Monday, February 02, 2004

Tahun 2004: Presiden Atau Mahasiswa

Oleh: Zamhasari Jamil

DALAM memasuki tahun baru, hampir di seluruh negara, tak terkecuali di Indonesia dan di India selalu merayakan pergantian tahun tersebut. Hal ini sangat terasa sekali dan bisa pula dipastikan dengan adanya ucapan “Selamat Tahun Baru” serta saling bertukar kartu ataupun memberikan ucapan dan pesan melalui SMS atau melalui surat elektonik (e-mail) diantara sesama kita. Akan tetapi sudah bisa dipastikan pula bahwa kita juga selalu merasa takut dan gelisah terhadap apa yang bakal terjadi dan kita hadapi di tahun yang akan datang tersebut.

Bagaimana tidak, tahun 2004 sudah berada di depan mata, dan dalam hitungan hari, kita seluruh bangsa Indonesia baik yang berada di tanah air maupun yang kini sedang berada di luar negeri, jika tidak ada aral melintang lagi, maka Insya Allah pada bulan April ini, kita sama-sama akan mengadakan dan merayakan Pemilihan Umum secara langsung yang tentunya akan menjadi catatan sejarah di dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.

Dan dalam waktu yang tinggal sedikit ini, maka partai-partai yang tidak lulus verifikasi untuk menjadi “mempelai” di dalam “Pertarungan Umum” tahun ini, sebaiknya segera membenahi diri dan bukan malah menjadi bumerang untuk mencari dan mengungkit-ngungkit kesalahan pihak lain apalagi jika berencana untuk menggagalkan Pemilu tersebut. Melihat kondisi Indonesia seperti sekarang ini, kedewasaan sikap itu benar-benar dituntut dari suatu partai politik. Sebab bila partai yang “kalah” sebelum pertarungan di mulai ini membuat “ulah”, maka para tokoh partai tersebut akan terlibat kedalam istilah Politikus Busuk.

Dalam pandangan penulis, membangun koalisi lebih baik, tentunya dengan tekad bulat yang sama-sama menuju ke arah Indonesia yang lebih baik lagi. Akan tetapi jika suatu partai dan seorang calon presiden tersebut hanya mampu mengusung dan mengembangkan wacana Indonesia bebas KKN, itu sudah tidak “layak pakai” lagi. Sebab yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah bukti konkret dan bukan hanya sekedar janji dan iming-iming belaka. Kenyataan yang terjadi selama adalah hanya sebatas janji dan iming-iming saja yang pada akhirnya bak kupu-kupu yang mengapung di udara. Hanya Muhammad Ali yang bisa mengapung di udara seperti kupu-kupu dan menyengat bagaikan seekor lebah. Fenomena yang sering terjadi di Indonesia bahwa menebar janji sebelum terpilih dan meraih kursi “diatas” tersebut sepertinya sudah menjadi tradisi dalam khazanah kebudayaan masyarakat kita. Buktinya setelah jabatan itu didapat dan kekuasaan itu dipegang, maka segala janji yang dulu pernah diucapkan hanya sebatas janji saja.

Menariknya lagi di Indonesia itu, khususnya umat Islam, selalu berdo’a untuk pemimpin kita. Sehingga konsep do’a bersama baik dalam setiap habis sholat khususnya sholat Jum’at atau yang lebih sering kita dengar lagi akhir-akhir ini dengan do’a Istighosah yang notabene juga diikuti oleh tokoh politik yang akan ikut bermain di dalam pemilihan umum tersebut sedikit banyaknya juga telah memberikan pengaruh dalam menggiring opini publik dalam rangka memilih siapa yang bakal memimpin negeri ini. Hal serupa juga terjadi di Inggris, dimana pada setiap hari Minggu pagi, seluruh gereja di negara tersebut memanjatkan do’a untuk sang Ratu mereka. Begitu pula di Belanda, para pemimpin gereja juga selalu berdo’a untuk pemimpin negerinya supaya menjadi pemimpin yang benar dan memiliki keteguhan iman.

Kita sebagai umat beragama yang baik, selain dari berusaha untuk membentuk kepemimpinan yang baik, berdo’a untuk memperoleh pemimpin yang baik itu juga diperlukan. Namun, berdo’a untuk memohonkan ampunan untuk para pemimpin yang telah berbuat kesalahan terhadap bangsa ini dengan sengaja juga patut dipertanyakan. Yang penulis bimbangkan lagi adalah bila bangsa ini masih mau mengakui sepenuhnya bahwa kehidupan kita dan masa depan bangsa ini masih tergantung pada pemimpin yang mana pemimpin tersebut masih memerlukan bimbingan dan pencerahan juga.

Perlu kita ketahui bahwa tradisi mendo’akan pemimpin seperti ini tidak dan belum pernah terjadi di India. Yang jelas, basis dan kekuatan partai atau seorang pemimpin tersebut ada di kampus-kampus. Sehingga partai-partai di India tidak segan-segan untuk membuka jaringannya di kampus secara terbuka dalam bentuk organisasi kemahasiswaan. Memang selama ini, yang namanya mahasiswa itu selalu mengatakan bahwa dirinya tetap berada pada barisan terdepan dengan posisi “di tengah”. Artinya, mahasiswa merupakan jembatan yang membawa aspirasi masyarakat bawah dan kemudian diteruskan kepada orang-orang yang berhak menerima aspirasi itu (baca: Pemerintah). Hal ini memang sudah cukup berhasil dilakukan oleh mahasiswa. Kita lihat, runtuhnya kerajaan Suharto juga karena angin topan yang dihembuskan oleh mahasiswa Indonesia itu tadi.

Hanya saja, sebagai mahasiswa, saya juga merasakan bahwa sosialisasi dari hasil kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tersebut juga kadang-kadang tidak sampai ke masyarakat bawah yang sebelumya kita telah mengusung “keluh-kesah” mereka. Kita memang banyak menemui kendala dalam hal ini. Kita bisa-bisa saja mengatakan bahwa media cetak dan elektronik udah masuk ke desa-desa dan perkampungan, akan tetapi itu masih baru “kata kita”. Buktinya, masih banyak orang-orang yang tinggal di pelosok desa atau kampung atau pedalaman yang tidak mengenal siapa presiden kita sekarang ini. Barangkali ini kedengaran aneh, tapi inilah kenyataan.

Padahal dalam setiap Pemilu suara-suara dari mereka itu juga sangat menentukan bagi sebuah partai yang ingin memenangkan Pemilu. Dan kita harus mengakui bahwa basis suara dalam Pemilu itu juga ada di masyarakat desa atau kampung atau pedalaman yang notabene tidak mengetahui perkembangan dan hiruk-pikuk dan kecamuk bangsa ini. Mereka tahunya menjeblos begitu saja bila saat Pemilu itu sudah tiba. Sehingga yang terjadi adalah, bila suatu partai memiliki manajemen sosialisasi yang solid hingga ke pelosok-pelosok desa dan perkampungan, sudah bisa dipastikan pertai tersebut akan menang.

Sekalipun kita sudah berkoar-koar baik dengan melakukan demo dan mendeklarasikan Manifesto Politik yang menyatakan menolak masuknya politisi bermasalah ke lembaga legislatif dan eksekutif dan ingin mengganjal seseorang yang terlibat ke dalam calon Presiden, akan tetapi saya yakin bahwa orang-orang yang berada di desa-desa atau perkampungan itu tak tahu-menahu tentang fenomena ini. Bagi mereka yang dulu sudah kecanduan dengan “lambang” partai tertentu, mereka akan tetap saja memilih dan menjeblos “lambang favorit”nya tersebut. Bagi mereka nomor urut tidaklah begitu penting, yang penting itu adalah lambang secara lahirnya. Mengenai siapa tokoh yang akan jadi presiden, itu urusan belakangan.

Disinilah letak pentingnya peran mahasiswa dalam memsosialisasikan Pemilu ini. Visi dari Pemilu itu sudah jelas, dan kita telah menyadari bahwa keberadaan mahasiswa itu juga sangat siginifikan dalam menyukseskan jalannya Pemilu yang kita sudah tidak sabar lagi menunggunya. Karena itu, penulis beranggapan bahwa visi, komitmen dan bersikap fleksibel itu adalah penting. Ketika kita sudah berusaha secara optimal untuk mensosialisasikan Pemilu tersebut hingga ke daerah-daerah pelosok desa dan perkampungan, dan nanti bila akhirnya kesuksesan turut menuai Pemilu tahun ini, maka itu akan menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perjalanan kehidupan kemahasiswaan. Namun kita juga sungguh sangat disayangkan sekali bila pada Pemilihan Umum yang bersejarah ini, kita mahasiswa tidak berbuat apa-apa sehingga membuka peluang bagi partai-partai besar untuk memonopoli suara rakyat dengan beraneka ragam cara sehingga pada akhirnya nanti terpilih seorang presiden yang merupakan hasil dari praktek-praktek monopoli tadi.

Bangsa Indonesia saat ini sama-sama menantikan “Pahlawan” yang akan memenangkan di dalam “perang tokoh” antara Presiden dan Mahasiswa pada Pemilihan Raya bulan April ini. Bangsa Indonesia akan beruntung bila kita mahasiswa mampu menunjukkan ketokohan kita dalam mengarahkan masyarakat yang majemuk ini menuju terpilihnya seorang presiden yang benar-benar disayangi, diterima dan kata-katanya didengar oleh umat Indonesia. Karena hal ini benar-benar sangat menentukan arah dan langkah Indonesia ke depan.

Meskipun hari-hari tahun baru itu telah berlalu, sungguh kita belum terlambat untuk berdo’a demi pemimpin kita, bukan berarti kita tidak percaya kepada calon-calon presiden yang sudah ditetapkan, akan tetapi ini adalah salah-satu jalan yang memperlihatkan bahwa kita benar-benar mendambakan pemimpin yang bisa menyatu dihati kita semua, sekaligus sebagai bentuk kritikan politik yang membangun bagi pemimpin-pemimpin terdahulu. Karena itu, suatu pertanyaan yang masih kita tunggu jawabannya adalah: Siapakah tokoh yang paling populer di Indonesia pada tahun 2004 ini – Presiden atau Mahasiswa?

Penulis adalah mahasiswa pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home