Wednesday, November 10, 2004

Mengenal dan Menghargai Pahlawan

Oleh: Zamhasari Jamil

HARI ini 10 November 2004, kita kembali diingatkan pada satu peristiwa penting dalam catatan sejarah perjalanan negeri ini yang bernama Indonesia, itulah peringatan Hari Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Bagimana tidak, rasanya mustahil bagi kita bisa tinggal di negeri ini tanpa adanya perjuangan, banting tulang, peras keringat dan genangan darah dari bapak ibu kakek dan nenek-nenek kita dalam merebut kemerdekaan republik ini dari tangan penguasa zhalim yang bernama Belanda. Sungguh tak terbayangkan oleh kita bagaimana nasib dan bentuk kehidupan para pejuang Indonesia waktu itu dimana mereka dijajah habis-habisan selama tiga setengah abad lamanya. Maka sudah sepantasnya bagi kita generasi penerus pejuang bangsa untuk mengenang dan mengabadikan nilai-nilai perjuangan mereka dalam catatan sejarah sebagai hari pahlawan nasional republik Indonesia.

Sebagai anak bangsa kita harus mengakui bahwa yang selama ini terjadi adalah bahwa asumsi mengenai pahlawan tersebut hanya tertuju kepada mereka yang telah berjuang dalam merebut kemerdekaan republik Indonesia saja, karena hanya sebatas itulah ilmu sejarah yang kita peroleh dari guru-guru kita. Dan nama-nama para pejuang itupun masih sebatas pejuang dengan ruang lingkup yang umumnya berasal dari luar daerah (Riau). Sehingga yang terjadi adalah kita lebih mengenal para pejuang dari luar Riau dari pada para orang-orang yang lebih berjasa banyak terhadap Riau itu sendiri. Memang tidak ada salahnya kita mempelajari sejarah tentang Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, dan lain-lain sebagainya, karena tanpa perjuangan yang mulia dari mereka, kita juga tidak mungkin hidup dalam negeri yang begitu besar ini, dan dengan perjuangan mereka juga, maka Indonesia ini dapat terbentuk.

Akan tetapi yang terjadi selama ini adalah bahwa seolah-olah yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia ini hanyalah orang-orang dari luar Riau saja. Padahal mereka tersebut juga tidak pernah mengadakan perlawanan atau memimpin perlawanan di wilayah Riau. Dan mereka hanya memimpin perlawanan di daerah mana ia berada saja. Hal ini bisa terjadi karena memang para penulis sejarah itu masih didominasi oleh orang-orang yang berada dari luar daerah Riau. Sehingga tidaklah mengherankan jika nama-nama pahlawan dari Riau tidak tercantum dalam buku-buku sejarah pahlawan nasional yang pernah kita pelajari pada tingkat sekolah menegah (SLTP/MTs) dan lanjutan atas (SMU/Aliyah) atau yang sederajat dengannya. Karena itu putra-putri Riau memiliki kewajiban untuk menulis buku yang berkaitan dengan sejarah para tokoh-tokoh pahlawan yang telah menumpahkan darahnya demi mempertahankan wilayah Riau ini. Dengan demikian para generasi selanjutnya bisa mengetahui sejarah pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia ini dari dua sisi, yaitu para pejuang asal Riau dan pejuang asal luar Riau. Jika hal ini dapat kita laksanakan, maka nama Tuanku Tambusai tak lagi akan terlupakan.

Yang patut kita pertanyakan sekarang adalah apakah upacara peringatan Hari Pahlawan tersebut hanya sebatas “acara ritual” saja? Sebab jika upacara yang kita selenggarakan setiap tahun tersebut hanya sebatas melepas kewajiban sebagai warga negara, maka kita termasuk orang yang telah berkhianat kepada para pejuang tersebut. Saya katakan berkhianat karena dalam setiap upacara kita selalu mendengar dan dituntut untuk menghargai jasa para pahlawan-pahlawan tersebut, tapi begitu ucapara selesai, maka sedikitpun nilai-nilai perjuangan dari pahlawan tersebut tidak berbekas dalam kepribadian kita. Apalah artinya sebuah upacara bila pada kesempatan tersebut kita hanya bisa menghadiahkan bacaan Al-Fatihah pada saat kita mengheningkan cipta. Sebab hal itu juga bisa dilakukan diluar waktu upacara. Permasalahannya sekarang, adakah kita sebagai seorang warga negara pernah mengheningkan cipta untuk para pahlawan kita diluar upacara tersebut sesaat saja?

Disamping para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan republik ini, sebenarnya masih ada pahlawan yang juga tidak kalah pentingnya dalam mengisi kemerdekaan tersebut. Mereka adalah para guru, dokter dan wartawan atau jurnalis dan penulis. Guru tersebut adalah pahlawan dalam melawan kebodohan, akan tetapi kita sering melupakannya. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kita bisa masuk SD itu adalah berkat jasa ibu dan ayah (guru dalam keluarga). Seterusnya kita bisa melanjutkan ke jenjang SLTP/MTs juga berkat jasa guru kita di SD, kemudian kita melanjutkan ke kenjang SMU/Aliyah atau yang sederajat juga karena jasa guru kita di SMP/MTs. Sampai akhirnya kita masuk ke jenjang Perguruan Tinggi, kemudian ada yang menjadi Presiden, menjadi Gubernur, menjadi Bupati, menjadi Camat, menjadi Insinyur, menjadi wartawan, menjadi dokter dsb., semua itu tidak terlepas dari jasa guru. Karena itu gurupun pantas menyandang gelar sebagai pahlawan.

Begitu juga dengan seseorang yang berprofesi sebagai dokter. Ia pun juga merupakan seorang pahlawan kesehatan. Dalam masalah ini, saya kembali teringat dengan salah satu bait dalam syair Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa: “Sesungguhnya seorang dokter dan guru tidak akan memberikan ilmunya yang akan bermanfaat bagi kita, jika kita tidak menghormatinya dan menghargainya”. Yang ingin saya katakan disini adalah bila seorang pelajar atau penuntut ilmu ingin memperoleh ilmu yang bermanfaat dari gurunya maka hormatilah guru. Dan guru yang baik tentunya adalah guru yang senang bila melihat muridnya menjadi orang yang berhasil, dan merasa prihatin bila tidak berhasil.

Dan orang yang sakit akan datang memenui dokter serta akan minta bantuannya dalam menyembuhkan penyakit yang ia derita. Namun bila orang yang sakit tersebut tidak mengindahkan dan menghargai nasehat dari sang dokter, maka alamat penyakit sulit disembuhkan. Seorang dokter akan memberikan obat kepada yang sakit tersebut disertai dengan aturan makan atau minumnya. Ini merupakan salah-satu bentuk kasih dan sayangnya seorang dokter. Sebab obat yang diberikan dokter tanpa diikuti dengan aturan makan dan minumnya tidaklah berfungsi menyembuhkan penyakit, akan tetapi bisa menambah penyakit. Sehingga memperhatikan nasehat dokter adalah perlu dalam hal kesehatan, karena dalam masalah kesehatan ini, dokterlah pahlawannya.

Selain dari pahlawan-pahlawan yang telah penulis sebutkan diatas, kita bangsa Indonesia pada umumnya seringkali melupakan dan tidak menghargai jasa para wartawan, jurnalis ataupun para penulis. Padahal mereka ini merupakan para pahlawan wawasan dan intelektual. Kita tidak bisa menikmati berita-berita aktual dan terkini tanpa adanya jasa para wartawan ataupun para jurnalis. Dan adalah mustahil bagi kita bisa menjadi orang pintar bila kita tak pernah membaca buku. Dan terbentuknya buku itupun berkat jasa para penulisnya. Sebagai anak jati Melayu Riau, kita patut berbangga memiliki media cetak seperti Harian Riau Pos, sebab kehadiran Riau Pos itu tentunya untuk menambah wawasan khususnya bagi masyarakat Riau, dan niat tulus Riau Pos dalam membentuk masyarakat yang berwawasan luas tersebut telah tercermin dalam mottonya “Bangun Negeri Bijakkan Bangsa”.

Yang sering menjadi dilemma ditengah masyarakat kita Indonesia umumnya adalah bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang alergi baca atau malas baca. Sehingga apabila ada pelajar, siswa atau mahasiswa yang malas membaca, maka statusnya patut dipertanyakan. Padahal salah satu bentuk penghargaan kita kepada para wartawan, jurnalis ataupun para penulis adalah dengan membaca karya-karya mereka. Dan yang menjadi sumber kebodohan itu adalah dari sifat malas baca, dan dari sini pula akan muncul rasa kurang menghargai, karena memang kita tidak memahami manfaat dari membaca tersebut. Berbeda dengan di Barat, dimana penulis menempati posisi terhormat, karena itu tidak heran bila pada saat ini segala bentuk kemajuan Barat dapat kita nikmati melalui tulisan-tulisan mereka. Karena adanya bentuk penghargaan dari pemerintah dan masyarakatnya yang tinggi tersebut, maka setiap mereka termotivasi untuk menuangkan segala ilmunya dalam bentuk tulisan. Sering kita dengar bahwa kebiasan orang Indonesia bila bepergian dengan memakan waktu perjalanan yang agak lama, maka kesempatan tersebut digunakan untuk tidur, sedangkan orang-orang Barat memanfaatkan waktu tersebut untuk membaca.

Bersempena dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional Republik Indonesia tahun ini, maka sudah saatnya untuk melepaskan atribut-atribut buruk yang selama ini melekat pada diri kita. Bagi yang biasa berkorupsi-ria, suka berkolusi dan gemar dengan nepotismenisasi sudah waktunya untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Yang belum hobi membaca, inilah saat yang tepat untuk menjadikan baca sebagi salah-satu hobi dan begitu juga kepada yang belum memulai menulis (terutama sejarah para pahlawan Riau), maka dengan semangat pahlawan ini, penggarapannya boleh dimulai. Hormati guru, dengar nasehat dan ikuti saran dokter serta biasakan diri membaca, karena yang demikian itulah merupakan salah-satu bentuk penghargaan kita kepada mereka. Di hari ini pula, kita luangkan waktu sejenak guna mengheningkan cipta untuk para pahlawan yang telah mengalirkan darahnya demi bangsa Indonesia. Dan untukmu wahai para syuhada, wa lahum Al-Faaatihah. ***

Zamhasari Jamil, Ma
hasiswa pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India; alumni Pondok Pesantren Darul Hikmah Pekanbaru.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home