Saturday, April 02, 2005

Risalah Wisata: Berhaji Membuktikan KeagunganNya [3]

Oleh: Zamhasari Jamil

SUATU kali ada jamaah yang ketahuan oleh pihak kepolisian bandara membawa azimat, dan ketika ditanya oleh pihak kepolisian bandara, jamaah yang bersangkutan langsung gagap untuk memberikan keterangan, apalagi jamaah tersebut juga tidak mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab. Sedangkan isterinya menangis tersedu-sedu menyesali kejadian yang menimpa suaminya tersebut. Setelah kita tanyakan kepada jamaah yang bersangkutan mengenai alasannya membawa azimat, jamaah tersebut menjawab bahwa azimat yang berupa kepala keris, batu-batuan dan rajah yang sudah dibungkus rapi itu ia bawa karena mengikuti perintah almarhum ayahnya agar kepala keris tersebut dimandikan dengan air zam-zam. Sayangnya, setelah kita memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, jamaah tersebut tetap saja dikenai hukuman ditahan selama sehari semalam di bandara. Sungguh suatu peristiwa yang patut disesalkan, dimana seharusnya waktu sehari semalam itu bisa digunakan oleh pembawa azimat itu untuk melaksanakan sholat lima waktu di Mesjid Nabawi, akan tetapi karena ulahnya sendiri jualah yang menyebabkan ia harus ditahan di bandara Madinah al-Munawwarah.

Pada kelompok terbang (kloter) lainnya juga ditemukan seorang jamaah yang membawa azimat. Ayahnya yang juga turut berhaji dan aku yakin bahwa ia merupakan seorang kiyai besar itu berusaha untuk memberikan pengertian kepada pihak kepolisian bandara. Sang ayah berkata, “Hadza waladi (Ini anakku)”. Dalam hatiku hanya bergumam, “Mau ‘waladi’ atau bukan ‘waladi’ tetap saja azimat yang dipakai oleh anaknya yang berambut gondrong itu tidak boleh digunakan oleh seorang Muslim. Azimat yang dibawa ternyata telah menyulitkan si pembawanya saja. Padahal sebelum mereka memasuki proses keimigrasian, aku dan rekan-rekan petugas haji lainnya sudah menyampaikan agar mereka yang membawa azimat supaya melepaskan azimatnya dan menitipkannya kepada petugas haji Indonesia yang ditugaskan di bandara tersebut.

Ada juga jamaah yang bersedia untuk menitipkan azimatnya kepada petugas, diantaranya jamaah embarkasi Batam. Jamaah asal Riaukah mereka? Kepada mereka, aku sampaikan bahwa nanti ketika mereka hendak pulang ke tanah air, kiranya mereka menghubungiku kembali untuk mengambil azimatnya tersebut. Namun, hingga berakhirnya kepulangan jamaah haji Indonesia, jamaah yang azimatnya aku simpan itu, tak pernah menghubungiku. Lagi pula, mereka tersebut juga pulang melalui bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Dengan demikian, aku mohon maaf beribu-ribu maaf karena azimat tersebut telah aku tinggalkan di wisma haji Indonesia, Jeddah. Sekali lagi, aku mohon untuk dimaafkan.

Disini terlihat dengan jelas bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang. Dan tak dapat dipungkiri bahwa “akal sehat” jamaah yang dibawa dari Indonesia menjadi “sedikit berkurang” begitu mereka tiba di bandara Malik Abdul Aziz Madinah al-Munawwarah. Sehingga tak heran bila banyak jamaah yang bertanya tanpa memperdulikan siapa lawannya berbicara dengan menggunakan bahasa daerahnya. Ada yang bertanya dengan menggunakan bahasa Indonesia kepada petugas orang Arab. Wajar bila petugas bandara orang Arab tersebut tersenyum saja. Dalam hatiku kembali berguman, “Siapapun namanya dan darimanapun daerah asalnya, mereka ini tetaplah orang yang sebangsa denganku”. Dan aku juga tak bisa menerima laqab “Siti Rahmah” bagi jamaah haji Indonesia. Bagiku laqab tersebut merupakan laqab murahan.

Tanggal (maaf, aku lupa) adalah hari terakhir kami menerima jamaah di bandara Malik Abdul Aziz, Madinah al-Munawwarah. Selanjutnya aku dan rekan-rekan sesama petugas bandara Madinah al-Munawwarah istirahat total sambil menunggu keberangkatan ke Mekkah al-Mukarromah pada hari Rabu, 12 Januari 2005. Dalam masa penantian keberangkatan ke Mekkah al-Mukarromah tersebut, kami juga ditugasi sebagai sektor keliling yang penugasan itu terkesan dibuat-buat oleh pihak Daker. Akhirnya sektor keliling itu juga tidak berfungsi dengan baik karena pada kenyataannya hanya membuang-buang waktu saja.

Hari Ahad, 2 Januari 2005, kami petugas haji Indonesia di bandara Malik Abdul Aziz Madinah al-Munawwarah mengadakan acara ziarah. Ziarah yang pertama adalah ke makam syuhada Uhud dan jabal Uhud serta bukit Rumat. Kemudian acara ziarah dilanjutkan ke komplek Percetakan Alquran al-Karim. Kemudian, lawatan tersebut diteruskan ke Mesjid Qiblatain. Dari Mesjid Qiblatain, kami meneruskan acara ziarah ke Mesjid Tujuh. Di sini kami hanya singgah sebentar saja dan tidak masuk kedalam mesjid tersebut. Selanjutnya kami meneruskan perjalanan menuju Mesjid Quba dan sholat zhuhur secara berjamaah di Mesjid Quba ini. Karena kelamaan berdiam diri di dalam Mesjid Quba, akhirnya aku dan rekan-rekan petugas lainnya harus berpisah. Atau dengan kata lain, aku ketinggalan di mesjid ini. Akhirnya aku pulang sendirian ke wisma haji Indonesia, Ijabah dengan menumpang taksi dan turun di Mesjid Nabawi. Ongkos taksi tersebut cukup ‘asyaroh (sepuluh) riyal saja.

Kemudian pada tanggal 12 Januari 2005, semua petugas haji Indonesia Daker Madinah al-Munawwarah berangkat menuju Mekkah al-Mukarromah. Singgah sebentar di Bir Ali dan melaksanakan sholat sunnah dua raka’at. Sebagian rekan-rekan yang belum melaksanakan umroh langsung berniat umroh dengan memulai miqat dari Bir Ali ini. Pengecekan dan pembagian buah kurma selama di perjalanan dari Madinah al-Munawwarah menuju Mekkah al-Mukarromah ini merupakan romantika perjalanan yang paling mengasyikkan. Pemandangan di sepanjang jalan hanya dikelilingi oleh gunung-gunung berjejer yang sangat indah dan rapi sekali. Rerumputan pun saling berlomba untuk tumbuh di atas hamparan tanah gersang dan bercampur bebatuan itu walau hanya mengandung kelembaban yang sangat minim sekali. Tanah yang lembab itupun menurutku hanya merupakan berkah embun malam di padang sahara itu.

Gunung-gunung yang kekar dan menjulang tinggi itu langsung mengingatkan aku bagaimana berat dan pedihnya perjuangan Rasulullullah semasa dulu ketika melintasi wilayah ini. Dalam perjalanan ini pula, dari balik kaca jendela bus yang aku tumpangi, nun jauh di tengah-tengah padang sahara juga terlihat pengembala dengan kambing atau dombanya. Sesekali juga terlihat onta-onta yang berjalan dengan santainya sembari mencari makanan di padang luas yang panas dan berangin. Angin berhembus dengan kencangnya. Bayangan dan hayalanku kembali menerawang ke masa Rasulullah dahulu kala. [bersambung …]

Zamhasari Jamil, alumnus Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home