Sunday, August 29, 2004

Islam: Mau Dibawa Kemana?

Oleh: Zamhasari Jamil

JIKA kita mengingat-ingat kembali ketika kita masih duduk dibangku Madrasah Tsanawiyah atau SLTP, bahwa guru agama (Islam) kita pernah mengajarkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M, meskipun ada yang berpendapat bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Walau bagaimanapun, yang jelas, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para saudagar/pedagang Gujarat, India. Karena itu, sebelum saya meneruskan tulisan ini, ada baiknya kita melirik sejenak tentang pekembangan Islam di India itu sendiri.

Sejarah telah mencatat bahwa kebudayaan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab ke India memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di India. Dan pengaruh dari kebudaayaan Islam ini telah tercermin dalam segala aspek kehidupan masyarakat Muslim India semenjak awal kedatangan Islam di negeri sub kontinen itu. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Islam yang semakin hari semakin meningkat seiring dengan perputaran waktu dari masa ke masa. Di India, kita akan melihat masyarakat Muslim yang benar-benar menikmati kehidupan yang sangat sementara ini dengan penuh gairah dan semangat yang tinggi. Sehingga tidaklah mengherankan jika kita banyak menjumpai masyarakat dengan identitas Muslim, baik itu orang tua, remaja bahkan anak-anak yang benar-benar menjalani kehidupan ini secara Islami. Kehidupan yang Islami ini tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari-hari.

Di kampus, dalam mengisi waktu-waktu kosong, penulis sering mengadakan diskusi kecil-kecilan bersama teman-teman Muslim lainnya, apa sebenarnya yang membuat masyarakat Muslim India ini begitu menikmati dengan Islamnya. Mereka sering manjawab bahwa, kalau bukan orang Islam sendiri yang menjaga Islam itu, apakah mungkin orang non-Muslim di India ini yang akan menjaga Islam tersebut. Karena itu, kata mereka, beruntunglah anda hidup di negeri yang mayoritas umatnya adalah Islam. Meskipun umat Islam di India secara kuantitas boleh dikatakan seimbang dengan jumlah umat Islam di Indonesia, namun jumlah masyarakat Muslim di India ini masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang beragama Hindu, yang merupakan pengikut agama terbesar di India.

Dari hasil pengamatan penulis selama empat tahun tinggal di Pekanbaru, dan satu tahun berada di Jakarta, bahwa yang sering melakukan tindakan-tindakan kriminal itu adalah orang Islam sendiri, baik itu pencurian, perampokan, pemerasan dan pemerkosaan. Padahal dalam agama Islam tidak ada bahkan tidak akan pernah ada satu ayat dalam al-Qur'an dan satu hadist dan sekian ribu hadist Nabi Muhammad saw yang mengajarkan dan menganjurkan untuk berbuat demikian. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi di Indonesia, bukankah Indonesia itu merupakan negara yang mayoritas umatnya beragama Islam? Bukankah dengan jumlah yang begitu besar, kesepatan dan peluang untuk menerapkan kehidupan yang Islami itu jauh lebih besar dan lebih terbuka?

Faktor perkembangan agama Islam di India

Salah-satu faktor yang ikut memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan Islam di India adalah adanya kesadaran kolektif masyarakat Muslim untuk meningkatkan citra kehidupan masyarakat Muslim itu sendiri dalam segala bidang. Bahkan para pemikir ulung di India ini juga sudah melihat adanya perkembangan yang begitu cepat dalam Islam itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari adanya perkembangan baik dari segi budaya, kehidupan sosial bermasyarakat, ekonomi dan politik.

Selain itu dalam Islam juga tidak mengenal adanya sesembahan khusus dengan prediket yang paling tinggi, seperti dewa Brahma dalam agama Hindu (Albaas el-Islami Magazine, Vol. 48 No. 8 Juli 2003). Dan Islam hanya mengenal satu tuhan saja yaitu Allah swt., maka Muslim apapun dia, dari golongan Islam mana saja, dan dari kelas, gelar atau jabatan apapun yang disandangnya, tetap menyembah tuhan yang sama yaitu Allah swt. Karena itu masyarakat Muslim India menganggap bahwa semua umat yang beragama Islam adalah bersaudara. Dengan demikian, manakala kita datang ke India dengan membawa nama Indonesia, maka respek mereka cukup tinggi sekali. Dan secara umum masyarakat India juga memiliki concern yang cukup tinggi terhadap kesejahteraan para pendatang di negeri ‘Ghandi’ itu. Dan faktor itu jualah yang menyebabkan India termasuk kedalam salah-satu negara yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai negara.

Yang patut kita ketahui juga bahwa orang-orang non-Muslim di India juga memiliki sikap toleransi yang cukup tinggi, dan sikap toleransi ini juga hanya dimiliki oleh mereka yang memang telah mengetahui Islam itu secara benar. Melalui sikap toleransi ini pula, maka perselisihan antar suku, golongan atau agama dapat dihindari, terlebih lagi menghindari prasangka buruk yang ada dibenak orang-orang yang non- Muslim, khususnya bagi mereka yang beragama Hindu.

Islam menyebar di India sejak dibawa oleh Muhammad bin Qasim as-Tsaqfi dibagian Selatan India pada tahun 92 H. (711 M.). Dan penyebaran Islam semakin meluas dibawah kesultanan Mahmud al-Ghaznawi. Penyebaran Islam semakin berkembang dengan pesat karena didukung oleh sifat keberanian Sultan-sultan Delhi, dan diantara Sultan tersebut adalah Sultan Fairuz Shah (752-790 H/351-1388 M). Diantara faktor lain yang juga sangat mempengaruhi perkembangan Islam di India adalah setelah Shah Rukh as-Shairazi mengadakan penyebaran Islam di Kalikut (tahun 1441 M). Dan yang lebih istimewanya lagi, pada masa sultan Shah Rukh as-Shairazi ini penduduknya terkenal dengan ketaqwaaannya, sikap wara' dan senang untuk berbuat kebaikan. Inilah yang membuat orang-orang semakin banyak yang mendapat hidayah untuk menerima Islam.

Sejauh ini, setelah dua tahun penulis berada di India, khususnya di New Delhi, belum ada tindakan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Hal ini bisa saja terjadi, sebab pemerintah India, pemerintah paling demokrasi di dunia (Albaas el-Islami Magazine, Vol. 48 No. 8 Juli 2003) tidak penah membiarkan penduduknya untuk menjadi seorang penganggur. Sebab dengan tingginya tingkat pengangguran, maka kesempatan untuk melakukan tindakan kriminal tersebut jauh lebih terbuka lebar. Itulah sebabnya di India kita tidak akan menemukan para pemuda Muslim yang duduk-duduk santai di sekitar terminal, stasiun kereta api bahkan di airport (bandara). Sebab bagi mereka kegiatan duduk santai tersebut merupakan tindakan dan aktivitas yang memalukan.

Faktor lain juga yang sangat mendukung perkembangan Islam di India adalah bahwa umat Islam India tidak mengenal adanya kasta-kasta pemisah, sebagaimana yang terjadi dalam agama mayoritas di India yaitu agama Hindu. Meskipun didalam masyarakat Muslim India kita menjumpai masyarakat yang bergelar Sayyid, Khan, Faruqi, Ansari dll. Akan tetapi gelar-gelar tersebut tidaklah menyebabkan renggangnya hubungan mereka sesama Muslim. Dan di India ini juga, hubungan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah boleh dikatakan cukup harmonis. Hal ini dapat penulis rasakan sendiri dimana pemilik rumah yang muslim Syi'ah yaitu tempat penulis sekarang berada cukup simpati sekali, begitu juga ketika penulis mengadakan kunjungan ke Lucknow (Uttar Paradesh), sebuah state atau provinsi dimana disana itu merupakan basis umat Islam Syi'ah, lihat: Philip W. Goetz (Editor in Chief), The New Encyclopaedia Britannica, Vol. 22, Chicago (1768).

Berbeda dengan Indonesia, kita bahkan sering bertanya kepada saudara Muslim kita, apakah ia Muslim NU atau Muslim Muhammadiyah, walaupun secara zhahir pertanyaan tersebut kelihatan sangat sederhana, akan tetapi secara psikologis dampaknya cukup besar, sehingga pada tahun-tahun belakangan ini sering terjadi perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan satu Syawal. Tapi kita tidak pernah berbeda pendapat dalam menentukan bulan-bulan Hijriyah yang lain. Karena itu, jika perbedaan selama ini hanyalah dikarenakan untuk menjaga kegengsian antar organisasi, maka seyogyanya hal-hal yang seperti ini tidak lagi terjadi pada tahun-tahun mendatang.

Posisi Islam saat ini

Posisi agama Islam sekarang dimata orang-orang yang selama ini sudah memiliki dendam dan kecurigaan yang tinggi tehadap Islam, mereka itu melihat Islam tak ubahnya sebagai singa yang selalu siap menerkam mereka dalam setiap detik waktu. Karena itu, peristiwa peledakan atau aksi terorisme yang terjadi di seantaro dunia ini pasti didalangi oleh umat Islam. Hal ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Allah swt melalui firmannya: “Tidak akan pernah ridha/suka orang-orang Yahudi dan Nashrani itu kepada engkau, kecuali kalau engkau mau mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120).

Satu hal yang sangat kita sayangkan adalah tentang aksi peledakan bom yang terjadi di JW Marriott Hotel tanggal 5 Agustus yang lalu, dimana para penegak hukum dan penegak keadilan di Indonesaia terlalu cepat untuk mengambil keputusan bahwa pelaku utama peledakan tersebut juga “dibintangi oleh aktor-aktor Islam”. Tuduhan yang seperti ini bisa terjadi karena melihat dan didasari bahwa jenis bahan peledak dan bentuk peledakan yang terjadi di Marriott Hotel tesebut adalah mirip dengan peledakan yang terjadi di Bali, maka secara otomatis bahwa pelakunya juga sama. Yang ingin saya sampaikan adalah, jika benar bahwa pelaku peledakan tersebut adalah benar-benar dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya dengan Islam, maka sudah sewajarnya mereka mendapatkan balasan yang seimbang.

Namun, jika yang melakukan peledakan tersebut adalah orang-orang yang berada di luar kelompok Islam, maka secara tidak langsung para penegak hukum dan penegak keadilan di Indonesia juga sudah melakukan terror terhadap rakyatnya yang sebenarnya tidak tahu-menahu dengan aksi peledakan tersebut. Jika demikian adanya, maka Islam, yang dikenal dengan agama yang penuh dengan kedamaian, mau dibawa kemana lagi oleh kita yang telah mengikrarkan diri sebagai umat Islam ini? Dan yang patut kita catat adalah bahwa radikalisme dan tindakan terorisme tidak hanya ada dalam agama Islam, tapi ia juga bisa saja terjadi didalam semua agama. Karena itu, saya ingin menghimbau seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Riau khususnya, jika kita ingin menjadi seorang penegak hukum, atau penegak keadilan yang benar-benar ingin mendapat ridha dari Allah swt, maka jadilah penegak hukum dan penegak keadilan yang beriman kepada Allah swt. Siapa mereka? Mereka itu adalah orang-orang yang ciri-ciri sudah diterangkan oleh Allah swt melalui firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang apabila disebut Allah, maka hatinya bergemetar, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepadanya, maka bertambah imannya, sedangkan mereka itu senantiasa bertawakkal kepada tuhannya.” (QS. Al Anfaal: 2)

Hal lain, jika sekiranya pelaku peledakan atau aksi terorisme tersebut adalah benar orang-orang di luar kelompok Islam, akan tetapi tuduhan telah dilemparkan kepada kelompok Islam, maka hal yang seperti ini bisa menyuburkan “anak pinak” terorisme itu sendiri, sebab pelaku yang sebenarnya telah “selamat” dari cengkaram maut yang pada awalnya sudah mereka sadari. Maka selanjutnya yang timbul pada diri pelaku yang sebenarnya adalah terus merancang dan merancang tempat, daerah dan wilayah mana lagi yang siap untuk dijadikan mangsa selanjutnya. Sebab tindakan terorisme ini bisa saja terjadi baik ketika kita berada di dalam Istana, di kantor, di rumah maupun di rumah ibadah.

Untuk itu, guna menciptakan suasana yang damai yang selama ini sudah lama kita nanti-nantikan, cobalah untuk tidak memaksakan suatu agama kepada orang yang sudah beragama. Selanjutnya, kepada seluruh pemeluk agama-agama, silakan mempelajari kembali ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh agamanya, sebab tidak satupun dari agama-agama yang ada menganjurkan pengikutnya untuk berbuat kejahatan, semuanya pasti menganjurkan pengikutnya untuk berbuat kebaikan. Akan tetapi, karena kedangkalan pemahan kita terhadap agama yang kita anut, maka hal itulah sebenarnya pemicu untuk berbuat tindakan yang nyata-nyata sudah dilarang oleh Allah swt., salah-satu diantaranya tindakan terorisme. Dan ingatlah bahwa hanya di dunia inilah kita bisa berinteraksi antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya, sebab di akhirat kelak kita sudah tidak mungkin untuk bersua dan bersama lagi, dan tamankanlah dalam setiap diri pribadi kita bahwa “Dengan agama kita menjadi banyak, namun sebagai manusia kita adalah satu.” Wallahu A’lamu Bishshawaab.


Zamhasari Jamil, Mahasiswa Program S1 pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home