Thursday, November 18, 2004

Hatiku Bergetar Bersama Takbir

Oleh: Zamhasari Jamil

HARI itu, Senin (15 November 2004), sehabis menunaikan sholat Subuh, aku diam terpaku di atas hamparan sajadahku sambil mengingat masa kecilku yang selalu merayakan hari raya Idul Fitri bersama kedua orang tuaku, adik-adikku serta nenek dan kakekku. Sebagaimana lazimnya dalam keluargaku, begitu sholat Subuh usai, aku dan adikku langsung bersimpuh di hadapan kedua orang tuaku serta dihadapan kakek dan nenekku guna memohon maaf dari mereka yang sangat ku cintai. Begitu pula bapak dan ibuku juga akan bersimpuh memohon maaf dihadapan kakek dan nenekku sembari menyalami dan menciumi tangan mereka sebagai tanda penghormatan terhadapnya. Aku dan adik-adiku yang setiap hari raya Idul Fitri selalu mengenakan baju teluk belanga kembali melintas dalam bayanganku. Bilakah kebahagianku seperti masa kecilku itu bisa ku raih kembali?

Pagi itu suasana di New Delhi sudah mulai terasa sejuk. Meski dinginnya air juga terasa menembus tulangku, aku dan dua rekanku Khairurrazi Nadwi dan bung Fatih tidaklah ragu untuk mandi di pagi itu, dengan niatan Lillahi Ta’ala, hanya mengharap ridho Allah semata. Getaran takbir, tahmid dan tahlil di hatiku telah menghangatkan air mandiku di hari itu. Setelah mandi secara bergiliran, aku dan dua rekanku itu, Khairurrazi Nadwi dan bung Fatih segera mengenakan pakaian selayaknya dengan perfume seperlunya. Berangkat dari bilikku di jalan C-13/140, Zakir Nagar, Okhla menuju lapangan tennis Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi, dimana sholat Id dilaksanakan, telah menghabiskan perjalananan selama 45 menit lamanya dengan menggunakan Bajaj atau Threewhillers, sebagaimana masyarakat India biasa menyebutnya.

Selama perjalanan itu, aku tak banyak bersuara dan berkata. Aku hanya ingin segera sampai ke arena sholat Id di KBRI itu. Tanpa terasa, Bajaj atau Threewhillers yang membawa kami itu tibalah di depan pintu gerbang KBRI. Begitu memasuki kawasan KBRI, gema takbir dan tahmid serta tahlil yang dipimpin oleh teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India telah terdengar dengan indahnya. Rasa sejuk dan panas berkumpul menjadi satu di dalam tubuhku. Hamparan sajadah yang membentang memenuhi lapangan tennis itu telah membuatku sadar bahwa hari itu aku sedang berhari raya di tempat yang terpisah dari kedua orang tuaku dan adik-adikku. Sambil mengikuti irama dan alunan takbir, tahmid dan tahlil yang menggema ke seluruh tubuhku, air mataku menitik membasahi telapak tangaku. Bibirku hanya bisa berucap: “Ibu, ayah, dan adiku-adikku, maafkan aku. Tak ada yang paling membahagiakanku di pagi ini kecuali pemberian maaf darimu. Karena itu, maafkan aku ya ibu, ayah dan adik-adikku.”

Tepat pukul 8.30, sholat Id yag diimami oleh H. Jusman Masga, MA itu didirikan. Selepas sholat, H. Muchlis Zamzami, MA langsung berdiri mengambil posisi sebagai khatib Id guna melengkapi sholat Id di pagi itu. Tenang, khusyu’ dan khidmat. Itulah suasana dan gambaran yang diperlihatkan oleh jamaah Id yang bukan hanya berasal dari masyarakat Indonesia di New Delhi saja, tetapi juga ada juga yang berasal dari negara jiran seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Hidup rukun, damai dan tenteram tanpa pernah memandang asal bangsa yang negara yang semacam inilah yang mesti terus kita bina dan kita pertahankan.

Selepas khatib membacakan khutbah lebih kurang 20 menit lamanya, selanjutnya diteruskan dengan acara salam-salaman. Saat itu, tak ada lagi perbedaan diantara kita. Semua berbaur menjadi satu, saling meminta maaf dan bersalaman. Ucapan “Selamat Hari Raya” adalah kata-kata yang selalu menghiasi setiap bibir kita semua di pagi itu. Akrab dan bersabahat benar kita saat itu. Mampukah kita mempertahankan nuansa akrab dan bersabahat semacam itu? Aku yakin kita mampu.

Kegiatan foto bersama telah menambah suasana keakraban sesama kita di pagi itu. Acara “Open House” di kediaman Bapak Dubes Indonesia telah membuka kesempatan bagi sesama kita untuk saling berkenalan dengan saudara-saudari kita yang berasal dari negara jiran tadi. Mereka yang berasal dari Malaysia dengan logat Melayu dan baju teluk belanganya telah mengingatkan aku nuansa berhari hari raya di kampungku, Riau. Satai ayam dan lontong serta berbagai jenis makanan dan buahan lainnya pada acara “Open House” sebagai pengganti ketupat, lemang dan gelamai yang biasa ku nikmati di pagi hari raya semasa di Riau dulu itu telah meyakinkan aku bahwa kini benarlah bahwa aku bukan sedang bermimpi, tapi benar-benar berhari raya Idul Fitri di New Delhi.

Usai “Open House” di Wisma Duta, keluarga besar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India juga mendapat undangan dari keluarga Bapak Brook untuk bersilaturrahmi ke rumahnya. Bapak Athan KBRI telah memberikan fasilitas transportasi kepada rekan-rekan PPI menuju kediaman Bapak Brook ini. Tak banyak yang bisa ku sampaikan kepada Bapak Athan selain ucapan terima kasihku. Selama lebih kurang dua jam di rumah Bapak Brook, rekan-rekan PPI meneruskan silaturrahmi ke kediaman Ibu Niniek dan Bapak Sis. Selepas silaturrahmi dari kediaman Ibu Niniek dan Bapak Sis ini, rekan-rekan PPI meneruskan acara silaturrahmi ke kediaman Bapak Suhadi yang masih berada di lingkungan KBRI juga.

Dan dari kediaman Bapak Suhadi jugalah rekan-rekan PPI meneruskan perjalanannya ke Kamani Auditorium untuk menyaksikan pertunjukan seni yang dibawakan oleh aktor-aktor profesional asal Bali. Sebelum pertunjukan seni ini usai, aku dan saudaraku Khairurrazi Nadwi memilih untuk balik ke bilikku duluan. Mengingat semakin larut malam, semakin sulit untuk mendapatkan Threewhillers yang mau mengantarkan kami ke kawasan Zakir Nagar, Okhla. Sehari penuh aku berjalan, sungguh besar nikmat Allah yang kurasakan. Aku tak lagi mampu untuk menghitung sudah berapa besar nikmat dari Allah yang ku rasakan. Aku hanya bermohon kepada Allah, kiranya aku termasuk orang-orang yang pandai bersyukur tehadap nikmat-Nya.

Ya Allah ...., sudah berkali-kali Idul Fitri ku lewati. Tapi, aku masih merasa belum pernah berbuat apa-apa untuk agama, bangsa dan negaraku. Ku bermunajat kepada-Mu, berikanlah hidayah dan petunjuk-Mu kepadaku hingga akhirnya aku menjadi manusia yang bisa membawa manfaat dan kemashlahatan bagi orang banyak. Bukan menjadi pembawa bencana dan malapetaka bagi orang lain. Maha besar Allah. Segala puji hanyalah untuk Allah. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah. Amien Allahumma Amien. ***

Zamhasari Jamil, Pelajar Melayu asal Riau pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia – A Central University, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home