Saturday, July 10, 2004

Meluruskan Stigma Islam Fundamentalis*

Oleh: Zamhasari Jamil

AKHIR-akhir ini sudah tak asing lagi di telinga kita bahwa kini di dunia Islam berkembang pemikiran-pemikiran seperti transcendent unity of religions, theology of liberation, religious pluralism, global ethic dan lain sebagainya, dan Islam sendiri pada akhirnya juga telah distigmanisasikan atau dilabeli dalam beberapa bagian ataupun kelompok.

Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin memfokuskan diri pada Islam yang dilabeli dengan istilah Islam fundamentalis saja. Hal ini penulis lakukan agar semua kita memahami secara tepat tentang apa yang dimaksud dengan Islam fundamentalis itu sendiri. Dan sebelum kita melangkah lebih jauh, penulis hendak mengajak pembaca semua untuk memahami arti fundamentalime dan asal-muasal fundamentalisme dalam hubungannya dengan agama Islam.

Fundamentalisme adalah suatu bentuk aliran yang disandarkan pada prinsip-prinsip dasar suatu ajaran agama atau aliran keyakinan melalui penafsiran terhadap kitab suci agama tersebut secara rigid dan literalis. Dan penggunaan kata fundamentalis ini pada dasarnya hanyalah dimunculkan dan kemudian dikembangkan oleh para teolog Kristen yang cukup berpengaruh di Amerika Serikat pada abad ke-19. Mulai dari tahun 1909 hingga tahun 1915 para teolog ini juga mempublikasikan sejumlah selebaran yang diberi nama: "The Fundamentals: Testimony to the Truth."

Didalam selebaran itulah mereka menyatakan bahwa apa yang mereka tuliskan itu semua merupakan keyakinan mereka yang benar-benar bersumber dari Bible (baca: Alkitab). Dan pada tahun 1920-an, kepada mereka yang mendukung usaha yang dilancarkan oleh para teolog ini untuk mengembalikan umat Kristiani kedalam ajaran agama Kristen yang sebenarnya pada akhirnya disebut sebagai seorang 'fundamentalis.' Dan istilah fundamentalisme dalam Islam baru mulai merebak ke permukaan pada seperempat terakhir abad ke-20. Untuk itu, istilah Islam fundamentalisme ini sebenarnya bukanlah berasal dari perbendaharaan kata dalam Islam. Dan yang sangat kita sesalkan adalah bahwa penggunaan istilah Islam fundamentalisme ini dijadikan sebagai kamera untuk memotret atau merekam aktivitas dan realitas yang diperlihatkan oleh sebagian masyarakat Islam saat ini.

Meskipun kita telah mengetahui bahwa penggunaan kata fundamentalisme ini sebenarnya berasal dari perbendaharaan kata didalam literatur agama Kristen dan kemudian istilah fundamentalisme ini juga semakin 'familiar' didalam agama Islam, akan tetapi di kalangan para sarjana agama baik sarjana Kristen ataupun Islam sendiri masih berbeda pendapat mengenai stigmanisasi atau pelabelan fundamenatalisme ini terhadap suatu ajaran agama tertentu. Dalam menyikapi kaum fundamenatalis ini, sebagian orang menyikapinya melalui beberapa cara dan pendekatan. Mereka yang menyikapinya secara antagonistik akan melihat kaum fundamentalis ini sebagai ancaman yang akan menghambat keberlangsungan kehidupan beragama.

Sebagai mana yang penulis janjikan di muka tadi, bahwa penulis hanya ingin membatasi pada Islam fundamentalis saja, maka dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa Islam fundamentalis ini akan ditemukan dalam dua bentuk pergerakan yang berbeda. Pertama, Ikhwanul Muslimim, yang didirikan oleh Hasan Al-Bana pada 1950-an di Mesir. Dan kedua, kelompok Islam yang ingin mengembalikan Islam kepada dasar-dasar utama ajaran Islam seperti yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke-14. Gerakan ini lebih masyhur dengan sebutan Salafi atau Wahabi.

Sebagai kelompok yang bergerak dalam bidang dakwah, Ikhwanul Muslimin bertujuan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama yang sempurna, kaffah dan utuh serta terlepas dari semua bentuk keragu-raguan di dalamnya dimana Islam tidak hanya berurusan dengan perkara rukun Islam saja, akan tetapi juga bersinggungan dengan seluruh aspek kehidupan sosial bermasyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik dsb. Apa yang menyebabkan Ikhwanul Muslimin ini dianggap sebagai gerakan yang akan membawa bencana bagi keberlangsungan kehidupan beragama? Tak lain dantak bukan karena Ikhwanul Muslimin ini juga mengedepankan wacana pembentukan negara Islam. Dan dalam pembentukan negara Islam pun, Ikhwanul Muslimin sama sekali tak pernah mengedapankan cara-cara keji dan pendekatan-pendekatan radikal seperti menteror dan kekerasan untuk membentuk negara Islam itu sendiri.

Menurut Ikhwanul Muslimin, untuk membentuk negara Islam itu harus melewati beberapa tahapan diantaranya: Pertama, pembentukan pribadi-pribadi Muslim (As-Syakhsiyah al-Islamiyah); kedua, pembentukan keluarga-keluarga Muslim (Al-Usroh al-Muslimah); ketiga, pembentukan masyarakat Muslim (Al-Ijtima'iyah al-Islamiyah). Dengan melewati tahapan-tahapan tersebut, maka pembentukan negara Islam itu akan berdiri secara otomatis tanpa adanya praktek-praktek yang bisamerugikan pihak lain. Hasan Al-Bana pernah mengatakan bahwa: "Jika setiap orang sudah menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya, secara otomotis negara Islam tersebut akan berdiri dengan sendirinya."


Sedangkan kelompok yang kedua adalah Salafi atau Wahabi. Gerakan Wahabi ini didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab, lahir di desa Ayenah, Najad pada tahun 1691 M. Muhammad Ibn Abdul Wahhab sendiri mendapat didikan Islam berdasarkan mazhab Hanbali. Tujuan dari gerakan Wahabi ini adalah untuk memurnikan kembali ajaran Islam yang kala itu sudah banyak bercampur dengan praktek-praktek yang sudah tidak Islami lagi, seperti bid'ah, khurafat, meminum minuman keras (beralkohol) yang sudah dianggap biasa, penggunaan emas dan sutra bagi laki-laki, yang semuanya itu benar-benar sudah keluar dan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Karena itulah gerakan Wahabi hadir untuk mengembalikan Islam kepada Islam yang sebenarnya berdasarkan al-Quran dan al-Hadits Rasullullah Muhammad s.a.w.

Ikhwanul Muslimin ini masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an bersamaan dengan kembalinya para sarjana alumni Timur Tengah yang notabene selama mereka mengikuti pendidikan di Timur Tengah tersebut mereka telah mempelajari pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin bentukan Hasan Al-Bana itu. Para aktivis Islam di kampus-kampus dan organisasi-organisasi remaja Mesjid di Indonesia cukup antusias menerima kehadiran gerakan Ikhwanul Muslimin ini mengingat pemikiran-pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Sayid Qutb, Sayid Hawa sudah cukup bersahabat dengan para aktivis Islam itu sendiri. Apalagi buku-buku dan karya-karya mereka tersebut sudah banyak ditemukan dalam versi bahasa Indonesia.

Dan gerakan ini juga mendapat sambutan hangat dari umat Islam dan lambat laun berkembang secara pasti dimana saat ini faham Wahabi ini telah menjadi mazhab resmi di Arab Saudi dan di beberapa negara Teluk paska keruntuhan kerajaan Utsmaniyah Turki. F. A. Klein menyebutkan didalam bukunya "The Religion of Islam" (1985) mengenai Wahabi ini bahwa orang-orang Wahabi tersebut menyebut diri mereka sebagai "Unitarians" atau pemersatu. Sedangkan umat Islam yang lainnya disebut sebagai orang-orang yang Musyrik. Orang-orang Wahabi juga menolak karya yang dihasilkan oleh empat tokoh Islam Sunni seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Penulis sendiri menolak dan tidak sepakat dengan F. A. Klein ini mengingat bahwa orang-orang yang berfaham Wahabi juga memegang prinsip bahwa "Innal mukminuna ikhwatun," semua orang-orang Islam itu bersaudara. Apalagi seperti yang telah penulis singgung diatas tadi bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab sendiri juga mendapat didikan Islam berdasarkan mazhab Hanbali.

Selama ini ada anggapan yang berkembang ditengah masyarakat kita Indonesia bahwa Islam fundamentalis menolak demokrasi. Padahal jika kita mau mencermati sejenak bahwa demokrasi pun sebenarnya juga berasal dari Islam. Ketika Rasullulah akan mengakhiri nafas terakhirnya, sama sekali Rasulullah tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan posisi sebagai khalifah yang akan mengemban risalah Islam selanjutnya. Beliau wafat tanpa meninggalkan pesan mengenai orang yang akan menduduki posisi kekhalifahan tersebut. Disini Rasulullah sudah mengajarkan kepada kita bahwa untuk urusan kekhalifahan ini nanti biarlah diserahkan kepada umat sepeninggalnya saja. Karena barangkali disinilah letak fungsi haditsnya yang masyhur itu: "Antum a'lamu bi umuri dunyaakum," (Kamu sekalian lebih faham tentang urusan duniamu). Akhirnya setelah melakukan pemilihan dan sesuai dengan kesepakatan bersama, maka yang terpilih dan akhirnya disetujui pula untuk mengemban amanah sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah wafat adalah Abu Bakar as-Siddiq.

Leo Kwarten, seorang pakar Arab Belanda menyebutkan dalam tulisannya di "de Volkskrant" bahwa kaum fundamentalis juga mencintai demokrasi, tokoh-tokoh fundamentalis lain seperti ditulis Leo Kwarten adalah Rasyid Ghanusyi, pemimpin Islam fundamentalis An-Nahda, partai oposisi utama di Tunisia serta Al-Turabi dari Sudan. Walau Rasyid Ghanusyi ini tidak sepakat dengan demokrasi yang digembor-gemborkan oleh Barat, akan tetapi Rasyid Ghanusyi ini menyatakan bahwa: "Islam adalah demokrasi." Berbeda dengan Leo Kwarten, Henk Muller seorang intelektual Belanda lain yang menyatakan Islam dan demokrasi tidak bisa bertemu. Pendapat Muller memang mewakili pendapat mayoritas. Pendapat ini semakin diterima setelah salah seorang pemimpin Islam fundamentalis di Aljazair, Ali Belhaj secara tegas mengatakan demokrasi sebagai "penghinaan terhadap Tuhan." Didalam kitab "Fiqh ad-Daulah fil Islam," DR. Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa secara substansi demokrasi tidak bertentangan dengan Islam bahkan "Demokrasi justru berasal dari Islam."

Setelah memahami asal-muasal fundamentalis serta Islam fundamentalis ini, diharapkan kepada semua kita agar tidak memandang sebelah mata terhadap keberadaan Islam fundamentalis wabil khusus di Indonesia. Mengingat gejala dan pandangan umum yang sering berkembang dan sepertinya sudah mengakar didalam benak kita bangsa Indonesia saat ini bahwa segala bentuk tindakan dan aksi kekerasan dan praktek-praktek radikal lainnya langsung diarahkan kepada kaum Islam fundamenatalis tanpa pernah menyadari bahwa kaum Islam fundamenatalis adalah saudara kita juga, saudara sebangsa dan setanah air. Menyongsong pemilihan umum Presiden Indonesia yang akan digelar pada 5 Juli 2004 mendatang, mari kita perkokoh rasa persaudaraan kita sesama bangsa Indonesia. Bersama membangun bangsa dan menegakkan keadilan, bangkitlah Indonesia. ***

Zamhasari Jamil, Mahasiswa pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India; Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah Pekanbaru, Riau.

*) Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Sriwijaya Post, Palembang pada hari Jum'at, 09 Juli 2004. Link masih ada di: http://www.indomedia.com/sripo/2004/07/09/0907hot1.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home