Monday, November 08, 2004

Mereformasi Semangat Pemimpin Bangsa

Oleh: Zamhasari Jamil

BAIK disadari ataupun tidak, yang jelas pada saat perang merebut kemerdekaan republik Indonesia tahun 1945 juga tidak telepas dari perjuangan para ulama atau kyai dan santri. Hal ini dapat kita lihat dari balik sejarah ketika Jepang yang mewajibkan semua pemuda untuk ikut perang melalui propaganda perang suci "Perang Asia Timur Raya" yang dimulai dari tahun 1943 sampai tercapainya kemerdekaann bumi pertiwi ini. Karena pada saat itu sekolah harus dinonaktifkan, maka proses belajar-mengajar dilaksanakan di rumah-rumah para kyai secara sembunyi-sembunyi. Dan pada malam harinya barulah para kyai dan santri turun bergerilya masuk dalam rombongan Hizbullah atau Sabilillah. Proses pembelajaran yang dilaksanakan antara kyai dan santri tersebut, kini telah membuahkan hasil yang juga tidak kalah pentingnya dalam mengisi kemerdekaan republik ini. Sehingga keberadaan ulama ataupun kyai yang kita kenal sekarang ini adalah merupakan hasil dari produk pembelajaran antara kyai dan murid yang masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dahulu itu.

Tepat pada hari Kamis lalu, 28 Oktober 2004 kita kembali diingatkan pada suatu peristiwa besar dalam perjalanan sejarah negeri ini, dimana 76 tahun yang silam tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Bung Karno dan beberapa pemuda Indonesia lainnya telah membulatkan satu tekad demi terwujud Indonesia ini sebagimana yang tercantum di dalam "Sumpah Pemuda". Sejak itu pemuda Indonesia telah mengikraran diri dalam Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu hanya Indonesia.

DALAM sejarah perjalanan Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini, kita harus mengakui bahwa Indonesia jika dilihat dengan menggunakan pandangan mata luar, telah banyak menunjukkan berbagai macam bentuk keberhasilan. Ini tentunya tidak terlepas dari peran pemerintahan yang berkuasa dalam setiap periode itu. Kita bangga memiliki "orang besar" sekaliber Bung Karno. Kita juga harus bangga memiliki "orang kuat" segagah Soeharto. Kita juga cukup bangga manakala Soeharto menjadi figur yang paling dihomati di Asia. Tapi sayang, sudah banyak pemimpin-pemimpin negeri ini yang mencekamkan kakinya ke dalam istana negara, akan tetapi semua amanat yang diembankan tersebut hanyalah digunakan untuk mengelabui masyarakat Indonesia, bukan untuk memajukan Indonesia seutuhnya.

Belum ada pemimpin-pemimpin negeri ini yang mengakhiri jabatannya secara terhormat. Mereka semua telah menggoreskan catatan hitam dalam sejarah kepemimpinan di Indonesia. Kita tahu bahwa praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau yang lebih masyhur dikenal dengan KKN, merupakan penyakit Indonesia pada masa kekuasaan orde baru. Sehingga kita berharap agar pemimpin-pemimpin Indonesia berikutnya adalah pemimpin-pemimpin yang seyogyanya sudah harus alergi dengan penyakit tersebut. Kita bangsa Indonesia telah terpedaya dengan kata-kata yang selalu meneriakkan anti KKN dan lain sebagainya. Kita terperosok kedalam jurang kehancuran. Kondisi ekonomi Indonesia menjadi hancur lebur, praktek perpolitikan Indonesia menjadi berantakan, suasana keberagamaan menjadi rancu, reformasi yang telah dihembus-hembuskan menjadi abu dan debu. Kita bangsa Indonesia telah mengkhianati para pejuang revolusi dan pejuang reformasi.

Kita telah menaruh banyak harapan besar kepada semua pemimpin Indonesia pasca reformasi agar bangsa kita yang bernama Indonesia bisa keluar dari kemelut yang tak berkesudahan ini, namun tampaknya mereka yang telah diberikan amanah untuk memegang jabatan sebagai kepala negara itu belum ada yang menunjukkan kearah perbaikan. Sehingga panyakit KKN yang semestinya ia harus alergi, malah sebaliknya KKN pula yang direformasi. Maka jadilah KKN yang dulunya dilakukan secara diam-diam, kini KKN telah dilakukan ditempat terbuka dan terang-terangan.

KEBOBROKAN Indonesia telah kita rasakan dari segala arah, masing-masing diri memproklamirkan diri sebagai pahlawan. Tapi dari kepemimpinan Habibie, Abdurrahman Wahid hingga Megawati, belum ada yang memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengangkat kesejahteraan yang hakiki bagi seluruh masyarakat Indonesia, apalagi untuk mengangkat martabat Indonesia di dunia internasional. Lantas, kepada siapa lagi kita harus menyerahkan tampuk kepemimpinan Indonesia ini? Pemuda. Dan wajah Indonesia itu ada di tangan pemuda. Itulah jawabannya.

PEMUDA bukan terletak dari umur dan wajah, akan tetapi pemuda terletak pada jiwa dan semangatnya. Berapa banyak kita saksikan orang-orang tua di sekeliling kita yang masih banyak mempelihatkan keteguhan jiwa dan kekuatan semangatnya. Sebaliknya berapa banyak pula pemuda yang jiwa dan semangatnya sudah bertolak belakang dari yang sebenarnya. Dari segi umur mungkin kita mengaku sebagai pemuda, tapi dari segi jiwa dan semangat, kita tidak menunjukkan ciri-ciri dan tipikal seorang pemuda. Hal ini dapat kita saksikan sendiri dengan mata kita, berapa banyak diantara pemuda kita yang melakukan hal-hal yang sudah luar batas kewajaran. Apakah yang begini disebut pemuda?

SETIAP tokoh intelektual, politikus, edukasionis, ekonom, seniman dan budayawan memiliki solusi tersendiri dalam memperbaiki kerusakan dan kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Seorang politikus akan mengatakan bahwa untuk menyembuhkan penyakit Indonesia, maka Indonesia harus memakan tablet demokrasi, dan politikus tersebut meyakini benar bahwa dengan tablet demokrasi Indonesia akan sembuh. Berbeda dengan pendapat seorang ekonom. Seorang ekonom akan mengatakan bahwa untuk menjamin kesehatan Indonesia, maka Indonesia dianjurkan untuk meminum kapsul ekonomi, dan ia meyakini bahwa dengan peningkatan dari segi ekonomilah, maka Indonesia dapat disembuhkan. Begitu pula dengan seorang budayawan, senimanan, dan tokoh intelektual lainnya, mereka memiliki pendapat tersendiri terhadap solusi dalam memperbaiki Indonesia. Tak ketinggalan pula seorang tokoh atau pemuka agama.

Masing-masing akan menilai dan berpendapat bahwa Indonesia hanya bisa keluar dari kemelut yang berkepanjangan ini sesuai dengan kemampuan akal dan disiplin ilmu yang mereka bidangi pula. Tidak jarang terjadi perselihan dan adu pendapat bahkan sampai pada tingkat menyalahkan pendapat orang lain. Padahal seharusnya hal yang demikian itu tak perlu sampai terjadi, apabila kita sebagai manusia yang memiliki otak (pikiran) dan hati (perasaan) ini benar-benar seorang "tokoh". Tokoh dalam segala hal atau bidang dan disiplin ilmu. Karena semua solusi yang ditawarkan oleh politikus, edukasionis, ekonom, seniman, budayawan dan agamawan tersebut adalah benar. Akan tetapi "kebenaran" solusi itu bukanlah solusi yang mutlak benar. Kebenaran tersebut masih berada pada tingkat "sub-folder solution", dan masih ada solusi utama yang lebih benar dan lebih mutlak dalam menjamin kesembuhan penyakit Indonesia, siapakah yang bisa menawarkan solusi utama atau "main folder solution" tersebut?

SEORANG pemimpin yang benar-benar berjiwa dan bersemangat pemuda dalam membentuk Indonesia maju, seyogyanya memiliki komitmen yang jelas dan memiliki wawasan yang luas, sehingga ia akan memperhatikan hal-hal berikut: Pertama, memiliki hubungan yang bagus dengan tokoh ekonom dan orang-orang kaya atau hartawan yang dengan hubungannya itu bisa membuat sorang hartawan yang pelit menjadi pemurah. Sehingga dengan jiwanya yang pemurah itu bisa membantu rakyat Indonesia yang lain untuk meningkatkan taraf hidup dalam bidang ekonomi.

Bukan berarti bahwa kedekatan dengan para hartawan tersebut digunakan untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri, walaupun sebenarnya ini merupakan fenomena yang banyak terjadi dalam lingkungan kita. Namun perlu untuk diketahui bahwa yang demikian itu akan membuat diri seorang pemimpin tersebut menjadi rendah dan tak bernilai dihadapan para hartawan itu sendiri.

KEDUA, merangkul dan menjaga hubungan baik dengan pemuka-pemuka agama. Untuk meredam perselisihan yang terjadi antar umat beragama, pemerintah tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan hukum atau undang-undang yang telah ditetapkan. Akan tetapi dengan merangkul dan menjaga hubungan baik dengan para tokoh agama tersebut akan lebih efektif dalam memberikan solusi terhadap konflik yang terjadi antar umat agama tersebut. Sebab bila masing tokoh agama saling menghargai, maka dalam tradisi masyarakat Indonesia, para pengikutnya pun akan saling menghargai pula.

KETIGA, mendekati tokoh-tokoh masyarakat, seperti seorang Faqih, Buya atau Kyai. Karena mereka ini memiliki pengaruh yang sangat kuat di mata masyarakat. Masyarakat desa misalnya, akan lebih mau mendengarkan saran seorang Faqih atau Kyai dari pada mengikuti saran dari pemerintah yang kehidupan sehari-hari kalangan pejabat pemerintah itu tidak mereka ketahui.

KEEMPAT, mengarahkan orang-orang kuat, gagah dan perkasa. Dalam hal ini tentunya mengarahkan pihak TNI dan Polri. Mengapa demikian? Seorang pemimpin negara harus berjiwa mampu mengarahkan dan mengerahkan pasukannya. Sebab, kita sering mendengar keluhan dari masyarakat terhadap tindakan dari oknum aparat tersebut. Ketika kita ingin menumpas tempat-tempat maksiat, misalnya, ternyata ada oknum aparat yang berdiri dibelakangnya. Penebangan hutan sembarangan, juga ada oknum aparat yang melindunginya. Begitu juga dengan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat, mulai dari razia KTP hingga kasus terorisme, selalu saja ada oknum aparat yang ingin mempolitisi kasus-kasus tersebut.

Belum lagi penyalahgunaan kekuatan dan kesempatan. Pasukan TNI/Polri itu seharusnya mempertahankan negara dari serangan musuh, namun ada sebagian dari mereka menggunakan kekuatan mereka untuk memerangi rakyat sendiri yang pada akhirnya menimbulkan permusuhan antara sesama bangsa Indonesia. Kesempatan diberikan untuk menjaga keamana rakyat, malah ada yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Bahkan kita sering mendengar banyak wanita yang diperkosa juga atas nama oknum aparat. Sungguh kita telah mengkhianati makna yang terkandung didalam Sumpah Pemuda.

KELIMA, merangkul kaum pemuda, dalam hal ini tentunya kaum mahasiswa dan mahasiswi yang merupakan simbol generasi intelektual. Dalam memperingati hari Sumpah Pemuda tahun ini, sudah seyogyanya bagi setiap kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda itu sendiri. Sebagai mahasiswa, kita akan selalu mengaumkan reformasi, namun jika kita dalam sholat Subuh saja masih sering menjemur qunut (bagun pagi kesiangan), maka tak ada gunanya berteriak reformasi. Reformasi diri sendiri, setelah itu baru mereformasi bangsa ini.

Pekan lalu, 20 Oktober 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla resmilah sudah menjadi presiden dan wakil presiden republik Indonesia untuk masa lima tahun ke depan. Janji-janji telah mereka taburkan. Kita hanya menunggu hasil kepemimpinan mereka. Adakah nilai-nilai seperti berjiwa dan bersemangat pemuda itu terkandung di dalam diri mereka atau tidak? Jika masih ada, berarti mereka memang layak dan pantas untuk memimpin bangsa ini.

Penulis adalah mahasiswa asal Riau pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

Tulisan ini pernah dimuat di website resmi PPI India [
www.ppi-india.uni.cc ] edisi 07 November 2004.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home