Thursday, April 07, 2005

Mencari Kebahagiaan Yang Hakiki

Oleh: Zamhasari Jamil

BANYAK orang yang sering salah dalam memaknai arti kebahagiaan. Mereka mengartikan kebahagian sebagai sesuatu yang diinginkan dan kemudian keinginannya tersebut terpenuhi. Bila keinginannya tersebut sudah terpenuhi, maka ia akan menemukan kebahagiaan itu tadi. Namun sebaliknya, bila sesuatu yang diinginkannya tersebut tak terpenuhi, maka ia akan kecewa dan putus asa. Mereka tak menyadari dan tak mau pula memahami sesuatu yang paling sederhana bahwa untuk mencapai kebahagiaan tersebut, hendaklah ia menjadi dirinya sendiri.

Meraih kebahagiaan ini sepenuhnya menjadi urusan masing-masing, urusan personal. Sekarang ini, banyak diantara masyarakat kita yang beranggapan bahwa seseorang yang mampu mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya berarti hanya dialah yang mampu merasakan kebahagiaan itu. Bagi seorang anak yang selalu dimanja, atau seorang yang kaya, sesuatu yang berbentuk materi itu memang dapat dicapai secara mudah. Begitu pula dengan seorang pemenang berbagai penghargaan, seorang jenius, intelektual bahkan seorang pekerja keras pun kebahagian itu tetap bisa ia raih dan ia rasakan.

Seorang anak yang berpakaian compang-camping, seorang anak yatim-piatu, seorang yang memiliki gangguan kejiwaan, mereka semua bisa merasakan kebahagiaan ini. Mereka akan lebih bahagia lagi manakala kita bisa membagi kebahagiaan kita kepada mereka. Hanya saja, yang perlu dipertanyakan adalah apakah kita mau membagi kebahagiaan kita kepada mereka? Khusus kepada mereka ini, saya mengajak kita semua untuk bisa membagi kebahagiaan kita kepada mereka. Tanamkan dalam diri anda bahwa kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan anda juga. Dulu, ketika saya masih di Pondok Pesantren (Ponpes) Dar El-Hikmah, Pekanbaru, seorang guru yang telah mengakhiri masa pengabdiannya di Ponpes tersebut menulis sepucuk surat untuk saya dimana salah satu pesannya berbunyi begini, "Anakku Izam, kesuksesanmu adalah kebahagian saya juga".

Sejenak mengenang masa-masa silam saya ketika masih belajar di Ponpes Dar El Hikmah, Pekanbaru, dimana guru saya Ust. Rahmat Wahyudin pernah mengajarkan sebuah untaian syair Arab yang berbunyi, "Laitsal fataa man yaquulu hadza abii, walaakinnal fata man yaquulu haa ana dza". Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya begini, "Bukanlah seorang pemuda atau pemudi, yang selalu mengatakan inilah bapakku, tapi seorang pemuda atau pemudi adalah yang selalu mengatakan bahwa inilah Aku".

Apa kaitan antara syair Arab ini dengan kebahagian ini? Saya menginterpretasikan ungkapan yang tertuang dalam syair Arab tersebut bahwa untuk mencapai yang namanya kebahagian itu, seseorang tersebut tak mesti menyandarkan dirinya kepada orang lain. Ia bisa mendapatkan kebahagian itu dengan menjadi dirinya sendiri. Apakah ia seorang yang katakanlah -financially- merasa sebagai seorang yang kaya atau miskin.

Kebahagian tak mesti harus selalu berada di hotel berbintang, tidur di kasur empuk berbantalkan kapas halus berbalut sutra. Akan tetapi kebahagian dapat dirasakan di sebuah gubuk tua, tidur di atas lantai tanpa alas dan berbantalkan lengan saja. Kebahagian ada dimana saja dan kapan saja, yang penting seseorang itu merasa puas dengan apa yang dirasakannya saat itu. Itulah arti dari sebuah kebahagian.

Dalam sebuah acara santai bersama rekan-rekan di sebuah kafe, malam itu, saya ditanya oleh seorang rekan begini, “Kak, orang tua kakak kerjanya apaan?” Saya tak menjawab pertanyaan ini. Saya langsung mengambil koran yang ada di depan saya dan kemudian kopi hangat yang memang sudah tersedia itu saya minum walau rasanya telah berubah tak seperti rasa aslinya. Saya sedih bukan karena saya ditanya, tapi saya sedih karena saya beranggapan bahwa rekan ini -- jangan-jangan -- untuk berteman dengan seseorang itu harus melihat dulu siapa orang tuanya.

Barangkali karena rekan ini merasa bahwa saya tidak senang untuk ditanyai semacam itu, maka iapun berujar, "Kak, I am sorry for asking your private matter. Siapapun kakak, kakak tetap teman kami". Mendengar ucapannya ini, saya sempat menitikkan air mata, hanya saja ketiga orang rekan yang hadir di kafe malam itu tak mengetahuinya. Bagi saya pribadi, inilah dia orang yang mandiri, percaya dengan dirinya sendiri, berteman dengan siapapun bukan karena melihat siapa orang tuanya, tapi ia berteman dengan siapapun murni karena niat tulusnya untuk berteman. Ia berteman bukan karena seseorang itu anak seorang konglomengrat, bukan pula karena ia seorang anak yang melarat. Sangkaan awal saya yang menganggapnya tidak mandiri dan tidak percaya menjadi dirinya sendiri ternyata salah, karena itu kakak mohon maaf. Sekali lagi, kakak mohon maaf.

Namun oleh seorang rekan lain, ia menerangkan apa pekerjaan orang tua saya. Terlepas dari segala kekuranganya, saya merasa bersyukur karena untuk pertanyaan yang tak saya jawab tadi, saya tak harus mengeluarkan energi untuk menjawabnya. Rekan yang satu ini dalam padangan saya, memang belum bisa untuk menjadi dirinya sendiri. Karena memang dalam setiap kesempatan ia lebih banyak "berfatwa" tentang orang lain, yaitu ayah, ibu, pakcik atau makciknya. Dan ia sepertinya merasa bahagia untuk menceritakan semua itu kepada orang lain. Tak jarang dalam kesempatan-kesempatan tertentu, sikap "elit"nya muncul ke permukaan yang menyebabkan orang lain yang melihatnya menjadi bertanya, "Hemmm...., beginilah anak A dan anak B itu".

Melihat pemandangan yang demikian itu, biasanya ungkapan syair Arab diatas tadi sering melintas dalam pikiran saya. Ia merasa lebih bahagia menjadi anak A atau keponakan B. Rupanya ia belum bisa merasa bahagia untuk menjadi dirinya sendiri. Adalah wajar saja baginya untuk meraih kebahagian ini, ia harus bersandar dulu kepada orang lain. Entah itu kepada ayah, ibu, pakcik atau makciknya.

Melalui tulisan ini juga saya ingin mengetengahkan sebuah kisah yang berkaitan dengan kebahagiaan ini. Suatu hari, seorang bisnismen menghabiskan akhir pekannya di tepi pantai. Di tepi pantai tersebut ia menemukan seorang pencari ikan atau seorang nelayan yang sedang duduk-duduk santai di dalam sebuah perahu kecilnya sambil menghisap sebatang rokok daun dan secangkir teh panas. Matanya jauh menerawang seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu. Karena penasaran, maka bisnismen ini datang menghampirinya dan berkata, "Wahai jiwa yang tenang, mengapa anda tak menangkap ikan?". Nelayan itu menjawab spontan, "Saya sudah menangkapnya". Lantas bisnismen itu meneruskan pertanyaannya, "Terus, mengapa anda tidak menangkapnya lagi?" Nelayan itu pun menjawab, "Buat apa saya harus menangkapnya lagi, saya sudah merasa cukup dengan beberapa ekor yang saya dapatkan hari ini".

Merasa aneh, maka bisnismen itu kembali meneruskan kata-katanya, "Betul, tapi bukankah bila anda bisa memperoleh ikan yang lebih banyak lagi, nantinya ikan tersebut bisa anda jual". Dengan yakin nelayan itu juga memberikan alasannya, "Anda benar, tapi nanti duit hasil ikan yang saya jual itu harus saya apakan?" Bisnismen inipun merasa inilah kesempatannya untuk mematahkan argumen nelayan ini, ia pun berkata, "Nah itu dia, nanti duitnya bisa anda gunakan untuk membeli ini dan membeli itu, anda juga bisa bersantai ria. Yakinlah, dengan demikian anda pasti akan merasa bahagia seperti saya ini". Dengan tersenyum manis, nelayan ini berkata, "Apakan anda mengira saya yang seperti ini tidak merasa bahagia?" Mendengar jawaban dari nelayan ini, maka bisnismen itu diam dan tak terdengar lagi sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.

Itulah kebahagiaan. Siapapun bisa mendapatkannya. Kebahagian tak pernah pilih kasih untuk menemui siapa saja. kebahagian ada dihati seorang kaya, dan kebahagian itu juga ada dihati seorang miskin. Hanya saja yang perlu kita tanyakan pada diri kita sendiri adalah sudah sejauh mana kita memahami arti kebahagian ini. Lihatlah kisah diatas tadi, apakah nelayan tersebut merasa tidak bahagia? Dia merasakan tidak ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu akan muncul tatkala kita menyenangi sesuatu yang sedang kita kerjakan dan kita juga mengerjakan sesuatu itu karena kita merasa senang. ***

Zamhasari Jamil, Mahasiswa pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India; Alumni Ponpes Dar El-Hikmah, Pekanbaru, Riau.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home