Tuesday, July 13, 2004

Presiden: Antara Pemimpin dan Penyanyi

Oleh: Zamhasari Jamil

Dalam salah satu kaidah Ushulul Fiqh itu ada disebutkan begini: "Idza ta'aaradhaani mafsadataani ru'iya a'zhamahuma dhiraaran bi-irtikaabi akhaffihimaa." Artinya: "Apabila bertemu dua kerusakan (baca: sesuatu yang membuat salah satunya rusak), maka dahulukanlah (untuk mengerjakan, untuk memilih) yang mudharatnya lebih kecil atau lebih ringan." Dan Albert Einstein, sebagaimana disebut oleh Stephen Hawking didalam bukunya `A Brief History of Time' menyatakan bahwa "Equations are more important to me, because politics is for the present, but an equation is something for eternity."

Ahad malam (4/7) pekan lalu, penulis sempat menonton sebuah acara yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta tanah air yang menampilkan para kandidat presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) pada besok harinya (Senin, 5/7) dalam Pilpres yang sudah sama-sama kita lalui pada pekan lalu itu. Pada malam tersebut, masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden juga menyatakan sikapnya bila pada Pilpres tersebut pada kenyataannya pasangan mereka belum beruntung untuk menduduki kursi di Istana presiden dan wakil presiden.

Setiap capres dan cawapres yang hadir kala itu menyebutkan bagaimana nantinya sikap mereka bila memang pasangan mereka tidak terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden republik Indonesia pada Pilpres tahun 2004 ini. Capres Amien Rais, misalnya, ia mengatakan bahwa ia akan kembali berkonsentrasi didalam dunia pendidikan. Bila kata-katanya ini benar-benar direalisasikannya, maka alangkah bijaknya seoarang Amien Rais, seorang ilmuan dan intelektual yang cukup terpandang di negeri ini. Berbeda dengan cawapres (maaf, kalau saya tak salah) Jusuf Kalla yang menyebutkan bahwa ia akan lebih memilih `pulang kampung' saja bila memang pasangannya tidak terpilih dalam Pilpres tersebut. Jawaban ini serempak membuat hadirin tertawa panjang.

Yang tak kalah menariknya, malam itu, masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden juga diminta untuk membawakan lagu kesayangannya. Sayapun ikut terpesona tatkala cawapres Solahuddin Wahid mengalunkan lagunya dimana saya juga melihat bahwa capres Amien Rais juga turut menikmati lagu yang dibawakan oleh Solahuddin Wahid tersebut. Para isteri capres dan cawapres yang berhadir di malam itu turut pula membuat liukan-liukan kecil mengikuti irama lagu yang dibawakan oleh Solahuddin Wahid, cawapres dari partai Golkar tersebut. Sungguh indah benar suasana di malam itu.

Sampai saat ini, nuansa Pilpres tersebut masih terasa, apalagi masing-masing kita masih dalam penantian, siapakah diantara capres dan cawapres yang ada tersebut yang pada akhirnya berhak untuk duduk di singgana kursi RI 1 dan RI 2 itu nantinya. Atau, pasangan siapa sajakah yang berhak untuk melaju ke Pilpres putaran kedua pada bulan September mendatang? Yang jelas, mereka para capres dan cawapres yang belum berkesempatan untuk menduduki kursi RI 1 dan kursi RI 2 ataumelaju ke Pilpres putaran kedua itu nantinya, pantaslah disebut putra-putri terbaik bangsa ini. Bagaimana tidak, mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Indonesia untuk maju bersaing dalam Pilpres tahun 2004 ini. Adapun hasilnya, itu semua sudah menjadi suratan dari Yang Maha Esa.

Itulah sebabnya, penulis memandang optimis bahwa siapapun yang terpilih menjadi presiden republik ini akan bisa membawa bahtera besar yang bernama Indonesia ini menuju Indonesia yang lebih maju lagi asalkan saja presiden dan wakil presiden yang terpilih tersebut nantinya benar-benar memegang janji yang sudah ia ucapkan dan juga siap untuk menjalankan semua program kerja yang sudah mereka buat. Begitu pula dengan capres dan cawapres yang belum beruntung, sudah seyogyanya pula turut memberikan dukungannya kepada pasangan terpilih, dengan demikian Indonesia akan memulai hidup baru dalamsejarah kepemimpinan di Indonesia. Akan tetapi, kalau program kerja-program kerja itu hanya sebatas tulisan saja, serta capres dan cawapres yang belum bernasib baik tidak memberikan dukungannya, alamat kapal …. , alamat kapal Indonesia ini akan tenggelam. Aduhai, akan tenggelam.

Kita sebagai rakyat Indonesia harus siap menerima siapapun pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pilpres 5 Juli lalu serta masuk kedalam Pilpres putaran kedua mendatang, meskipun pasangan capres dan cawapres yang kita andalkan saat ini, misalnya, pada kenyataannya kurang bernasib baik. Tak ada gunanya kita menangis ataupun memilih jalur golongan putih (golput) saja pada Pilpresputaran kedua nanti. Apalagi sampai terjadi perselisihan dan persengketaan hanya dikarenakan capres dan cawapres pilihan yang kita jagokan dinyatakan kalah dengan capres dan cawapres pilihan yang diandalkan oleh teman dan sahabat kita dinyatakan memang. Bila hal yang semacam ini sempat terjadi, alangkah sempitnya cara pandang dan ruang berfikir masyarakat Indonesia yang seperti itu. Karena itu, dari pada surat suara kita disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan, maka alangkah baiknya bila kita bersedia meluangkan waktu lima menit saja untuk memilih pasangan capres dan cawapres pada Pilpres putaran kedua pada bulan September mendatang.

Guna memantapkan hati kita terhadap pasangan capres dan cawapres yang akan bersaing pada Pipres putaran kedua itu nanti, meskipun secara kasat mata bahwa tak satupun capres dan cawapres yang ada itu dinilai "bersih", maka kita sebagai putra-putri dan anak bangsa Indonesia sudah sepatutnya pula untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang sedikit lebih bersih dan memiliki dampak mudharat yang lebih ringan dari pasangan capres dan cawapres yang ada. Maka disinilah perlunya kita itu memberikan hak suara kita dalam Pilpres September mendatang. Walau barangkali kita merasa kecewa, akan tetapi Ushul Fiqh sendiri menyarankan agar kita mengutamakan untuk memilih pasangan yang mudharatnya lebih kecil atau lebih ringan.

Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya bila kita merenungkan sejenak kata-kata yang diucapkan oleh Einstein seperti yang telah penulis kutip diawal tulisan ini, dimana menurut Einsteins bahwa "Equations are more important to me, because politics is for the present, but an equation is something for eternity." Segala kesetaraan itu memang sangat perlu bagiku, karena memang politik itu hanya berlaku pada saat itu saja, sementara kesetaraan itu sendiri merupakan sesuatu yang abadi (baca: menjadi dambaan dan idaman setiap masyarakat berbangsa dan bernegara.) Dengan semangat kebersamaan dan persaudaraan, mari kita bangun Indonesia yang lebih maju, lebih bermartabat dan lebih terhormat. ***

Zamhasari Jamil, Sekretaris Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India; Mahasiswa di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home