Monday, September 20, 2004

Isra’ Mi’raj: Antara Wahyu dan Akal

Oleh: Zamhasari Jamil

MEMAHAMI Islam adalah penting, dan apabila kita salah dan keliru dalam memahaminya, maka resiko yang akan muncul sangat besar. Ia tidak hanya merusakkan citra dan kualitas keislaman diri kita sebagai seorang Muslim, akan tetapi yang lebih parahnya lagi adalah bisa ‘menggugurkan’ identitas kita selaku Muslim, sehingga tidak jarang berakibat kepada murtad atau kekufuran. Semua ini berpunca dari tindakan kita yang salah dalam memahami Islam itu sendiri.

Pemahaman terhadap wahyu dan akal

Wahyu dapat dipahami sebagai firman atau kalamullah yang sudah pasti datang dan bersumber dari Allah SWT. Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam semesta termasuk didalamnya manusia. Sedangkan akal (bahasa Arab: ‘Aqala, dan Isim mashdarnya ‘Aqlun) yang artinya adalah ‘daya pikir’ atau kekuatan berpikir (dalam memahami sesuatu) yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai makhluk yang lemah. Dari penjelasan singkat diatas dapat kita ambil suatu kesimpulan yang bisa kita pahami bahwa wahyu adalah milik Allah SWT, sedangkan akal adalah kepunyaan manusia yang senantiasa memerlukan bimbingan wahyu. Akal dan wahyu tidak boleh dipisahkan, sebab wahyu juga merupakan sumber dan landasan syariat Islam, sementara akal berfungsi sebagai alat untuk memahami syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT tersebut.

Pemisahan antara akal dan wahyu akan berakhir pada pengingkaran terhadap wahyu itu sendiri, dan yang lebih tragisnya lagi akan berakibat pada pengingkaran terhadap Islam. Sehingga tidaklah mengherankan tatkala akal telah mengalahkan wahyu, maka lahirlah kelompok-kelompok yang mempertuhankan akal, karena dasar mereka dalam menggunakan akal hanyalah sebatas percobaan dan logika (experiment and logical). Kelompok orang-orang yang hanya menggunakan akal semata dengan mengenyampingkan wahyu disebut sebagai kelompok ‘Aqlaniyyah. Kelompok ‘Aqlaniyyah telah ada semenjak zaman Nabi Muhammad SAW yang dipimpin oleh Abu Jahal dan kawan-kawannya. Dan kelompok ‘Aqlaniyyah ini juga telah banyak melahirkan para sarjana dan tokoh yang terus akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman pula, dan mereka senantiasa siap merubah cara pandang orang-orang Islam dari ‘dalam’, maksudnya, berapa banyak orang yang tidak memiliki pondasi yang kokoh terhadap keislamannya, banyak yang menjadi murtad dikarenakan ulah kelompok ‘Aqlaniyyah ini.

Dakwah kelompok ‘Aqlaniyyah ini memiliki dampak yang sangat besar sekali bagi umat Islam, terlebih lagi bagi mereka yang minim pengetahuan terhadap keislaman serta ditambah lagi dengan kekurangan atau minim dari segi ekonomi, karena itu, Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa: “Kefakiran bisa membawa seseorang kepada kekufuran”. Pada awalnya kelompok yang seperti ini hanya mengajak seseorang untuk menerima dan mengamalkan ajaran Islam berdasarkan apa yang menurut akal bisa diterima, kemudian kelompok yang seperti ini juga mengarahkan seorang Muslim kepada penyelesaian terhadap suatu permasalahan yang ada dalam agama Islam sesuai dengan batas kemampuan kita dan bisa diterima oleh akal tanpa terlebih dahulu melihat wahyu. Kelompok ‘Aqlaniyyah telah mendorong munculnya kemusnahan yang berkepanjangan dipermukaan bumi ini. Sebab, kemampuan akal yang terbatas ini tidak akan mampu menghadapi persoalan umat manusia ini tanpa bimbingan dari wahyu. Persoalan yang dihadapi oleh banyak manusia ini tidak akan mampu untuk diatasi bila kita hanya memfokuskan diri pada pengunaan akal semata dengan
menafikan keberadaan wahyu.

Isra’Mi’raj dengan balantika sejarahnya

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan fenomena yang telah mengundang kontroversial bagi semua orang sampai pada zaman dewasa ini, termasuk umat Islam. Kontroversi tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu tidak akan muncul jika kita mau memahaminya dengan akal yang sehat serta dibarengi dengan wahyu Allah SWT sebagai pembimbingnya. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 dari kerasulan Nabi Muhammad SAW. Peristiwa agung dan menakjubkan itu telah terekam dalam al-Quran sebagaimana Allah SWT berfirman: “Maha Suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil-Haraam (di Mekah) ke Masjidil-Aqsa (di Palestina), yang Kami berkati sekelilingnya untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Israa’: 1).

Disinilah akan muncul “perang intelektual” antara orang-orang yang hanya berpedoman kepada akal saja (‘Aqlaniyyah) dengan orang-orang yang memahami ayat al-Quran tersebut dengan akal serta dituntun oleh wahyu (Qur’aniyyah). Keimanan kaum Muslimin terhadap keabhsahan peristiwa Isra’dan Mi’raj pada saat itu hingga kaum Muslimin pada zaman dewasa ini terus diuji, terlebih lagi menyinggung perkara perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Sidratul Muntaha dilangit ketujuh. Pertanyaan yang selalu menggelinding pada setiap benak kita adalah, apakah Isra’ dan Mi’raj tersebut dilakukan beliau hanya dengan ruhnya saja; atau beserta dengan jasadnya?

Kelompok ‘Aqlaniyyah telah menguji kebenaran peristiwa tersebut yang diawali langsung oleh Abu Jahal dan kaum kuffar jahiliyah yang lain. Abu Jahal menyuruh Nabi untuk mengangkat kedua-dua belah kakinya, namun Nabi tidak melakukannya sebagimana yang disuruh oleh Abu Jahal. Hal ini telah memperkuat keyakinan mereka untuk terus mengingkari kebenaran ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah selama-lamanya. Bagaimana mungkin mereka bisa percaya terhadap peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sedangkan Rasul tidak mampu untuk mengangkat kedua-dua belah kakinya. Akhirnya, karena Abu Jahal memahami peristiwa tersebut hanya bersandar pada kemampuan logikanya, maka Abu Jahal dan kaum kuffar jahiliyyah yang sependapat dengannya mengklaim bahwa Nabi telah melakukan pembohongan terhadap masyarakat karena bagi mereka peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi sudah diluar batas kemampuan logika.

Hingga hari ini, dalam menghadapi peristiwa Isra’ dan mi’raj, semua pihak lebih-lebih bagi mereka yang merasa memiliki tingkat kemampuan intelektual yang tinggi merasa terpanggil untuk mengkaji secara lebih jauh lagi akan “bentuk” Isra’ dan mi’raj ini, sehingga mendapatkan suatu jabawan konkrit yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Namun, saya hanya berpesan bahwa selagi Anda wahai para pengkaji dan penelaah peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini hanya berbekal akal saja, atau masuk kedalam kelompok ‘Aqlaniyyah, maka apa yang diusahakan itu akan menemui kegagalan semata. Jangan pula menutup mata terhadap keberadaan wahyu, terlebih lagi berburuk sangka terhadap wahyu Allah, karena daya intelektual dan kemampuan kita dalam berpikir memang sangat terbatas dalam menangani permasalahan yang timbul ditengah masyarakat kita.

Keimanan kita sebagai Muslim benar-benar dituntut terhadap kebenaran peristiwa ini, karena memang peristiwa tersebut sangat berat untuk diterima oleh akal manusia, akan tetapi kebenaran terhadap peristiwa tersebut hanya dapat ditafsirkan melalui keimanan yang teguh. Peristiwa yang telah memberikan keistimewaan tersendiri bagi bulan Rajab yang kemudian kita kenal sebagai Sahr Allah (Bulan Allah) tersebut merupakan satu perjalanan Ilahiyah (perjalanan yang didasari pada kemauan dan kehendak Allah SWT) dalam sejarah peradaban manusia yang menjadi mukjizat dan lambang kebesaran dan kemuliaan Rasulullah SAW dan hal serupa tidak akan pernah terjadi lagi setelah Rasullah SAW.

Bentuk memahami Isra’ dan Mi’raj yang bersandarkan kepada akal, yang kemudian dituntun oleh wahyu (kelompok Quraniyyah) adalah seperti apa yang telah dicontohkan oleh Abu Bakar as-Shiddiq. Abu Bakar tetap memiliki keutuhan keyakinan meskipun peristiwa tersebut terjadi diluar batas logika manusia. Hal yang semacam ini bisa terjadi karena Abu Bakar tetap berpegang teguh kepada wahyu Allah SWT. Sebenarnya, jika kita mau menilik ayat tersebut dengan membuka mata, membuka hati dan membuka pikiran dan perasaan, maka adalah mudah untuk meyakini kebenaran peristiwa tersebut. Pada awal ayat (QS. al-Israa: 1), Allah SWT telah mengawali dengan kalimat pujian yang indah terhadap kesucian diri-Nya. Tidak tanggung-tanggung, sehingga kalimat pujian yang digunakan oleh Allah SWT adalah kalimat ‘Subhaana’ (bahasa arab) artinya “Maha Suci (Allah)”. Sebenarnya masih banyak kata pujian yang bisa digunakan, namun kalimat ‘Subhaana’ ini telah menunjukkan bahwa Dzat yang akan memjalankan hamba-Nya di waktu malam tersebut adalah ‘Dzat yang Maha Suci’. Maka ‘Perjalanan Suci’ atau perjalanan Ilahiyah ini akan diberikan kepada jiwa yang suci pula. Beliaulah baginda Rasulullah SAW.

Seterusnya ayat tersebut dilanjutkan dengan kalimat ‘Asraa’ (bahasa Arab) yang artinya ‘men-jalan-kan’. Namun yang penting untuk kita ketahui juga bahwa sebenarnya masih banyak padanan kata didalam bahasa Arab yang dapat dan boleh digunakan untuk memperoleh makna ‘memper-jalan-kan’ ini seperti kalimat ‘Adzhaba’ atau kalimat ‘Asfara’ , akan tetapi kedua kalimat tersebut (kalimat ‘Adzhaba’ atau kalimat ‘Asfara’) tidaklah menunjukkan makna suatu ‘perjalanan jauh’ sebagaimana yang diinginkan oleh Allah SWT. Nah, setelah kita memahami ayat ini dan mau mengakui bahwa ayat ini adalah benar wahyu Allah SWT, maka selanjutnya barulah kita lihat makna kalimat ‘Asraa’ yang artinya ‘men-jalan-kan’ itu tadi. Kata ‘men-jalan-kan’ membuktikan bahwa dalam peristiwa tersebut ada yang sifatnya ‘aktif’ dan ada yang bersifat ‘pasif’. Dalam peristiwa ini Allah SWT bersifat aktif, sedangkan Rasulullah saw. bersifat pasif. Sehingga, ketika Allah SWT bersifat aktif, maka apapun yang diinginkan dan dikehendaki oleh Allah SWT termasuk dalam perkara ‘men-jalan-kan’ hamba-Nya (Muhammad SAW) secara ruh dan jasad, itu semua bisa saja terjadi atas izin-Nya, dan kita tidak perlu lagi untuk mengingkarinya. Sedangkan Rasulullah sendiri yang sifatnya pasif tidak pernah berencana untuk melakukan Isra’ dan Mi’raj tersebut. Allah SWT yang punya kehendak. Kalau Allah SWT yang punya kehendak, maka tidak ada yang mustahil di sisi-Nya. Dan hikmah dari peristiwa Isra' Mi'raj ini tidak akan pernah berakhir selagi kita mau mengkajinya dan menelaahnya, namun yang terpenting untuk kita ingat adalah jangan tinggalkan wahyu.

Sebagaimana yang lazimnya diketahui banyak orang bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan perjalanan horizontal dari masjidil Haraam di Mekkah sampai ke masjidil Aqsha di Palestina, perkara perjalanan vertikal Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha dilangit ketujuh disebut sebagai perjalanan yang sifatnya spiritual. Disini jelaslah sudah bahwa Rasulullah SAW dalam ber-Isra’ dan Mi’raj memang benar-benar dijalankan Allah SWT bersamaan dengan jasadnya. Dan yang dimaksud dengan ‘spiritual’ adalah sisi esensial manusia yang hanya bisa tumbuh menjadi dewasa lewat perilaku yang bersifat eksistensial. Beda halnya dengan pikiran, imajinasi atau hayalan yang bisa mengembara ke mana saja tanpa jasad. Oleh karena itu, dalamnya lautan hikmah yang terkandung didalam luasnya makna dibalik peristiwa yang bersejarah itu menuntut kita untuk selalu berpikir, sungguhpun demikian, ada pesan utama yang tidak boleh untuk diabaikan, itulah ibadah sholat. Dan ini pulalah pesan utama dan sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan mengapa Rasulullah di panggil oleh Allah SWT untuk ber-Isra' dan Mi'raj kehadapan-Nya.

Adalah sia-sia jika kita umat Islam mengadakan peringatan Isra' dan Mi'raj setiap tahunnya, kita bahas peristiwa Isra' dan Mi'raj tersebut baik dari sisi rasionalitas atau dari sisi spritualitas, jika, ibadah sholat kita tidak menunjukkan kepada peningkatan kualitas. Ibadah sholat merupakan bentuk atau respon “kehangatan” hubungan kita dengan Allah SWT. Dan sempurnya dzikir seorang Muslim terhadap pencipta-Nya dapat terlihat dari ibadah sholatnya. Dengan memperingati peristiwa agung Isra' dan Mi'raj pada tahun ini, mari kita kembangnya daya pikir kita, kita tingkatkan daya keintelektualitasan kita dalam memahami suatu kasus peristiwa, terutama dalam menghadapi cabaran globalisasi masa kini. Namun yang lebih penting kita tingkatkan mutu dan kualitas sholat kita. Hanya dalam ibadah sholat kita dapat berinteraksi dan berdialog dengan Tuhan, Dialah Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta termasuk diri kita yang sangat lemah dan tiada berdaya. Wallahua’lam.

Penulis adalah mahasiswa asal Riau pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

1 Comments:

Blogger Jafar G Bua said...

hi, jamil.
thanks for articles about isra mi'raj. it's very good.

ur article was taked to http://jgbua-palu.blogdrive.com

salam hangat dan hormat selalu
jafar g bua
palu, central sulawesi, indonesia

6:03 AM  

Post a Comment

<< Home