Wednesday, May 18, 2005

Antara Gelar Akademik Dan Keilmuan

Oleh: Zamhasari Jamil

SEORANG aktor tak hanya dituntut memiliki good image, tampang kren, hidung mancung, alis mata bak semut beriringan dan dagu menjuntai ibarat sarang lebah, akan tetapi lebih dari pada itu seorang aktor juga harus memiliki good human emotion. Sehingga walapun secara fisik aktor tersebut telah memiliki good image , namun disisi lain ia tak memiliki good human emotion, maka harapan untuk menjadi seorang aktor ternama akan menjadi kecil.

Begitu pula dengan seorang yang berprediket sebagai mahasiswa dan mahasiswi. Ia tak hanya dituntut untuk memiliki gelar yang berderet. Namun yang lebih penting ia mampu mempertanggungjawabkan keilmuannya tersebut berdasarkan gelar yang sudah ia peroleh tadi. Banyak diantara kita beranggapan bahwa untuk menulis atau berbicara yang baik adalah dengan banyak menggunakan istilah-istilah populer yang diambil dari bahasa-bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sehingga tak heran, bila semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin sulit kita memahami bahasa yang digunakannya. Karena memang ia menganggap bahwa dengan banyak menggunakan istilah-istilah asing tadi, orang-orang di sekelilingnya menjadi yakin dengan ilmu yang dimilikinya setara dengan gelar yang disandangnya. Ini anggapan yang tidak benar.

Sebaliknya, berbicara atau menulis yang baik adalah mampu menjadikan para pendengar atau pembacanya paham terhadap maksud yang ingin disampaikan, sehingga tujuan dari pembicaraan atau tulisan yang kita paparkan tersebut menjadi tercapai. Sayangnya, penulis melihat banyak diantara kita yang sering salah dalam mengguunakan istilah-istilah asing tadi, sehingga kesalahan tersebut menjadi tanda tanya tentang keilmuan yang dimiliki dengan gelar berderet yang disandangnya. Didalam Microcosmographia Academica, F. M. Cornford menyebutkan bahwa 'Principle of the Dangerous Precedent' itu adalah "Every public action, which is not customary, either is wrong, or, if it is right, is a dangerous precedent. It follows that nothing should ever be done for the first time".

Prof. Rosanna Sornicola ketika menghadiri Konferensi Capri yang bertajuk 'Linguistics for international communication' beberapa pekan lalu menyampaikan bahwa "In a 'global' society international communication is essential and linguistics can play an important role in the study of international communicative processes and the understanding of internationalisation itself". Bill Kirkman, seorang Emeritus Fellow di Wolfson College, Cambridge, UK yang juga ikut mempresentasikan makalahnya pada konferensi tersebut juga mengutip kata-kata Prof. Rosanna Sornicola ini di dalam kolomnya "Cambridge Letter", harian The Hindu berjudul "Communicating internationally".

Melihat femonema yang terjadi di lingkungan mahasiswa dan mahasiswi kita yang belajar di negeri pawang ular ini, penulis jadi bertanya kepada diri sendiri, mengapa nuansa ilmiah yang menjadi ciri khas seorang insan akademik itu kurang terasa di lingkungan kita di sini? Kegundahan ini, rasanya wajar, bila penulis tuangkan dalam tulisan edisi ini, mengingat kita tak akan selamanya berada di negeri ini, dan kelak kita juga akan kembali ke tanah air. Namun, bila kita masih berkutik dengan gaya hidup kita yang terus-menerus begini saja, tanpa ada perubahan menuju ke arah yang lebih maju, maka penulis menjadi pesimis, lulusan India mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari negara lainnya. Tak usah jauh-jauh, dengan lulusan tanah air saja, kita belum tentu ada apa-apanya. Kalau perasaan pesimis penulis ini nantinya menjadi kenyataan, maka lulusan kita hanya menang dalam mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya, namun bila diuji dari segi keilmuan, tak ada isinya. Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Penulis melihat bahwa beberapa tahun belakangan ini, sebagian kecil rekan-rekan kita sudah ada yang mencoba untuk menghiasai media-media tanah air, dan ini tentunya perlu untuk diteruskan dan dibiasakan guna membangun image positif tentang keilmuan seseorang. Dan jangan salah, bahwa kecintaan untuk selalu membagi ilmu dengan orang banyak melalui media ini juga menumbuhkan kepercayaan orang lain terhadap keilmuan lulusan-lulusan dari negeri pawang ular ini tentunya. Walaupun demikian, kita yang belum berbuat apa-apa juga dituntut memiliki kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan keilmuan kita berdasarkan gelar yang telah kita raih.

Kasarnya, jangan sampai orang lain telah membangun image positif tentang lulusan India, namun disisi lain kita meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap keilmuan yang kita miliki. Contoh kecilnya, tatkala kita menggunakan bahasa atau istilah-istilah populer dalam percakapan kita, disana terdapat kesalahan dalam penempatan istilah-istilah tersebut. Sudah bukan waktunya lagi kita mempertahankan sikap malu bertanya, karena sikap malu bertanya hanyalah akan merugikan diri kita sendiri. Atau manakala kita dituntut untuk menjawab suatu persoalan yang berkenaan dengan kajian kita sendiri, namun, jawaban yang kita berikan tak mencapai target dan tujuan yang ditanyakan, maka secara tidak langsung, kita telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap keilmuan kita melalui tangan kita sendiri.

Ditengah-tengah "kesibukan" penulis berchatting-ria dan berfriendster-ria, penulis tetap berusaha meluangkan waktu untuk membaca koran dan majalah dalam dan luar negeri yang tidak bisa diakses edisi cetaknya, juga mengikuti berbagai diskusi di beberapa mailing list. Meski penulis tak ikut memberikan komentar, tapi paling tidak, disana kita masih bisa melihat dan membaca hasil-hasil diskusi peserta mailing list tersebut. Tak jarang diskusi-diskusi di mailing list-mailing list tersebut berbentuk diskusi lintas agama, budaya, latar pendidikan, status sosial dan asal daerah. Bila dalam diskusi tersebut kita juga mampu memberikan sumbangan pemikiran, maka secara tidak langsung kita telah mengasah dan mempertajam keilmuan kita sendiri. Bila kita mampu menyikapi perbedaan pendapat yang ada di mailing list tersebut, yang tidak lain hanyalah sebatas diskusi maya, kelak pada diskusi-diskusi nyata, kita sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat itu. Bukan malah membuat jantung kita berdetak kencang bila pendapat kita berseberangan dengan pendapat orang lain.

Disamping itu, pemandangan lain yang diperlihatkan oleh rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi kita adalah menyibukkan diri dengan mengupas dan meneliti serta mengkaji media-media luar negeri edisi cetak secara berkelanjutan. Suatu cara untuk menambah wawasan secara otodidak yang perlu juga untuk diiru dan diikuti. Banyak hal positif yang akan diperoleh dari kegiatan semacam ini. Diantaranya, menambah pengetahuan kita mengenai isu-isu terbaru yang terjadi di belahan dunia ini, dan juga secara bersamaan akan menambah perbendaharaan kata kita, dalam hal ini perbendaharaan kata Inggris. Karena itu, sungguh sangat disayangkan bila kita yang setiap harinya disuguhi koran-koran yang berbahasa Inggris, namun tak pernah disentuh dan dibaca. Sehingga koran beralih fungsi sebagai alas tidur dan alas meja.

Dalam mengejar ketertinggalan, bagi penulis sendiri tak ada kata terlambat. Idealnya, bila kita memang merasa ketinggalan, maka kita harus memunculkan rasa tuntutan dari dalam diri kita sendiri untuk mengejar ketertinggalan kita itu. Sebab, berubah atau tidaknya diri kita ini tergantung kepada diri kita sendiri juga. Orang lain hanya bisa mengarahkan, namun pribadi kita sendirilah yang sangat menentukan. Penulis juga sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa tak ada gunanya kita mempertahankan keegoan kita, bila itu akan merugikan kita sendiri. Tak ada salahnya kita bertanya kepada mereka yang dari segi usia jauh lebih muda dari kita. Imam Syafi'i pernah mengatakan bahwa "Orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu adalah seorang besar, walaupun dari segi usia ia masih muda belia, sedangkan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan itu adalah kecil walaupun dari segi usia ia sudah tua".

Penulis mengajak para pembaca yang budiman, mari kita saling mengisi kekurangan diantara kita, guna memantapkan keilmuan yang kita miliki supaya seimbang dengan gelar akademik yang sudah kita raih. Dan catatan ini juga penulis persembahkan kepada para pembaca sebagai bentuk "Ta'awanu 'alal birri" atau bekerjasama dalam kebaikan sekaligus "Tawashou bil haqqi" atau saling mengingatkan dalam kebenaran. Semoga Allah SWT mendengarkan niat tulus penulis yang hina ini dan kepadaNya jualah diri yang tak berdaya ini penulis persembahkan. Amien ya Robbal 'alamien. ***

Zamhasari Jamil, a Riau's student who was awarded a B.A. degree in Islamic Studies from Jamia Millia Islamia, New Delhi, India in the year 2004.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home