Wednesday, March 10, 2004

Melestarikan Interaksi Agama

Oleh: Zamhasari Jamil

SEBAGAIMANA yang termaktub didalam al-Qur'an, bahwa Allah SWT telah berfirman: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu), dan menjadikan kamu beragam suku dan bangsa supaya kamu saling berkenalan. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha amat mengetahui. (QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat ini telah mengilhami penulis untuk mengangkat judul tersebut diatas dan sekaligus sebagai refleksi menjelang Pemilu 2004 yang saat ini sudah berada di pelupuk mata. Dalam menghadapi Pemilu kali ini, boleh dikatakan semua bangsa Indonesia, mulai dari masyarakat kelas atas, masyarakat kelas menengah hingga masyarakat kelas bawah dihantui oleh berbagai perasaan. Bagaimana tidak, orang-orang yang selama ini sudah mencalonkan diri sebagai anggota dewan masih berharap cemas, apakah ia akan dipilih oleh rakyat atau tidak. Segala usaha untuk memperoleh kursi dewan tersebut telah diupayakan, mulai dari menempatkan diri pada nomor urut pertama hingga mencoba untuk menggelabui masyarakat dengan kepintarannya dalam mengolah kata-kata. Tak heran, bila orang-orang yang seperti ini nantinya naik ke panggung dewan, maka secara bersamaan pula mereka juga terdaftar sebagai anggota NATO (No Action Talk Only) yang dalam istilah orang melayu: Menyuuh tolok, meangkek tak begogo.

Masyarakat kelas menengah pun juga berfikir apakah setelah Pemilu nanti sistem yang berlaku di Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya akan menuju ke perubahan yang tentunya ke arah yang lebih baik atau bahkan sebaliknya. Tak ketinggalan pula masyarakat kelas bawah, mereka akan selalu berfikir, apakah kondisi Indonesia setelah Pemilu ini nanti akan kembali "aman dan tenteram" seperti pada masa republik ini dipresideni oleh H.M. Soeharto dahulu kala? Sengaja kata aman dan tenteram tersebut penulis beri tanda kutip, karena ia mengandung dua pengertian: makna Hakiki atau sebenarnya dan makna Majazi atau hanya bermakna kiasan saja. Bagi masyarakat kelas atas, aman dan tenteram di era Soeharto tersebut bermakna Majazi. Namun, bagi masyarakat kelas bawah bahwa aman dan tentram di zaman Pak Harto adalah bermakna Hakiki.

Kita lihat, berapa banyak masyarakat kelas bawah yang buta terhadap hiruk-pikuk dan kecamuk perpolitikan di Indonesia, akan tetapi mereka hidup damai dan sejahtera, dan dengan sejengkal tanah saja untuk bersawah, berladang, berkebun, menarik gerobak, berjualan di emperan dan pinggir jalanan, akan tetapi mereka masih bisa bernafas lega hanya dengan usaha-uasah kecilnya itu. Sepertinya, bagi masyarakat yang seperti ini, hawa reformasi bukanlah sesuatu yang membawa keberuntungan baginya, akan tetapi lebih membawa "malapetaka" baginya. Uang yang dahulu bernilai tinggi, setelah reformasi seperti tak memiliki harga lagi. Karena itu tidaklah mengherankan bila masyarakat kelas bawah merindukan kembalinya Orde Baru.

Sebagai anak daerah yang berada di kampung India, penulis cukup bangga melihat kesahajaan seluruh komponen masyarakat Riau dalam menghadapi pesta demokrasi (baca: Pemilu) tahun ini. Apalagi Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar, seperti berita yang diturunkan oleh Harian Riau Pos ini (Jum'at, 5/3) telah menyatakan bahwa persiapan pengamanan menghadapi Pemilu di Riau sudah baik. Pemberitaan positif ini perlu mendapatkan apresisasi kita, karena sedikit-banyaknya informasi tersebut telah menggiring opini publik terhapat optimisme keberhasilan Pemilu tahun 2004 ini.

Karena itu, penulis ingin mengatakan bahwa kegagalan Pemilu di Riau adalah karena kelalaian pihak penyelenggara Pemilu di Riau khususnya dan di Indonesia secara umumnya. Namun, kesuksesan Pemilu di Riau adalah merupakan kesuksesan besar kita bersama. Karena itu, bila nanti Pemilu Riau dinyatakan berhasil, maka pada tahun-tahun mendatang, Riau patut dan layak untuk menjadi provinsi percontohan dalam menyelenggarakan Pemilu.

Sungguhpun Kapolri Bachtiar telah mengungkapkan pernyataan yang sedap didengar, namun kita sebagai bangsa yang majemuk juga tetap dituntut untuk selalu meningkatkan kewaspadaan dalam berbagai hal. Mengingat bangsa kita adalah bangsa yang khususnya akhir-akhir ini mudah terpancing emosi, wa bil khusus bila berkaitan dengan masalah agama. Dan itulah sebabnya diawal tulisan ini, penulis memulainya dengan ayat Allah (QS. 49: 13) seperti yang telah dicantumkan diawal tadi. Indonesia sebagai negara yang mayoritas umatnya beragama Islam dan kemudian disusul oleh umat Kristiani, Hindu dan Budha. Disini penulis ingin menegaskan bahwa pada umumnya nilai-nila etika dan moral yang diadopsi oleh umat Islam, umat Kristiani, Hindu dan Budha adalah sama, yaitu sama-sama menolak segala bentuk kekerasan dan secara bersamaan pula juga tidak menerima sikap dan perlakuan yang sangat kasar dan tidak adil.

Karena itu, pesan Allah SWT. yang menyuruh kita untuk 'Ta'arafu' atau saling berkenalan tersebut harus mendapatkan tempat dan ruang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan budaya 'Ta'aruf' yang kaya dengan nilai-nilai spritual tersebut merupakan fondasi utama dalam menciptakan suasana yang saling menghormati dan menghargai antar sesama umat manusia ciptaan-Nya. Sebaliknya, sikap saling mencurigai dan mematai-matai yang sudah jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama tadi sudah saatnya untuk dibungkus rapat-rapat, sehingga tidak ada lagi celah yang dapat meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan ajaran agama yang telah tertata rapi dan dibina dengan baik tadi.

Untuk dapat merealisasikan pesan 'Ta'aruf' ini secara langsung, penulis mencoba menawarkan ide agar kita generasi muda membentuk suatu forum yang mengorganisir pertemuan remaja antar agama dalam rangka meluruskan imej-imej streotipikal negatif terhadap suatu agama di luar agama yang kita anut, dan dari sini diharapkan pula akan dapat melahirkan imej-imej positif secara objektif mengenai agama-agama di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya. Kiranya pula di forum yang semacam ini generasi muda yang selama ini kurang mendapatkan informasi mengenai ketinggian nilai-nilai moral atau etika dan spritual yang diajarkan dalam setiap agama bisa memperoleh pengarahan dan penjelasan secara baik, benar dan tepat.

Salah-satu fondasi masyarakat Islam adalah saling menghargai dan memiliki sikap keterbukaan. Islam mengakui bahwa perbedaan bahasa, budaya, suku bangsa dan perbedaan agama didalam masyarakat adalah sebagai tanda kekuasaan Allah SWT. Elemen-elemen budaya dan tradisi Islam dibentuk dan dikembangkan berdasarkan keharmonisan agama. Artinya pemisahan antara agama Islam dengan budaya Islam hanyalah akan meruntuhkan identitas budaya dan sekaligus mencabut akar-akar spritual ajaran agama Islam itu sendiri.

Bersikap jujur adalah merupakan prinsip dasar dalam setiap agama dan aliran kepercayaan, dan kekerasan terhadap integritas umat manusia dalam segala bentukknya atau menghalagi kebebasan dalam memperoleh segala haknya merupakan suatu kenyataan yang sudah berlawanan dengan ketentuan Tuhan.

Baik atau buruknya hubungan antar sesama manusia dan bangsa hanya dapat dibangun diatas sikap 'Ta'aruf' atau saling mengenal dan sikap 'Tajassus' atau saling curiga. Sikap 'Ta'aruf' ini akan mengarahkan kita kepada sikap saling pengertian, saling bekerja sama dan saling menghargai (mutual understanding, cooperation and respect). Namun praktek 'Tajassus' hanyalah akan menjerumuskan kita ke jurang kebencian, permusuhan dan saling mencari kesalahan (to animosity and mutual attempts of elimination).

Menariknya, Islam sendiri menekankan sikap yang pertama tadi. Karena disinilah letak dasar 'Ta'aruf' tersebut. Penulis berharap, hendaknya 'Ta'aruf' ini dapat menjadi kunci utama dalam merapatkan barisan masyarakat yang selama ini berjarak lebih-lebih lagi karena sentimen agama sekaligus sebagai kunci dalam membuka kran pembangunan manusia seutuhnya, membantu menegakkan HAM dan menjaga kestabilan dan perdamaian dunia secara universal. [Refleksi menjelang Pemilu 2004] ***


Zamhasari Jamil, Mahasiswa S-1 pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India; Asal Kecamatan Kubu, Rokan Hilir.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home