Thursday, June 24, 2004

Harapan Futuristik Pendidikan di Indonesia

Oleh: Zamhasari Jamil

PEMILIHAN umum presiden yang akan diselenggarakan pada 5 Juli 2004 tinggal beberapa hari lagi. Dan kampanye para capres sudah hampir tiga pekan berlalu. Tak ada perubahan yang terlalu prinsipil mengenai janji-janji para capres dalam setiap kampanye yang mereka adakan tersebut. Telinga-telinga bangsa Indonesia hanya diisi dengan nyanyian lama seperti pemberantasan KKN, suatu kata dan janji yang paling ringan untuk diucapkan, akan tetapi paling berat untuk direalisasikan dan dibuktikan.

Pada tanggal 12 April 2002 silam, Presiden India APJ Abul Kalam mengadakan pertemuan dengan para pelajar SMU di Anandalaya High School. Dalam kesempatan tersebut, Abul Kalam mengajukan beberapa pertanyaan, diantaranya: "Who is our enemy?" (Siapakah musuh kita?). Beraneka jawaban muncul, ada yang mengatakan bahwa musuh kita (baca: India) adalah Pakistan, ada lagi yang mengatakan bahwa musuh India itu adalah AS dan sebagainya. Dari berbagai jawaban tersebut, jawaban yang paling mengena dan berkesan di hati Abul Kalam adalah bahwa "Our enemy is poverty" (Musuh kita adalah kemiskinan). Jawaban demikian dilontarkan oleh Snehal Thakkar, pelajar kelas 12 (setingkat kelas 3 SMU) di Anandalaya High School tersebut.

Bila kita cermati sepak terjang para capres atau cawapres yang sedang berkampanye tersebut, sepertinya para capres dan cawapres kita belum mengenal betul tentang kondisi fisikologis masyarakat yang sedang mereka hadapi tatkala berkampanye. Hal ini menyebabkan mereka terlalu gampang untuk menaburkan benih-benih janji seenaknya saja. Namun, guna meraih simpati rakyat, mereka rela mengucapkan janji-janji tersebut tanpa pernah mau menyadari bahwa setiap kata yang mereka lontarkan tersebut akan senantiasa terngiang-ngiang di telinga anak bangsa ini yang selama ini memang sudah lama menantikan kebenaran dan pembuktian konkret dari setiap janji-janji itu.

Setidaknya ada beberapa poin janji yang selalu diketengahkan oleh para capres maupun cawapres yang sedang berkampanye, diantaranya: pemberatasan KKN, pendidikan gratis, pemberatasan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja. Namun tak jarang juga sebagian capres ataupun cawapres yang selalu mengangkat isu agama dalam kampanyenya. Penulis tidak bermaksud untuk mengajari apalagi menggurui, bahwa mengangkat isu agama dalam kampanye capres maupun cawapres hanya akan menjadi batu sandungan bagi pasangan capres dan cawapres yang bersangkutan, mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan terdiri dari berbagai agama dan ditambah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi oleh sentimen-sentimen agama.

Pemberantasan kemiskinan dan pendidikan gratis seperti yang selalu dilontarkan oleh para kandidat presiden dan wakil presiden RI tersebut perlu mendapat perhatian serius dari kita semua. Meski diatas kertas, Indonesia dikenal sebagaibangsa yang kaya raya, subur dengan hasil alam yang melimpah ruah, akan tetapi dilapangan penduduk Indonesia masih banyak yang tidur di emperan toko, di pinggir jalanan, dipinggir rel kereta api. Mereka tidur dengan diiringi musik klasik iring-iringan mobil atau suara erangan kereta api dan nada-nada yang dialunkan oleh anak-anak pengamen jalanan.

Pada kesempatan yang sama, pembesar-pembesar di negeri ini asyik dengan menabur janji yang entah kapan janji tersebut bisa ditunaikan dan ditepati. Tidakkah ada rasa malu untuk melewati gerumulan anak-anak jalanan, orang-orang miskin di negeri ini manakala pembesar tersebut berlalu dengan angkuhnya? Mereka hanya mampu menyaksikan para pembesar itu berlalu sambil menikmati wanginya farfum yang tersisa bersama angin lalu. Ini adalah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia adalah miskin. Karena itulah, penulis ingin pula mengatakan kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang sebagaimana India, bahwa kemiskinan ini adalah musuh kita juga.

Yang sangat menyedihkan lagi, bahwa bangsa Indonesia tak hanya miskin secara ekonomi, tapi juga miskin dalam bidang pendidikan. Sehingga bersatunya dua-kemiskinan ini telah melengkapi daftar derita anak bangsa Indonesia bahkan bisa berlanjut sampai kapanpun bila kita tak pernah mengantisipasinya sejak dini. Sebenarnya, kemampuan bangsa Indonesia untuk memperbaiki nasib pendidikan itu ada, tapi keinginan untuk memperbaiki itulah yang tidak ada.

Memasuki Indonesia yang semakin demokratis ini, bangsa Indonesia akan senantiasa mengikuti jejak langkah pemimpin republik ini. Bila kran demokrasi yang selama masa orba tersumbat rapat, dan kini telah terbuka lebar, maka siapapun yang menjadi pemenang dalam presiden mendatang harus memiliki telinga yang tebal karena secara bebas masyarakat Indonesia akan menagih kembali semua iming-iming yang pernah ditawarkan. Kondisi keterbukaan itulah yang akan mengantarkan kita bangsa Indonesia kepada "manisnya demokrasi".

Seperti yang telah kita ketahui, peletak batu pertama pendidikan di Indonesia itu adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Beliaulah orang yang pertama memikirkan masalah dunia didik-mendidik di bumi pertiwi ini. Sayangnya, sejak batu pertama pendidikan itu diletakkan hingga hari ini, sistem pendidikan kita di Indonesia belum menemukan formulasi yang tepat dan mantap untuk diterapkan di Indonesia. Tak jarang, kebijakan-kebijakan dalam masalah pendidikan ini selalu berubah sesuai dengan selera orang-orang yang mengurus masalah pendidikan (baca: menteri pendidikan) tersebut. Atau lebih jelasnya, berubah menteri yang mengurus pendidikan ini, maka sudah bisa dipastikan pula kebijakan-kebijakan mengenai pendidikan secara spontan akan turut berubah pula.

Jika di Indonesia tadi kita memiliki Ki Hadjar Dewantara, maka India juga mempunyai Rabindranath Tagore, seorang pujangga dan filsuf terkemuka sekaligus peletak batu utama dasar pendidikan di India. Antara Ki Hadjar Dewantara dan Rabindranath Tagore ini sepertinya sama-sama memiliki persamaan sikap yaitu menaruh perhatian yang cukup tinggi dalam masalah pendidikan. Bedanya, jika kita di Indonesia masih saja mengurus masalah sistem pendidikan yang ingin diberlakukan di Indonesia, India tidak lagi mengurusi masalah sistem yang ingin diterapkan. Hal ini menurut penulis bahwa India telah menemukan jati dirinya dalam membentuk sistem yang baku, sehingga India tak lagi dibingungkan lagi untuk mencari format terbaik yang akan diterapkan di India tersebut. Meskipun menteri bertukar, akan tetapi sistem dan format pendidikan di India tetap saja sama.

Di Indonesia, pergantian buku-buku panduan yang tidak terlalu prinsipil dalam setiap jenjang pendidikan itu sebenarya adalah cara-cara yang paling ampuh untuk menghambat perkembangan pendidikan kita. Paling tidak, praktek gonta-ganti buku tersebut telah memusingkan kepala orang tua murid yang ekomoninya kelas menengah ke bawah, akan tetapi dalam praktek gonta-ganti buku itu pulalah terletak keuntungan para penguasa pendidikan dimana setiap proyek yang dikerjakan, akan menjadikan penguasa-penguasa pendidikan bagaikan tersiram "hujan uang."

Kiranya, kita sebagai anak bangsa Indonesia sudah selayaknya menaruh harapan, mudahan-mudahan setelah pemilu presiden nanti, dengan kepemimpinan Indonesia yang baru, Indonesia akan menemui jati dirinya dalam menangani masalah pendidikan ini, dan tidak lagi diombang-ambingkan oleh sistem pendidikan yang ingin diterapkan. ***

Zamhasari Jamil, Sekretaris Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India; Mahasiswa di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home