Friday, October 15, 2004

Membangun Toleransi Menuju Kebersamaan

Oleh: Zamhasari Jamil

Sudah tidak perlu disangkal lagi, praktik toleransi dalam berhubungan sesama manusia baik secara khusus ataupun umum, merupakan sikap positif dan kesadaran terhahdap toleransi senantiasa diharapkan tumbuh dalam setiap diri manusia selaku makhluk hidup yang bersosial. Jika kita mau mencermati tentang pentingnya sikap toleransi serta dampak positif yang muncul darinya, baik untuk diri sendiri ataupun masyarakat luas, niscaya umat Islam akan memberikan perhatiannya secara serius dalam masalah yang satu ini.

Sebagai manusia beragama, prinsip dasar dalam membangun toleransi dapat penulis simpulkan antara lain:

Pertama, sebagai makhluk bernama manusia, kita dituntut memiliki kesadaran. Kita sama seperti manusia lainnya, terlepas dari ragam suku, bangsa dan agama yang dianut. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia adalah negara yang terdiri atas berbagai suku, agama dan aliran kepercayaan.

Perbedaan yang terdapat dalam diri manusia baik dari warna kulit, bahasa dan bangsa, tidak mengharuskan ia bersikap angkuh yang pada akhirnya selalu menganggap remeh dan memandang rendah orang lain.

Kedua, menyadari perbedaan akidah yang dianut setiap manusia merupakan perkara alami dalam kehidupan kita sebagai manusia berakal. Allah SWT menciptakan manusia. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Berbeda dengan penciptaan makhluk Nya yang bernama malaikat, yang senantiasa beribadah dan tunduk pada Nya. Begitu pula dengan penciptaan makhluk Nya yang bergelar Iblis yang senatiasa membangkang dan mendurhakai Rabbal ?alamin. Penciptaan manusia juga berbeda dengan penciptaan binatang darat atau pun laut. Binatang diciptakan tanpa ada tuntutan untuk tunduk dan beribadah kepada Nya. Sedangkan manusia diciptakan dengan segala tuntutan untuk selalu beribadah dan mengabdi kepada Nya. Sebagai manusia, kita dihadapkan pada dua pilihan. Memilih ?jalan malaikat? atau ?jalan iblis?. Yang jelas, Allah SWT memberikan akal yang dengan kemampuannya kita memilih jalan hidup terbaik bagi diri kita. Kita mungkin pernah bertanya, apakah saya yang menganut agama ini sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT? Secara umum dapat penulis katakan, keberagamaan kita di Indonesia pada umumnya masih mengikuti agama asal orangtua kita. Jika sekiranya kita dilahirkan dari keluarga yang sama sekali tidak menganut agama tertentu, maka kemungkinan besar sampai hari ini kita juga belum memiliki agama.

Sekarang muncul pertanyaan, mengapa kita harus beragama. Atau apa ruginya agama jika kita tidak menganutnya? Di sinilah sifat/naluri kemanusian itu muncul. Pengaruh akal sungguh memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menentukan sikap manusia selanjutnya. Akal jua yang membuat sesorang beragama atau tidak. Seseorang yakin terhadap suatu agama, manakala ia merasa ?takut?. Dalam hal ini, takut terhadap siksaan di hari lain selain hari-hari di dunia. Kemudian dari perasaan takut ini, muncul perasaan untuk mencari tempat berlindung, mengadu dan atau meminta bantuan. Itulah Tuhan, Dzat yang Serba Maha atas segala-segalanya.

Mengapa kita harus mencari dan meminta bantuan Tuhan? Kita akui atau tidak, akal kita mengatakan, kita sebenarnya lemah. Masih banyak perkara dalam kehidupan kita yang kita sendiri tidak sanggup menyelesaikannya. Ini bukti nyata, kita sebagai manusia adalah lemah. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan agama sebagai jawaban atas semua persoalan yang dihadapi umat manusia.

Allah tetap menciptakan manusia berbeda-beda (dalam agama). Karena, kelak dari sini nantinya Allah akan memperlihatkan kasih dan sayang Nya pada hari ?Pemisahan? dan ?Pembalasan?. Saat itu akan jelas mana manusia yang menggunakan akalnya untuk memilih ?jalan malaikat? atau ?jalan iblis? sebagai acuan dalam hidupnya yang sangat fana dan sementara ini. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah akan menghukumi di antara kamu pada hari kiamat nanti, terhadap apa (agama) yang padanya kamu berbeda-beda" (QS An-Nahl: 124).

Ketiga, mengetahui dan meyakini kepercayaan (iman) terhadap agama apa pun tidak akan pernah menjadi sempurna dan benar. Kecuali jika iman (kepercayaan) itu bersumber dari keyakinan yang sempurna, di mana kita merasa puas dengan keyakinan yang kita anut. Keyakinan itu juga tidak pernah dimasuki unsur tekanan, desakan atau paksaan pihak lain. Bila mana seseorang dipaksa untuk meyakini suatu agama, lantas ia kembali kepada keyakinan pertama yang ia anut, maka semuanya itu terserah kepadanya tanpa ada sanksi yang menyertainya. Dalam hal ini, Islam memberikan contoh toleransi (QS Al-Baqarah: 256, QS Yunus: 96, QS Al-Qashash: 56). Dari prinsip ketiga ini diharapkan muncul sikap untuk menghindari pemaksaan agama terhadap orang lain serta akan membuka peluang untuk selalu menghargai pendapat dan pandangan orang lain. Dengan demikian, di mana pun kita hidup, maka masyarakat akan selalu menerima kita.

Keempat, mengetahui manusia itu adalah makhluk Tuhan yang pada hakikatnya bisa baik dan bisa pula buruk. Perbedaan aliran kepercayaan dan agama, bahasa dan warna kulit, suku bangsa yang berbilang-bilang, semuanya merupakan dalil bahwa manusia berasal dari jenis yang sama, memiliki tabi?at yang sama, berambisi dan memiliki hasrat yang sama. Nah, dari sifat alami manusia yang selalu sama ini, mengharuskan manusia untuk saling mengenal dan membantu atau bekerja sama secara kuat dan solid.

Kelima, adanya kesadaran kolektif dari segenap masyarakat bahwa kerja sama atau saling menolong dalam kebaikan akan membuahkan hasil, semua masyarakat Indonesia akan memetik hasilnya. Semua cita-cita Indonesia hanya akan mengapung di udara dan tidak akan berhasil jika masyarakat belum menyadari arti penting kerja sama ini. Wajar jika kita selalu mendengar, untuk menyukseskan Indonesia sebagai negara yang aman, misalnya, maka semua masyarakat dituntut berperan aktif. Menurut penulis, salah satu bentuk peran aktif bagi masyarakat awam yang dimaksud, minimal sikap toleransi.

Ketika Indonesia mencanangkan programnya itu, hendaknya tidak ada lagi di antara kita ?membuat ulah? yang akhirnya bisa menghambat proses pelaksanaan dalam menjalankan visi dan misi tersebut. Artinya, tidak pantas lagi jika masih ada individu atau kelompok yang mencari keuntungan dengan mengatasnamakan untuk menjalankan program tertentu. Karena hal ini akan dapat mengaburkan kembali sikap toleransi masyarakat yang selama ini terbina dengan baik. Sedangkan toleransi antara pemimpin dengan rakyatnya, bukan berarti pemimpin itu bebas dari segala macam bentuk kontrol dan kritikan masyarakat. Kritikan masyarakat hanya lahir berdasarkan pertimbangan akal yaitu perasaan cinta, sebab kritikan muncul sebagai tanda masyarakat masih mencintai pemimpinnya.

Prinsip ini juga sangat berkaitan erat antara pemimpin dengan masyarakatnya, sebab untuk membentuk sikap toleransi publik, tidak akan terlepas dari kebijakan yang dibuat pemimpinnya. Tuhan memerintahkan setiap pemimpin untuk selalu bersikap adil. Akan tetapi adil saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan berbuat baik dan mau berkorban demi rakyat yang dipimpinnya. Di sini dapat pula kita katakan, sekiranya seorang pemimpin menggemari silaturahmi (baca: memperhatikan, mengunjungi dan membenahi semua daerah terpencil di Indonesia), maka minimal masyarakat bisa saling memberikan senyuman bila berpapasan. Bukan seperti selama ini, ketika seorang anak desa datang ke kota dan berjalan di sekitar terminal atau pusat perbelanjaan, seperti ada harimau yang selalu mengintai di belakangnya. Inilah prinsip dasar dalam membangun toleransi di segala bidang kehidupan manusia. Semua prinsip itu akan dapat kita terapkan dalam keseharian kita tanpa harus merasa terbebani dan memberatkan, jika kita memang benar-benar mendambakan kehidupan yang aman, tentram, damai dan bahagia.

Di Indonesia, kita bahkan sering bertanya kepada saudara muslim kita, apakah ia muslim NU atau muslim Muhammadiyah. Walaupun secara lahiriah pertanyaan itu sangat sederhana, tetapi secara psikologis dampaknya cukup besar. Sebagai contoh, beberapa tahun belakangan ini sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan NU dan Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadhan dan satu Syawal. Tapi kita tidak pernah berbeda pendapat dalam menentukan bulan Hijriyah yang lain. Karena itu, jika perbedaan selama ini hanya dikarenakan untuk menjaga kegengsian antarorganisasi, maka seyogyanya hal seperti ini tidak lagi terjadi dalam menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini.

Orang-orang yang selama ini memiliki dendam dan kecurigaan yang tinggi terhadap Islam, melihat Islam tak ubahnya sebagai singa yang siap menerkam mereka dalam setiap detik. Satu hal yang sangat kita sayangkan adalah tentang aksi peledakan bom yang terjadi di Indonesia selama tiga tahun belakangan ini, di mana penegak hukum dan keadilan di Indonesia terlalu cepat mengambil keputusan bahwa pelaku utamanya dibintangi ?aktor Islam?. Yang ingin penulis sampaikan adalah, jika benar pelaku peledakan itu kelompok yang mengatasnamakan dirinya dengan Islam, maka sewajarnya mereka mendapatkan balasan yang seimbang.

Yang patut kita catat adalah radikalisme dan tindakan terorisme tidak hanya ada dalam agama Islam, tapi ia juga bisa saja terjadi di dalam semua agama. Karena itu, penulis mengimbau seluruh rakyat Indonesia, bila kita ingin menjadi seorang penegak hukum atau keadilan yang benar-benar ingin mendapat ridha dari Allah, maka jadilah penegak hukum dan keadilan yang beriman kepada Allah. Siapa mereka? Mereka itu adalah orang-orang yang cirinya sudah diterangkan Allah melalui firman Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang apabila disebut Allah, maka hatinya bergemetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepadanya, maka bertambah imannya, sedangkan mereka itu senantiasa bertawakal kepada Tuhannya." (QS Al Anfaal: 2)

Guna menciptakan Indonesia damai yang selama ini kita nantikan, marilah kita mempelajari kembali ajaran yang disampaikan agama kita. Sebab, tidak satu pun dari agama yang ada menganjurkan pengikutnya berbuat kejahatan. Semua agama menganjurkan pengikutnya berbuat kebaikan. Akan tetapi, karena kedangkalan pemahaman kita terhadap agama yang kita anut, maka hal itu sebenarnya pemicu untuk berbuat tindakan yang nyata-nyata dilarang Allah SWT, salah satu di antaranya tindakan terorisme.

Kita berharap dengan adanya pergantian kepemimpinan di bumi pertiwi ini, kelak Indonesia mampu memberikan contoh kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi. Akhirnya lahirlah Indonesia sebagai Baldatun wa Rabbun Ghofur.

Penulis adalah mahasiswa pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

Tulisan ini penah dimuat di Harian Banjarmasin Post edisi Kamis, 14 Oktober 2004


0 Comments:

Post a Comment

<< Home