang terjadi hari ini adalah tak jarang kita merasa resah dan gelisah ketika akan memasuki bulan Ramadhan. Kita selalu bertanya tentang apa yang harus menjadi perbukaan puasa kita hari ini, hari besok dan seterusnya. Sebaliknya kita benar-benar mencurahkan rasa kebahagiaan kita manakala bulan Ramadhan pergi meninggalkan kita yang kemudian disusul dengan tibanya bulan Syawal, bulan Idul Fitri atau hari-hari lebaran. Sebagai contoh dapat dilihat betapa seringnya kita bertanya tentang pakaian baru yang mana yang kira-kira pas untuk kita kenakan pada saat sholat Idul Fitri, saat bertamu ke rumah fulan dan ke rumah fulan. Kita sering terjebak kedalam kesalahan yang tanpa kita sadari dalam menempatkan rasa kebahagiaan. Tidakkah kita pernah membaca sejarah bagaimana para sahabat Rasulullah SAW, para ulama serta orang-orang shalih terdahulu itu begitu bahagianya menyambut kedatangan bulan Ramadhan dan begitu sedihnya mereka manakala bulan Ramadhan berakhir. Hal itu bisa terjadi karena mereka memang benar-benar merasakan nikmatnya hidangan yang tersedia di bulan Ramadhan itu. Apakah kamu tak pernah berpikir?

Suatu kali penulis ditanya, “Setelah sekian lama anda merantau, apakah anda tak merasa rindu untuk berpuasa bersama-sama dengan keluarga anda?” Air mata penulis menetes tanpa disadari menghadapi pertanyaan ini. Yang membuat penulis merasa sedih adalah karena pertanyaan ini telah membuka kembali ingatan penulis tentang bagaimana indahnya masa-masa kecil penulis ketika memasuki bulan Ramadhan. Masa itu, sebelum bulan Ramadhan tiba, penulis bersama-sama dengan teman-teman sebaya sudah mempersiapkan mercun bambu serta lampu colok sebagai ciri khas tibanya bulan Ramadhan. Dan lentuman suara mercun bambu ini akan terdengar saling sahut-sahutan serta gemerlapnya cahaya lampu colok ini akan lebih meriah lagi terutama di malam tujuh liku atau malam keduapuluh tujuh Ramadhan. Sungguhpun demikian, sholat tarawih dan tadarrus Al-quran tetap tak ditinggalkan.

Hari ini anak-anak sudah tak tertarik lagi untuk beramai-ramai ke mesjid atau ke musholla untuk melaksanakan sholat tarawih, apalagi bertadarrus Al-quran. Bahkan sering pula ditemukan orang tua yang beranggapan bahwa kehadiran anak-anak ke mesjid hanyalah mengganggu ketenangan orang-orang yang sedang melaksanakan sholat. Padahal disinilah fungsi orang tua untuk menenangkan si anak bila si anak bermain-main manakala ibadah sholat sedang didirikan. Orang tua harus memberikan pemahaman kepada si anak bahwa tatkala sedang sholat, maka seluruh kegiatan bermain-main harus ditinggalkan terlebih dahulu. Kalaupun mereka bermain-main, itu adalah wajar, namanya juga anak-anak. Apakah kamu tak pernah berpikir?

Satu hal yang membuat penulis bersedih kembali setelah Ramadhan 1426 H ini berlalu adalah manakala penulis ditanya oleh salah seorang anak yang masih polos tentang mengapa penulis tak pernah lagi hadir untuk mengajarkan Iqra’ kepada mereka. Pertanyaan ini muncul tentunya karena didasari oleh minat mereka yang begitu kuat untuk bisa membaca Al-quran secara benar tentunya. Penulis merasa bahwa tanggung jawab penulis belum selesai. Penulis berdoa dan berharap kepada Allah Ta’ala semoga niat tulus mereka untuk mempelajari Al-quran tetap terus membara dan tak surut serta larut dibuai oleh gemerlapnya dunia yang begitu menggoda dan menggiurkan.

Penulis berpesan kepada adik-adikku yang sudah memulai untuk belajar membaca Al-quran melalui Iqra’ agar tetap meneruskannya. Adik-adik tidak akan pernah rugi bila adik-adik mampu mengetahui tata cara sholat secara benar, adik-adik tak akan pernah rugi bila adik-adik mampu membaca Al-quran secara sempurna. Ingatlah bahwa penyesalan itu datangnya bukan hari ini, tapi besok lusa. Berapa banyak orang-orang yang ada di sekitar kita yang merasa malu untuk belajar kembali setelah tiba masa tua. Sebenarnya tak ada yang perlu dimalukan untuk belajar dan bertanya tentang hal-hal baik yang memang belum kita ketahui. Rasulullah SAW sendiri pernah mengingatkan kita bahwa masa untuk belajar itu adalah sejak dari buaian hingga ke liang lahad. Adik-adik kita telah memperlihatkan minatnya untuk belajar tata cara sholat dan membaca Al-quran secara benar dan sempurna. Sekarang, bagaimana kita meresponnya? Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita supaya kita mempelajari Al-quran dan mengajarkannya kepada orang lain bila kita sudah mampu mengajarkannya.

Menjadikan adik-adik kita, anak-anak kita mampu mengetahui tata cara sholat serta membaca Al-quran secara benar bukan hanya menjadi tanggung jawab para guru agama, para ustadz, para kiyai, tapi ia merupakan tanggung jawab kita semua yang memang sudah mampu untuk mengajarkannya. Peranan serta respon positif kedua orang tua dalam menanggapi dan memenuhi keinginan anaknya tersebut sangat menentukan keberhasilan si anak dalam mempelajari ilmu Al-quran. Hati siapa yang tak bahagia melihat seorang anak mampu membaca Al-quran secara tepat. Kerinduan penulis terhadap masa-masa kecil penulispun turut terobati manakala penulis mendengarkan suara anak-anak melantunkan ayat-ayat Allah Ta’ala yang maha mulia.

Akhirnya, dipertengahan malam yang sunyi sepi ini, penulis bermunajat kepada Allah Ta’ala semoga Allah Ta’ala mempertemukan penulis dengan seorang wanita yang dengannya dapat menjadikan penulis bersamanya mampu menjadi seorang ayah dan ibu yang sadar akan tanggung jawabnya serta dapat menghantarkan kami dalam meraih ridhoNya. Ingatlah bahwa anak merupakan titipan Allah Ta’ala kepada kedua orang tua yang kelak di hari kiamat akan dimintai pertanggungjawaban. Apakah kamu tak pernah berpikir? []

Zamhasari Jamil, Alumnus Department of Islamic Studies, Jamia Millia Islamia, New Delhi. Pelajar Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, Aligarh, India.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Mas Izzam...., ng ng ng..., saya nangis nih...ng ng ng..., thanks for you...

9:59 PM  
Blogger Ghobro said...

pengorbanan yang besar mudah-mudahan pulangnya jadi orang besar

10:45 AM  
Anonymous Anonymous said...

Akhirnya, dipertengahan malam yang sunyi sepi ini, penulis bermunajat kepada Allah Ta’ala semoga Allah Ta’ala mempertemukan penulis dengan seorang wanita yang dengannya dapat menjadikan penulis bersamanya mampu menjadi seorang ayah dan ibu yang sadar akan tanggung jawabnya serta dapat menghantarkan kami dalam meraih ridhoNya. Ingatlah bahwa anak merupakan titipan Allah Ta’ala kepada kedua orang tua yang kelak di hari kiamat akan dimintai pertanggungjawaban. Apakah kamu tak pernah berpikir? []



semoga doa k.izam dikabulkan amiin.

9:04 AM  

Post a Comment

<< Home