Thursday, November 25, 2004

Bangsa Bernama Bangsa Berakhlak

Oleh: Zamhasari Jamil

DALAM pantun Melayu dengan sebuah syair Arab gubahan Syauqi Bey disebutkan begini: "Wa innamal umamul akhlaqu maa baqiat, Wa in hummu dzahabat akhlaquhum dzahabuu." Dalam bahasa kita, kira-kira artinya begini: "Suatu bangsa terkenal lantaran budinya. Kalau budinya telah hilang, maka nama bangsa itupun ikut hilang pula." Kalimat tersebut pertama sekali saya dengar tatkala saya masih menjadi santri pada madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Dar el-Hikmah Pekanbaru.

Kala itu, guru saya yang bernama Rahmat Wahyudin menerangkan secara panjang lebar tentang makna yang terselubung dibalik syair gubahan Syauqi Bey tersebut. Karena begitu pentingnya peranan akhlak ini dalam suatu bangsa, maka ia sempat berpesan bahwa bila antum (baca: santri-santri) menginginkan suatu perubahan ke arah yang lebih positif mestilah dimulai dari diri antum terlebih dahulu, apalagi bila antum sebagai pimpinan tertinggi pada suatu lembaga.

Guru saya tersebut juga mencontohkan, bila ingin membersihkan rumah, maka mulailah dengan membersihkan bagian atasnya, kemudian fentilasi, jendela, dinding, pintu dan kemudian barulah membersihkan lantainya. Memang, pada masa saya masih sebagai santri di Ponpes Dar el-Hikmah tersebut, saya tak begitu ambil perhatian terhadap untaian syair yang disampikan oleh guru saya itu. Saya memandang, apalah artinya sebuah syair. Namun hari, bulan dan tahun pun berlalu. Saya mulai menemukan makna dari kalimat syair diatas tadi.

Bangsa Indonesia sebelum ditimpa musibah krisis pada tahun 1997 silam, kita bangga memiliki Soeharto, Presiden yang mengklaim dirinya sebagai Bapak Pembangunan. Soeharto ketika itu benar-benar menjadi tokoh yang paling disegani di Asia. Tak heran, nama Indonesia mencuat merambah dunia internasional laksana mercusuar yang menjulang tinggi. Karamah-tamahan Indonesia laku dijual dimana-mana. Bisa dipastikan, ketika kita berpapasan dengan seseorang di jalan, kemudian ia tersenyum, nah ini dia, orang Indonesia. Akhlak suatu bangsa memiliki andil yang cukup besar dalam meningkatkan derajat dan citra positif bangsa tersebut dihadapan bangsa-bangsa lain.

Fenomena dan pemandangan yang seperti itu sudah tak tinggal dan membekas lagi pada saat ini. Indonesia bak sebuah "negara murahan" yang tak lagi memiliki cakar untuk menghujam dalam ke perut bumi. Asumsi yang berkembang di dunia internasional yang menyatakan Indonesia sebagai kentong teroris di Asia yang kemudian diperkuat dengan berbagai aksi pengeboman yang terjadi selama tiga tahun belakangan ini telah memperkuat keyakinan dunia internasional bahwa benarlah Indonesia tersebut sebagai pusat dan sarang teroris. Indonesia -sejauh yang saya tahu- belum pernah membuat sanggahan terhadap stigma yang ditempelkan pada wajah Indonesia tersebut. Bahkan sebagian kalangan di Indonesia "mengamini" pelabelan tersebut yang dibuktikan dengan ikut menyikat beberapa tokoh-tokoh masyarakat tanpa ada bukti-bukti yang jelas. Ini pertanda bahwa bangsa kita tak lagi berwibawa di mata dunia internasional. Mengekor ke bangsa lain, tanpa memiliki perasaan malu kepada bangsa sendiri.

Kepemimpinan di Indonesia silih berganti. Sejak 20 September 2004 lalu, Indonesia resmi memiliki Presiden keenam, beliau adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didampingi oleh Yusuf Kalla sebagai wakilnya. Kita akan terus menunggu dan menyaksikan, apakah SBY akan berbuat sama seperti pendahulu-pendahulunya? Yaitu mengurus diri sendiri dan melupakan tugas utamanya yaitu memperbaiki rakyat dan bangsa. Soeharto dijatuhkan dari singgasananya karena keasyikan memperkaya diri sendiri dan keluarga semata. Dan Soeharto jugalah yang berhasil memupuk dan mengembangbiakkan praktik-praktik KKN yang sudah mengakar jauh pada bangsa kita saat ini.

Ada Prof. Habibie, dan tentang Habibie ini, saya menjadi teringat dengan ceramah yang disampaikan oleh Prof. AM Syaifuddin di Mesjid Al-Furqan, Leuwiliang, Bogor pada tahun 2001 silam. Ketika itu, AM Syaifuddin mengatakan bahwa sesaat setelah Prof. Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan posisi Soeharto, Prof. AM Syaifuddin membisikkan ke telinga isteri Habibie supaya nama Habibie dirubah menjadi Habibuna. Habibie, dalam bahasa Arab bermakna "kekasihku" dan Habibuna berarti "kekasih kami". Ketika Habibie sudah menjadi Presiden, itu artinya Habibie bukan lagi menjadi milik isteri semata, tapi sudah menjadi milik bersama. Akan tetapi karena nama Habibie tak pernah berubah menjadi Habibuna, maka umur kepresidenan Habibie pun cukup setahun saja. Demikian Prof. AM Syaifuddin memberi alasan mengapa Habibie tak bertahan lama di singgana Presiden tersebut. Saya cuma menganggukkan kepala saja mendengarkan alasan humorik yang dibuat oleh Prof. AM Syaifuddin ini.

Begitu pula di era Gusdur, Presiden berdarah santri yang keasyikan melawat dan melancong. Ia juga lupa terhadap persoalan yang ada di dalam negerinya sendiri. Tak ayal, ia pun "tersungkur" di tengah jalan. Megawati pun akhirnya naik ke singgana menggantikan posisi Gusdur, tapi sayang, dalam istilah Arab, keberadaan Megawati ini dikenal dengan "Wujuduha ka 'adamiha". Artinya: "Ia ada, tapi keberadaannya seolah-olah tak dilihat orang." Harkat dan martabat bangsa kita menjadi pupus bersamaan dengan pupusnya harkat dan martabat para pemimpin bangsa kita.

Seolah-olah tidak menyadari, Indonesia saat ini sedang menyembah Amerika. Padahal seperti yang kita saksikan bahwa Amerika telah mencabik-cabik perdamaian di tanah Islam umumnya dan bumi Arab khususnya, seperti di Iraq dan Palestina hanya dengan berdalihkan "demokrasi" sebagai pembalut luka yang teramat pedih itu. Sifat manusia yang selalu ingin menguasai dan menjajah itu adalah alami adanya. Qabil, anak pertama nabi Adam rela mengakhiri hayat saudara kandungnya sendiri, Habil, lantaran nafsu telah menguasai jiwanya.

Kediktatoran seorang pemimpin di negara Muslim atau di negara yang mayorits penduduknya adalah Muslim dijadikan alasan yang paling empuk bagi Amerika dalam usaha membumihanguskan dunia Islam. Sayangnya, masih banyak diantara pemimpin dunia dimana mayoritas penduduknya adalah Muslim masih saja mau mengakui dan mengamini semua keinginan AS tersebut. Indonesia adalah salah satu contohnya. Fenomena yang semacam ini bisa terjadi lantaran Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap AS dalam berbagai hal.

AS akan tetap berupaya untuk menempatkan tentara-tentaranya di segala penjuru dunia. Alasan untuk menjaga stabilitas perdamaian dunia dari ancaman teroris akan dibuat sebagai dalih untuk mencapai tujuan ini. Kalimat perdamaian dunia internasional dan demokrasi akan tetap didengungkan oleh AS dalam rangka menghambat usaha perdamaian yang sebenarnya di tanah Palestina. Amerika dengan segala metode dan strateginya akan selalu menjadikan Israel sebagai alatnya. Dan Israel, bak lembu yang ditusuk batang hidungnya tersebut senatiasa akan tetap mengikuti segala yang diinginkan Amerika, mengingat Israel merupakan “anak angkat” AS itu sendiri, khususnya dalam menghadapi dunia Islam.

Sikap masyarakat Muslim yang menelan bulat-bulat kalimat perdamaian dunia internasional dan demokrasi yang didengungkan oleh AS telah menimbulkan misinterpretasi dan miskonsepsi terhadap makna demokrasi yang sebenarnya. Yang demikian itu sebagai pertanda bahwa AS telah berhasil menanamkan strategi dan taktik jitunya dalam menguasai dunia Islam.

Presiden AS George W. Bush yang telah membangun "danau darah" di tanah Iraq dan di bumi Palestina melalui tangan Israel tersebut akan memperdalam kolam air mata kaum Muslimin di seluruh dunia. Tindakan biadab yang tidak beralasan tersebut akan tetap terukir dalam catatan sejarah perjalanan demokrasi di dunia ini. AS telah menjatuhkan bom-bom buatannya sendiri bak menghempaskan "batu domino" di meja kaca kaum Muslimim dengan sombongnya.

Kita mungkin masih ingat dengan tokoh-tokoh dunia terdahulu. Sikap mereka jauh bertolak belakang dengan apa yang sudah diperlihatkan oleh para pemimpin dan orang-orang besar saat ini. Sebut saja contohnya, Socrates. Ia lupa mengurus dirinya lantaran ia terlalu banyak berfikir untuk memperbaiki manusia. Dan begitu juga dengan Jamaluddin Al Afghani, karena ia begitu antusias untuk memperbaiki umat Islam di seluruh dunia, maka ia lupa memikirkan dirinya sendiri. Ia tidak beristeri dan membangun rumah tangga, meninggalkan keturunan yang akan disebut-sebut di belakang hari. Jelaslah sudah, bila kita hendak meninggikan derajat dan harga diri bangsa kita, mari kita bersama-sama sebagai bangsa Indonesia menegakkan akhlak yang baik dalam semua sendi kehidupan kita. ***

Zamhasari Jamil, Mahasiswa asal Riau pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia - A Central University, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home