Wednesday, July 13, 2005

Mungkinkah Meniru Pendidikan India?

Oleh Zamhasari Jamil

SUATU hari Imam Syafi'i datang menghadap dan mengadu kepada gurunya, Imam Waki', bahwa beliau (baca: Imam Syafi'i) menghadapi persoalan berupa sulit menghafal pelajaran. Kemudian Imam Waki' menyarankan kepada Imam Syafi'i untuk meninggalkan maksiat dan perbuatan yang tak bermanfaat. Imam Waki' juga memberitahu Imam Syafi'i bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah itu tak akan diberikan kepada mereka yang suka berbuat maksiat dan mengerjakan hal-hal yang tak bermanfaat. Demikian ingatan saya langsung menerawang tatkala membaca berita-berita mengenai siswa-siswi yang gagal dalam ujian nasional tahun 2005 ini.

Bagaimana tidak, manakala tercatat sudah 815.527 siswa dinyatakan tidak lulus ujian nasional, SMA Al-Falah Surabaya malah memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengelola pendidikan yang pada akhirnya menghasilkan 60% lulusannya mampu meraih angka 10 untuk bidang studi Matematika, bidang studi yang selalu ditakuti oleh para siswa dan siswi hampir di semua sekolah di Indonesia (Media Indonesia, Jum'at, 01 Juli 2005).

Keberhasilan SMA Al-Falah Surabaya ini rupanya juga tak terlepas dari peran aktif guru-gurunya dalam membina murid-muridnya. Fenomena yang berkembang di lingkungan siswa-siswi yang lulus SMP atau SMA akhir-akhir ini adalah merayakan kelulusan itu dengan corat-coret pakaian seragam, konvoi di jalan-jalan atau kebut-kebutan di jalanan rupanya tak berlaku di SMA Al Falah ini. Bahkan seperti yang diungkapkan oleh Kepala SMA Al Falah, Rooswandi Hidayat kepada Media Indonesia, para siswa-siswi diminta untuk mengingat-ingat kesalahannya dengan orang tua, guru dan teman. Sesuatu yang jarang terdengar dilakukan oleh sekolah-sekolah yang lain. Tak heran, bila guru mampu memahami kondisi dan bisa mengadakan pendekatan psikologis dengan siswa dan siswinya, maka semua pelajaran itu akhirnya akan mudah dicerna dan diterima oleh murid.

Saya melihat bahwa merosotnya mutu pendidikan di Indonesia adalah disebabkan oleh tidak ketidakpiawaian Departemen Pendidikan Nasional dalam mengelola pendidikan. Banyak diantara pengelola pendidikan selalu mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan. Kita bisa lihat, berapa banyak yayasan pendidikan yang didirikan, tapi semuanya itu hanyalah dijadikan sebagai sarana untuk mengejar kekayaan pribadi tanpa pernah mempertimbangkan mutu dan hasil lulusan dari lembaga itu. Kenyataan yang sering kita hadapi di lapangan bahwa lembaga pendidikan hanya dijadikan tunggangan untuk meraih kekayaan dan meraup uang secara instan. Kita tengok saja imej yang berkembang di masyarakat kita bahwa semakin tinggi biaya pendidikan pada sebuah sekolah atau lembaga pendidikan, maka semakin bagus mutu pendidikan di sekolah tersebut. Padahal, belum tentu sekolah yang memungut biaya pendidikan yang sangat mahal itu mampu menjamin mutunya.

Disinilah saya melihat adanya perbedaan tujuan dan cara pandang para pengelola pendidikan di negara kita Indonesia dengan India. Di India, masing-masing lembaga pendidikan diberikan otonomi untuk mengelola pendidikannya yang tentunya tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Lembaga pendidikan tersebut tentunya juga harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Satu hal yang perlu kita kagumi adalah bahwa semua lembaga pendidikan pemerintah mendapat dukungan finansial yang cukup dari negara. Karena itu, tak aneh, bila India dikenal sebagai negara yang miskin, tapi bila ditinjau dari segi mutu pendidikannya, India jauh lebih unggul dari Indonesia, terutama di bidang Informasi dan Teknologi.

Mengapa India bisa maju di bidang pendidikan? Tentu banyak faktor yang mendukung keberhasilan pendidikan di India. Selain lembaga pendidikan tersebut mendapatkan dukungan finasial yang cukup dari negara, tenaga pendidik juga memiliki perhatian yang cukup serius dengan pekerjaan yang digelutinya, sehingga pekerjaan sebagai guru atau dosen yang hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan tak akan pernah ditemui di India. Pemandangan ini tentu sangat bertolak belakang dengan fenomena yang terjadi di Indonesia dimana pekerjaan sebagai guru atau dosen hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan dan untuk mengangkat derajat serta status sosial dalam masyarakat saja.

Selain faktor diatas, biaya pendidikan di India sungguh sangat murah sekali, sehingga kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi masyarakat India sungguh sangat terbuka lebar. Mungkin masyarakat Indonesia tak percaya bila universitas seperti Jamia Millia Islamia, New Delhi hanya memungut sebesar 2.500 rupees (senilai Rp. 500.000) per tahun dari setiap mahasiswa atau mahasiswinya. Atau yang lebih mengagumkan lagi, Jawaharlal Nehru University, New Delhi memungut Rs.250 (senilai Rp. 50.000) dari setiap mahasiswa dan mahasiswinya per tahun. Bagaimana dengan biaya pendidikan untuk mahasiswa asing? Secara umum universitas-universitas di India hanya memungut lebih kurang sebesar 500 dolar Amerika per tahun. Sedangkan Jawaharlal Nehru University adalah pengecualian. Universitas ini memungut 750 dolar Amerika per semester. Hanya saja yang perlu kita ketahui adalah bahwa biaya kuliah sebagai mahasiswa asing di India sama dengan atau bahkan lebih murah dari biaya kuliah di tanah air sendiri.

Dukungan pemerintah India terhadap dunia pendidikan yang sangat besar dan ditambah dengan perhatian tenaga pendidik yang sangat tinggi untuk memajukan pendidikan bangsanya, kemudian ditunjang oleh biaya yang sangat terjangkau bagi masyarakat India, akhirnya mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepiawaiannya dalam bidang studi atau keilmuan yang digelutinya.

Sekarang kita telah menyaksikan sampai dimana bobot dan mutu pendidikan siswa-siswi kita di Indonesia. 815.527 siswa dan siswi yang tidak lulus unas bukanlah jumlah yang kecil. Kenyataan ini hendaknya bisa merangsang Departemen Pendidikan Nasional untuk mengelola dan membuat kebijakan-kebijakan yang benar-benar memahami kondisi ril lembaga dan dunia pendidikan kita di lapangan, bukan hanya didasarkan pada laporan-laporan yang tak bertanggung jawab yang disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dalam hal ini kepada Departemen Pendidikan Nasional.

Akhirnya saya mempertanyakan kunjungan-kunjungan studi banding yang digelar oleh Departemen Pendidikan Nasional ke beberapa negara termasuk ke India pada bulan Agustus 2004 lalu. Saya jadi terkenang kembali tentang acara Dialog dan Silaturrahmi antara sejumlah rombongan dari Departemen Pendidikan Nasional RI bersama para pejabat KBRI, mahasiswa-mahasiswi Indonesia dan masyarakat Indonesia di India pada Kamis malam (26/8/2004), dimana dalam kesempatan itu saya juga mengkritik pendidikan Indonesia terutama mengenai sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Fenomena yang terjadi selama ini adalah bila berganti menteri pendidikan, boleh dikata berganti pulalah sistem pendidikan kita. Dari sistem semesteran ke sistem catur wulan dan sebaliknya. Bila sistem berubah maka buku-buku pelajaran juga berubah. Padahal tidak ada perubahan yang signifikan dalam buku pegangan siswa tersebut.

Ibu Mardiah, salah seorang rombongan dari Departemen Pendidikan Nasional RI itu menjelaskan bahwa sebenarnya Departemen Pendidikan Nasional tidak pernah mewajibkan untuk membeli buku pegangan tersebut. Dan perubahan buku itu hanya dibuat oleh para penerbit yang saat ini bagaikan kecambah di musim hujan. Penerbit ini pulalah yang memasarkan langsung buku-buku tersebut ke sekolah, sehingga akhirnya sekolahpun menjadi pasar buku. Bagi saya jawaban Ibu Mardiah ini masih bisa diperdebatkan, tapi secara diplomatis, pembawa acara menunda dulu acara tanya jawab ini yang kemudian dilanjutkan dengan acara makan malam.

Dalam acara tersebut, saya juga mempersoalkan gelar-gelar akademik yang banyak di jual di "pasaran" dan apa saja tindakan dari Departemen Pendidikan Nasional terhadap masalah ini. Saya yang duduk satu meja dengan Bapak Muslikh, S.H, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional, Kepala Bagian Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan mengatakan bahwa saat ini sudah ada UU yang mengatur tentang lembaga yang berhak memberikan gelar akademik tersebut. Bila ada lembaga yang tidak diakui oleh Departemen Pendidikan Nasional yang mengeluarkan gelar akademik, maka penyelenggara pendidikan itu akan dikenai denda kurungan penjara selama 5 tahun atau denda bayaran sebesar 500 juta rupiah. Saya hanya menggaruk-garuk dagu saja mendengar sangsi ini, sebab entah berjalan atau tidaknya UU ini, itu wallahu a'lam. Hanya saja, bila Indonesia ingin meningkatkan mutu pendidikannya, maka bercerminlah dengan India. []

Zamhasari Jamil, Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India.

1 Comments:

Blogger Ghobro said...

ternyata pendidikan di indonesia tidak seperti yang saya bayangkan. Memang sangat mengherankan bagaimana anak muda India berkiprah di bidang teknologi di dunia padahal India dikenal sebagai negeri terbelakang.

10:36 AM  

Post a Comment

<< Home