Monday, September 27, 2004

Mengaplikasikan Al-Qur’an Dalam Kehidupan

Oleh: Zamhasari Jamil

AKHIR-akhir ini di Indonesia muncul kelompok-kelompok Islam yang mengempanyekan Islam Pembebasan, Islam Pluralisme dan berbagai nama lainnya yang tetap mengatasnamakan Islam. Tak jarang, ide-ide yang diusung dan dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam ini membuat resah masyarakat. Wabil khusus masyarakat kita yang belum mampu memisahkan mana pengajaran Islam yang dibawa dari “Timur” dan pengajaran Islam yang dibawa dari “Barat.” Tak tanggung-tangggung, kelompok-kelompok yang mengusung ide-ide Islam Pembebasan, Islam Pluralisme dan sejenisnya itu langsung menohok sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam tulisan ringkas ini, penulis ingin membahas sekelumit tentang sejarah al-Qur’an dan sejarah singkatnya, yang menegaskan bahwa al-Qur’an itu adalah benar-benar kalamullah yang tiada cacat dan celanya.

Sebagaimana yang telah kita mafhumi bersama bahwa dasar utama hukum Islam adalah al-Qur’an, kumpulan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril secara bertahap lebih kurang selama 23 tahun lamanya. Kata al-Qur’an diambil dari bahasa Arab Qa-ra-a yang artinya ‘membaca.’ Nama lain dari al-Qur’an adalah ‘al-Furqan,’ juga berasal dari bahasa Arab Fa-ra-qa yang bermakna ‘pemisah atau pembeda.’ Pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang batil. Al-Mushaf, nama lain al-Qur’an juga bermakna kumpulan dari lembaran-lembaran kalamullah yang sebelum dibukukan terlebih dahulu ditulis di tulang-tulang unta, kulit-kulit unta dan pelepah-pelepah kurma. Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat agar tidak menulis ucapan-ucapannya, akan tetapi Rasulullah menganjurkan para sahabat agar menulis setiap kali turun ayat-ayat Allah kepadanya.

Ayat Allah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril adalah QS. al-‘Alaq: 1-5 ketika Nabi Muhammad SAW sedang bertahannus di gua Hira’ pada malam bulan Ramadhan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar di awal abad VII. Sebelum QS. al-‘Alaq: 1-5 ini dibacakan kepada Nabi Muhammad, terlebih dahulu malaikat Jibril meminta Muhammad untuk membaca: “Iqra’, bacalah!” Rasulullah kemudian menjawab: “Maa ana bi qaari, Aku tidak bisa membaca.” Selama ini kita sering mendengar bahwa kalimat ‘Maa ana bi qaari’ diartikan dengan ‘Aku tidak bisa membaca.’

Dalam tulisan ini penulis ingin memberikan arti lain dari kalimat ‘Maa ana bi qaari’ ini dengan makna ‘Apa yang harus aku baca?’ Mendengar jawaban ini, maka malaikat Jibril pun memeluk Muhammad dengan sekuat-kuatnya sehingga sekujur tubuhnya menggigil ketakutan. Perihal Jibril mengajukan perintah untuk membaca ini, kemudian tetap dijawab oleh Muhammad dengan jawaban seperti semula sehingga Jibril kembali memeluknya ini berulang sampai tiga kali. Setelah malaikat Jibril melepaskan pelukannya yang ketiga kalinya itu, barulah Jibril melanjutkan ayat Allah, yaitu QS. al-‘Alaq: 1-5.

Adapun cara turunnya ayat-ayat Allah kepada Nabi Muhammad SAW ini menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya ‘Al-Itqan’ ada lima cara. Pertama, malaikat Jibril membawakan wahyu ini kepada Nabi Muhammad seperti suara bel atau lonceng; kedua, malaikat Jibril membisikkan ayat Allah tersebut ke dalam hati Nabi Muhammad; ketiga, malaikat Jibril datang membawa ayat Allah tersebut kepada Muhammad dengan menyerupai bentuk manusia; keempat, Jibril datang kepada Muhammad ketika Muhammad sedang tidur; dan kelima, adanya komunikasi langsung antara Allah SWT dengan Muhammad SAW.

Penataan ayat-ayat Allah ke dalam bentuk mushaf al-Qur’an sebagaimana yang kita pegang saat ini tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Dan sebelum Rasulullah wafat, beliau pernah membacakan ayat-ayat al-Qur’an tersebut secara berurutan dimulai dari QS. al-Fatihah hingga QS. an-Naas selama dua kali Ramadhan. Dan dari sinilah yang dijadikan dasar penyusunan al-Qur’an tersebut sebagai mana yang kita pegang saat ini. Munculnya ide untuk membukukan ayat-ayat Allah tersebut adalah pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ketika itu, sejumlah para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang wafat dalam peperangan Yamamah.


Saidina Umar bin Khattab pun menyarankan agar Khalifah Abu Bakar as-Siddiq memerintahkan para Huffadz (penghafal al-Qur’an) dan sahabat-sahabat yang menyimpan tulisan ayat-ayat Allah di tulang-tulang unta, kulit-kulit unta dan pelepah-pelemah kurma tersebut untuk mengumpulkannya kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq yang selanjutnya akan dibukukan. Pada awalnya ide Umar bin Khattab ini ditentang oleh Abu Bakar as-Siddiq, namun setelah didesak oleh Umar bin Khattab, Khalifah Abu Bakar as-Siddiq pun menyetujuinya. Dan proyek penulisan ayat-ayat Allah SWT ini dipercayakan kepada sahabat Zaid bin Tsabit.

Selain itu, masih ada tujuh orang Imam pembaca al-Qur’an dimana bacaan mereka tersebut diyakini memiliki tingkat otoritas bacaan yang sangat kuat dan lagi pula bisa dijadikan sebagai bacaan standar. Dalam dalam ilmu Qira’at (ilmu membaca al-Qur’an), bacaan tujuh orang Imam ini disebut dengan al-Qira’at as-Sab’ah atau ‘tujuh jenis bacaan al-Qur’an.’

Memang benar bahwa diantara alasan yang dijadikan dasar membaca al-Qur’an dengan menggunakan tujuh qira’at tersebut berdasarkan hadits Rasullullah. (lihat Al-‘Asqalani, Fathul Bari, juz 10, Mustafa al-Baby, 159, hal 398-399). Kristina Nelson juga telah mengupas masalah qira’at ini dalam bukunya The Art of Reciting the Quran (1985). Namun tujuh jenis bacaan (qira’at) tersebut juga tidak hanya sampai disitu saja. Bukan berari kata “tujuh” itu langsung dinisbatkan kepada nama-nama ulama Qurra saja, akan tetapi tujuh orang Imam Qira’at tersebut dan tujuh huruf seperti yang ada didalam hadits Rasulullah itu hanyalah suatu kebetulan saja keduanya itu bersamaan dalam angka tujuh. Yang jelas, dengan adanya kelonggaran dalam membaca al-Qur’an dengan salah satu qira’at diantara tujuh qira’at tersebut, diharapkan semua suku dan lidah bangsa Arab dan seluruh umat Islam dapat membaca al-Qur’an dengan benar.

Dengan mengenal al-Qur’an melalui pemaparan singkat diatas, marilah kita bersama-sama menjadikan al-Quran sebagai pegangan dan pedoman dalam setiap sendi kehidupan kita. Kita tingkatkan gairah kita dalam memahami dan mendalami ilmu al-Qur’an serta kita aplikasikan perintah Iqra’ (membaca) terhadap alam berserta isinya yang tak lain tak bukan juga merupakan ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Dengan menjadi masyarakat yang Qur’ani, kiranya negeri yang baik, aman dan sentosa yang kita dambakan selama ini dapat segera kita rasakan. Insya Allah. ***

Zamhasari Jamil, Mahasiswa asal Riau pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

Tulisan ini pernah dimuat di website resmi PPI India [
www.ppi-india.uni.cc ] edisi 26 September 2004.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home