Saturday, April 02, 2005

Risalah Wisata: Berhaji Membuktikan KeagunganNya [4]

Oleh: Zamhasari Jamil

PADA hari Selasa, 8 Dzulhijjah 1425 bertepatan dengan 25 Januari 2005, semua Petugas Haji Indonesia Daker Madinah al-Munawwarah yang ditugaskan untuk wilayah Mina meninggalkan wisma Aziziyah langsung menuju padang Arafah tepat pada pukul 16.00 was. Dengan menggunakan pakaian ihram, akupun berangkat bersama rekan-rekan sesama petugas lainnya menuju padang Arafah. Hatiku menangis, bagaimana tidak, sunnahnya sebagaimana yang aku ketahui bahwa pada tanggal 8 Dzulhijjah itu aku harus menuju Mina dan bermalam di sana hingga tiba waktu sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijjah. Namun, mengingat bahwa saat itu aku adalah salah satu dari 3.000an Petugas Haji Indonesia, maka aku harus meninggalkan perkara sunnah yang satu ini.

Setibanya di padang Arafah, kami pun langsung melaksanakan sholat Maghrib jama’ taqdim qashar dengan Isya di mesjid Misi Haji Indonesia, Arafah. Seusai sholat, aku langsung masuk ke kemah dan istirahat malam. Suasana dingin yang menusuk tulang ketika aku bermalam di padang Arafah ini kembali mengingatkan aku bagaimana situasi dan kondisi pada saat Rasulullah dan sahabat ketika berhaji pada masa itu. Hembusan angin Arafah sangat ku yakini akan membawa rahmat bagi siapa saja yang berwukuf benar-benar mengaharap ridho Allah SWT semata. Di padang Arafah ini aku melihat jutaan kemah yang memutih diisi oleh tamu-tamu Allah yang berhajat melakukan ibadah haji. Jutaan umat Islam berkumpul di padang Arafah pada hari yang sama dan dalam waktu yang sama pula. Tak ada yang dicari dan yang diharapkan lagi selain hanya memenuhi panggilah Allah SWT semata.

Padang Arafah yang laksana rahim seorang ibu dapat menampung berapapun besarnya jumlah umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Gunung-gunung yang mengelilingi seluruh padang Arafah tersebut juga mengingatkan aku suasana perjumpaan Nabiullah Adam ‘Alaihi as-Salam dengan Sayyidatuna Hawa. Tentunya mereka juga melintasi gunung-gunung yang menjulang tinggi tersebut. Maha suci Allah, perasaan cinta rupanya mampu menghancurkan semua sekat-sekat dalam menuju cinta itu sendiri. Batu-batu yang begitu kekarnya dan kemudian menjelma menjadi gunung tersebut duduk bersimpuh sambil bertasbih, bertahmid dan bertahlil kepada Tuhannya. Ya Allah, tak akan ada hentinya aku menulis nikmatmu, aku tetap merindui untuk dapat bersua dengan padang ArafahMu di masa-masa mendatang lagi.

Pada pagi tanggal 9 Dzulhijjah 1425 tersebut, aku juga menemui jamaah haji Indonesia asal Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Suasana yang penuh dengan nuansa kekeluargaan muncul di sana. Mereka juga menyediakan makanan ringan untukku, namun aku menolaknya. Mereka tetap memaksaku untuk mengambil makanan itu karena rupanya makanan itu adalah makanan khas Melayu yang tak ada di tempat lain. Salah seorang diantara mereka berujar, “Iko udah sampailah kito di padang Arafah ko”. Takjub dan terharu terpancar menghiasi wajah-wajah jamaah ini dalam menyaksikan padang Arafah yang begitu luasnya. Sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa kehadiran mereka di padang Arafah ini bak mimpi yang menjadi kenyataan. Selepas bertemu dengan jamaah ini, aku pun kembali ke posko. Kemudian pada pukul 11.30 was khutbah Arafah pun disampaikan oleh KH. Mohd. Tholhah Hasan. Seusai khutbah ini, sholat Dzhuhurpun didirikan. Gema takbirpun menghiasi semua perkemahan jamaah haji di padang Arafah ini.

Di padang Arafah ini pula, aku bertemu dengan teman lamaku, Rasyadi al-Makky, ia adalah temanku semasa menjadi santri di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Bogor, dan saat ini ia sedang belajar di International Africa Islamic University, Sudan. Tak banyak do’a yang bisa ku minta kepada Allah SWT tatkala berwukuf di padang Arafah ini, padahal aku yakin seyakin-yakinnya bahwa segala do’a yang dipanjatkan kepada Allah SWT ketika berwukuf tersebut akan dikabulkan oleh Allah SWT. Setelah duduk sesaat di dalam mesjid Misi Haji Indonesia, Arafah, aku pun langsung masuk kembali ke kemah. Baru beberapa menit di dalam kemah, mengudaralah imbauan kepada seluruh Petugas Haji Indonesia yang ditugaskan untuk wilayah Mina agar segera menuju bus karena pada saat itu juga harus berangkat ke Mina.

Dengan segala kerelaan, padang Arafah pun ku tinggalkan. Sedih dan menyesal melimuti perasaanku kala itu. Bagaimana tidak, pertama, sepengetahuanku seorang yang sedang berhaji seharusnya berwukuf di padang Arafah itu hingga terbenam matahari. Tapi saat itu baru sekitar pukul 16.00, aku sudah keluar meninggakan padang Arafah. Kedua, belum sempat aku berbuat apa-apa dalam menggapai RidhoNya di saat-saat yang mulia tersebut, akupun dituntut untuk segera berpisah dengan Arafah. Ketiga, kerinduanku untuk bersama-sama dengan Arafah belum terobati hanya dengan berada di Arafah sehari semalam saja.

Satu hal penting yang tak mungkin untuk ku lupakan adalah bahwa semua jamaah haji dengan pakaian ihramnya dan kemudian berada di padang Arafah menerawangkan hayalanku tentang mayit-mayit kita pada akhir zaman kelak. Semuanya mengenakan kain putih bak kain kafan. Tak ada lagi perhiasan dunia yang ditampilkan. Di sini pulalah semua prediket dan status sosial ditinggalkan. Ya Allah, kini aku telah menyaksikan bahwa segala bentuk pujian, kenikmatan dan kekuasaan itu hanyalah untuk Engkau semata. Innal hamda wanni’mata, laka wal mulku, la syarika laka. Ya Allah, tiada sesuatupun yang pantas untuk disekutukan denganMu. Subhanallah. Sungguh besar nian keagunganMu.

Dari Arafah kamipun langsung menuju Mudzalifah. Di Mudzalifah ini, kami hanya singgah sebentar untuk mengambil batu. Kemudian dari Mudzalifah ini, bus yang kami tumpangipun melaju menuju Mina. Lagi-lagi aku harus bersedih, sepengetahuanku seorang yang sedang berhaji seharusnya berada di Mudzalifah ini agar segera mendirikan sholat Maghrib dan bermalam di sana hingga tiba waktu sholat Subuh. Nah, sedangkan aku hanya singgah sesaat saja. Jangankan mau melaksanakan sholat Maghrib, waktu untuk sholat Maghribpun belum tiba. La haula wala quwwata illah billah. Hanya kepada Allahlah ku serahkan semua peribatan hajiku. [bersambung …]

Zamhasari Jamil, alumnus Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home