Saturday, April 02, 2005

Risalah Wisata: Berhaji Membuktikan KeagunganNya [5]

Oleh: Zamhasari Jamil

BEGITU tiba di Mina, kamipun segera mendirikan sholat Maghrib dan Isya jama’ taqdim. Namun karena aku masih merasa belum puas bila tidak berdiam diri di Mudzalifah, maka pada pukul 20.15, aku dan rekanku Wahyu Ismail kembali lagi ke Mudzalifah dan bermalam disana hingga pukul 00.03. Kala itu sudah terlihat antrian jamaah haji dari berbagai negara yang sangat panjang memenuhi semua jalan-jalan di Mudzalifah yang akan masuk menuju Mina. Antrian itupun mengingatkan aku tentang antrian manusia pada saat dihisab di hari akhir zaman nanti.

Sebelum waktu sholat Subuh tiba pada tanggal 10 Dzulhijjah itu, akupun melempar jumroh Aqabah. Satu hal yang sangat-sangat sulit untuk dimaknai tentang ritual melempar jumroh ini. Yang jelas ritual ini memiliki sejarah yang sangat jelas dan panjang. Yaitu, bagaimana usaha Sayyidatuna Hajar, seorang isteri tercinta Nabiullah Ibrahim Khalilullah dan ibunda tercinta Nabiullah Isma’il ‘Alaihi as-Salam tatkala melempar iblis yang berupaya mengahalanginya dalam menjalankan syari’at Allah SWT. Pada tanggal 10 Dzulhijjah 1425 itu, suasana di Mina sangat-sangat mengharukan. Jutaan umat Islam berkumpul di tempat yang sama, dan akan melemparkan tujuh butir batu pada satu tujuan yang sama, yaitu jumroh ‘Aqobah.

Tanggal 11 Dzulhijjah 1425, semua ritual haji masih berjalan dengan lancar. Dinginnya malam dan panasnya siang tidaklah membuat jamaah haji dari manapun lentur dalam menghadapi suasana tersebut. Mina yang penuh dengan jutaan jamaah haji tersebut adalah pemandangan yang selama ini belum pernah ku saksikan.

Kemudian pada tanggal 12 Dzulhijjah 1425 itu, barulah terjadi puncak keramaian. Suatu peristiwa bersejarah berupa hujan lebat dan tiupan angin yang begitu kencang akan senantiasa menjadi catatan penting dalam diary dan ingatan siapa saja yang melaksanakan ibadah haji pada tahun 1425 H bertepatan dengan awal tahun 2005 Masehi tersebut.

Hari itu, sesaat setelah masuk waktu sholat Dzuhur, tiba-tiba suasana di atas Mina mendung. Anginpun berhembus dengan kencangnya. Gunung-gunung yang menjulang tinggi mengeliligi Mina tampak diselimuti oleh awan-awan tebal yang kian menghitam. Kertas-kertas plastik pun naik beterbangan. Aku hanya bisa menyaksikan kekuasaan Allah SWT yang akan menurunkan hujan di hari itu. Tak ada seorangpun dan satu alat canggihpun yang mampu menolak kekuasaan Allah SWT. Semuanya berproses dengan sangat cepat. Gerimispun turun, tiupan angin juga bertambah kencang dengan hebatnya. Masing-masing jamaah haji tampak berlari kesana-kemari mencari perlindungan. Ditengah-tengah kebingungan itu, sesekali gemuruh dan kilat turut menghiasi suasana tersebut. Wilayah Mina terutama di sekitar tempat pelemparan jumroh yang sangat begitu luas penuh disesaki oleh jamaah dalam waktu sesaat saja sepi dari jamaah. Boleh dikata semua jamaah yang berada di sisi kanan dan kiri jembatan pelemparan jumroh pada akhirnya menyatu berteduh di bawah jembatan pelemparan jumroh tersebut. Di sini Allah SWT kembali memperlihatkan kekuasaanNya, bahwa Mina juga tak ubahnya rahim seorang ibu, Mina mampu menampung berapun besarnya kuantitas jamaah haji yang masuk ke dalam wilayah Mina itu.

Hujan deras itu turun dengan hebatnya kira-kira pada pukul 16.15 was dan baru mulai reda pada pukul 17.05 was. Perubahan di Mina terjadi begitu cepatnya. Suasana yang pada awalnya begitu mencemaskan karena sesak oleh jutaan manusia tiba-tiba berubah menjadi lengang dari manusia. Aku sebut mencemaskan karena pada hari itu setiap jamaah saling berusaha untuk bisa melempar jamarat dan kemudian segera keluar meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam. Hal tersebut mereka lakukan karena sebagian besar jamaah haji tersebut ingin mengambil nafar awal. Sebab bila jamaah tersebut masih berada di Mina sampai matahari terbenam, itu artinya mereka harus mengambil nafar tsani, dimana mereka harus melempar jamarat lagi pada hari berikutnya.

Disini aku yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT Maha tahu tentang hamba-hambaNya. Angin, gemuruh, kilat dan hujan yang Dia turunkan adalah merupakan rahmatNya jua. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila saat itu Allah SWT tak mendatangkan rahmatNya dengan segera. Aku benar-benar menyaksikan dengan mataku sendiri bahwa betapun besarnya jumlah kekuatan manusia untuk mengatur jamaah haji sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk menertibkan jamaah yang jumlahnya jutaan tersebut. Sekitar pukul 16.45 was, pos penjagaan ku tinggalkan. Semula aku berikrar untuk tetap bertahan di tengah hujan yang deras dan angin yang bertiup hebat itu. Namun setelah aku memikirkan kesehatanku, akhirnya aku memilih untuk kembali ke posko jamarat. Air mengalir dengan derasnya mencari kawasan yang lebih rendah. Rupanya posko jamaratpun sudah habis berantakan. Semua koper dan tas-tas rekan-rekanku sudah habis basah lebih dulu sebelum sempat diselamatkan. [bersambung …]

Zamhasari Jamil, alumnus Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home