Friday, October 28, 2005

Hukum Itu Perawan Dan Tunanetra

Oleh: Zamhasari Jamil

BERBAGAI berita yang ada di tanah air saat ini cukup menyesakkan dada. Mulai dari kasus korupsi di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung serta mafia peradilan dan jual beli perkara yang sudah menjadi rahasia bersama, naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) disaat masyarakat kita belum siap untuk menerimanya, meletusnya bom Bali jilid kedua, semuanya menandakan bahwa negara kita adalah negara yang tak bertuan dan tak memiliki pemimpin yang bisa diharapkan mampu membawa bangsa ini dalam menggapai kemajuan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dipilih oleh rakyat secara langsung setahun yang lalu, tanpaknya lebih cenderung untuk selalu meningkatkan popularitas serta membangung citra positif dirinya sendiri hingga akhirnya SBY terkesan sebagai figur kepala negara yang lamban dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Tak heran bila Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden terkesan selalu melangkahi berbagai keputusan yang seharusnya dikeluarkan oleh Presiden.

Dalam sebuah wawancara langsung dengan salah satu stasiun Radio di Jakarta, saya ditanyai mengenai masalah mafia peradilan. Sebagai seorang mahasiswa ilmu politik, tentunya topik ini sangat menarik sekali bagi saya sebagai "pemain baru" di bidang atau di jurusan ilmu politik ini. Berbicara tentang peradilan berarti kita juga membicarakan masalah hukum. Pada saat wawancara itu berlangsung, saya mengatakan secara tegas bahwa hukum itu adalah perawan dan hukum itu juga buta atau tunanetra, artinya hukum itu tidak memiliki mata dan tidak bisa melihat, memilih dan memilah sebagaimana halnya manusia.

Sebelum melangkan lebih jauh, saya ingin menyampaikan bahwa hukum itu adalah sejumlah aturan atau norma yang bisa diterima oleh masyarakat yang waras atau masyarakat yang sadar. Hukum juga merupakan suatu badan yang dikendalikan oleh manusia dan sekaligus sebagai tali pengikat antara satu sama lainnya dan sekaligus mencakup hubungan antar sesama manusia di dunia ini. Begitulah semestinya keberadaan hukum di negeri ini. Tapi untuk saat ini hukum hanya tinggal nama saja. Pelaksanaan dan penegakan hukum di negeri ini hanya gurauan belaka.

Terkuaknya kasus korupsi di lingkungan Mahkamah Agug baru-baru ini yang melibatkan nama ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan membuktikan bahwa hukum di negara kita sudah tak bisa lagi dijamin keabsahannya. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa hukum di Indonesia telah diperkosa dan dinodai oleh orang-orang yang seharusnya menjaga keperawanan hukum itu sendiri. Tapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, hukum telah ditelanjangi dan diperkosa oleh orang-orang hebat dan orang-orang berpangkat di negeri ini. Sungguh menjijikkan memang, tapi itulah kenyataan yang harus kita terima.

Ketidakperawanan hukum di Indonesia itulah yang menyebabkan semua orang ingin merasakan untuk turut menodai hukum tersebut. Apabila para elit kita belum mampu menegakkan hukum itu secara benar, menjaga kemurnian hukum itu tanpa pernah menodainya, maka kita sebagai masyarakat awam tak bisa berharap banyak untuk merasakan tegaknya hukum di Indonesia secara sempurna. Bagaimana mungkin kita bisa merasakan hukum itu tegak dan berjalan secara sempurna, sedangkan para pembuat hukum itu sendiri bersama para elit di negeri ini masih tetap saja melacuri hukum tersebut. Adalah wajar bila hukum memandang sama antara pejabat dan penjahat. Sebuah hukum yang sudak tak perawan lagi, tak akan bisa tegak dan berjalan secara sempurna.

Selain hukum yang sudah tidak perawan lagi, hukum di Indonesia juga memiliki mata seperti manusia. Seperti yang saya katakan di muka tadi, bahwa seharusnya hukum itu tetap tunanetra atau buta. Sampai kapanpun hukum tak akan pernah bisa melihat sebagaimana manusia. Akan tetapi hukum di Indonesia memiliki mata, sehingga hukum tersebut bisa melihat serta memilah-milah mana pejabat dan mana yang bukan pejabat. Hukum di negeri kita mampu membedakan mana orang berduit dan mana orang yang tak berduit.

Maraknya mafia peradilan karena hukum di Indonesia ini bisa melihat, sehingga bagi mereka yang memiliki uang yang banyak, mereka tak akan segan-segan untuk mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan perkaranya di lembaga peradilan. Mereka tak segan-segan untuk mengucurkan sejumlah uangnya hanya demi memuluskan perkaranya di lembaga peradilan itu. Praktek menyuap-disuap inilah yang kemudian menjadikan keputusan di lembaga peradilan itu menjadi tak otentik dan tak bisa dijadikan pedoman lagi.

Hukum yang sudah tidak perawan dan hukum yang sudah bisa melihat ini menjadikan masyarakat kelas bawah dan tidak memegang kekuasaan secuilpun semakin hari semakin tertindas. Bayangkan, seorang koruptor kelas berat yang sudah jelas-jelas menyengsarakan bangsa ini bebas-bebas saja berkeliaran di negeri ini. Bukan berarti mereka tak pernah masuk ke lembaga peradilan, namun karena koruptor kelas berat di negeri ini sudah bermain mata dengan mereka yang ada di lembaga peradilan tadi, maka jadilah koruptor itu kembali bebas seperti semula. Uang telah menjadikan para penegak hukum menjadi buta dan tuli. Ia buta karena tak bisa membedakan mana pejabat dan mana penjahat. Ia tuli karena tak bisa lagi mendengarkan mana yang benar dan mana salah, mana yang hak dan mana yang bathil.

Untuk mengembalikan keperawanan hukum itu serta menjadikan hukum itu tetap tunanetra, kita membutuhkan pemimpin yang berani memulai untuk tidak menodai hukum tersebut. Kemudian, kita juga membutuhkan orang-orang yang berani mempertaruhkan jabatan dan nyawanya dalam mengungkap segala macam bentuk pelangggaran terhadap hukum. Sebagai contoh, kita harus tetap memberikan dukungan kepada Khairiansyah Salman yang pada akhirnya menyeret ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Nazaruddin Syamsuddin dan anggotanya ke penjara.

Kita juga memerlukan orang-orang yang berani memberangus segala macam bentuk pelanggaran terhadap hukum tanpa pernah menjadikan hukum itu seperti manusia yang mampu melihat. Dalam hal ini, ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki dapat kita jadikan sebagai contoh yang patut untuk diikuti dalam rangka memberangus tindakan korupsi. Sebagai bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai kesulitan hidup yang begitu kompleks, hukum yang sudah tidak lagi tegak dan berjalan secara sempurna, meningkatnya harga BBM yang menyebabkan meningkatnya harga kebutuhan primer yang lainnya, peledakan bom yang tiada henti-hentinya, serta muramnya wajah Indonesia di panggung internasional, sudah semestinya kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari beraneka ragam kejadian yang pernah terjadi di negeri ini.

Bangsa Indonesia pernah memiliki presiden Suharto, Bapak Pembangun KKN di Indonesia, bangsa Indonesia juga memiliki orang cerdik seperti Akbar Tandjung, bangsa Indonesia juga memiliki orang terdidik seperti Nazaruddin Syamsuddin, meskipun pada awalnya mereka ini disanjung-sanjung, tapi pada akhirnya masyarakat Indonesia tidak akan pernah puas melihat tindakan mereka sampai (sepertinya) mereka ini menerima hukuman gantung. Disisi lain, bangsa Indonesia juga memiliki Taufiqurrahman Ruki yang berani memberangus korupsi bahkan di level atas sekalipun, bangsa Indonesia juga memiliki Khairiansyah Salman, seorang manusia biasa yang berani meletakkan jabatannya dan menyerahkan nyawanya kalau memang itu yang diminta kepadanya demi menegakkan kebenaran. Kita tinggal memilih, siapakah yang pantas untuk kita tiru dalam menegakkan hukum di negeri ini.

Menjadikan penjahat sebagai idola dalam hidup kita, berarti kita membantu meruntuhkan dan mencemari hukum di negeri kita sendiri. Namun, bila kita menjadikan orang-orang yang berani dalam mengungkapkan kebenaran sebagai idola dalam hidup kita berarti kita telah membantu menjaga keperawanan hukum di Indonesia dan juga turut menjadikan hukum untuk akan tetap tunanetra selamanya. Sebagai bangsa Indonesia, pada hakikatnya kita adalah sama dan setara. Hukum tak boleh membeda-bedakannya.[]

Zamhasari Jamil, Mahasiswa Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, Aligarh, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home