Monday, February 02, 2004

Aku dan Gusdur

Oleh: Zamhasari Jamil

HARI itu, Kamis (29/1/2004) setelah saya mengikuti mata kuliah terakhir, sayapun diberitahu oleh dosen saya, Dr. Razi Ahmad Kamal, M.A. bahwa pada hari Jum'at (30/1), Jamia Millia Islamia akan dikunjungi oleh tamu dari Indonesia, dan dosen saya tersebut mengatakan bahwa yang akan hadir itu adalah mantan Presiden Indonesia, hanya saja dosen tersebut tidak merinci siapa orangnya.

Saya pun mulai mereka-reka, akankah Soekarno yang akan hadir ke Jamia Millia Islamia ini? Tidak mungkin, sebab Soekarno sudah lama meninggalkan dunia ini. Atau Suhartokah yang akan hadir? Bisa jadi, tapi buat apa? Untuk bersembunyi atau untuk kampanye lagi? Kemudian ingatan saya langsung tertuju pada Habibie. Tapi Habibie juga tak mungkin hadir ke Jamia Millia Islamia ini, sebab Habibie akan lebih memilih untuk berkunjung ke universitas-universitas di Jerman dari pada universitas-universitas di India.

Seterusnya, rekaaan saya langsung ke Gusdur. Tapi kenapa saya tak ada mendapat berita dari pihak KBRI. Atau barangkali Megawati yang akan hadir ke Jamia Millia Islamia ini? Namun, Megawati sendiri juga belum mantan Presiden. Atau Akbar, atau Amien Rais dan seribu atau dan atau yang sempat muncul dalam pikran saya saat itu. Nah, baru pada malam Kamis malam itu, saya dapat kepastian bahwa yang datang itu adalah Gusdur. Sayangnya, pada Jum'at pagi itu hujan dan saya tidak bisa hadir dalam acara dialog antara Rektor universitas Jamia Millia Islamia, Dr. Syed Mahdi dengan Gusdur yang menurut kabarnya acara tersebut cukup "seru". Maklum, ide-ide Gusdur biasanya sulit untuk dicerna dalam waktu seketika. Bagaimana tidak, solusi masalah perdamaian Khasmir misalnya, Gusdur menawarkan agar Khasmir itu diberikan kemerdekaan saja baik dari India maupun dari Pakistan. Biarkan Khasmir menjadi negara independen yang tak bergantung pada India atau Pakistan. Dengan demikian, Khasmir akan damai dan aman.

Ketokohan Abdurrahman Wahid melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU)nya ini tidak hanya sebatas diketahui saja, melainkan juga mejadi salah satu mata kuliah cabang yang diajarkan di Department of Islamic Studies, Jamia Millia Islamia (Isamic National University) New Delhi ini.

Bentuk silaturrahmi yang dilakukan Abdurrahman Wahid ini, menurut saya memiliki dua sisi nilai positif, lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, silaturrahmi tersebut akan membawa dampak positif bagi mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti pendidikan di Jamia Millia Islamia khususnya dan bagi mahasiswa Indonesia yang ingin meneruskan studinya di Jamia Millia Islamia pada umumnya. Disamping itu, kehadiran Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal sebagai tokoh intelektual itu akan memberikan kesan bahwa Indonesia juga merupakan negara yang memiliki tokoh intelektual terpandang. Sehingga kunjungan tersebut bisa mengimbangi lebel abadi yang melekat pada Indonesia selama ini menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang bergelimang dengan KKN.

Selanjutnya, saya dan beberapa rekan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India melalui pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi juga meminta waktu agar PPI India juga dapat "meminta barokah" dari Kiyai Gusdur itu. Pertemuan PPI dengan Gusdur direncanakan Sabtu sore (pukul 15.00), dan Gusdur menyatakan bahwa beliau bersedia untuk ditemui. Seterusnya, kepada PPI diinformasikan bahwa Gusdur baru siap ditemui pada pukul 17.00 malam. Akhirnya diundur lagi pada pukul 20.00 malam. Terakhir jumpa Gusdur itu baru terlaksana dimulai dari pukul 20.30 sampai 21.45 malam. Pada malam itu, salah seorang Ibu sambil cengar-cengir mengatakan kepada PPI, “Nah, sekarang Anda sudah merasakan apa yang disebut dengan "Kabinet Malam", heheheheh”.

Seperti biasa, karena teman-teman sudah rada yang diserang rasa kantuk, maka saya diminta untuk "berkisah" dihadapan Gusdur. Saya pun duduklah bersebelahan (satu kursi) dengan Gusdur dan dengan tenang ia mendengar apa yang saya sampaikan khususnya tentang keberadaan mahasiswa Indonesia di India. Karena saya juga orang yang tidak sabar untuk bercerita yang serius-serius, maka saya mulai mengeluarkan "jurus canda" yang sudah dipendam dari petangnya. Saya katakan kepada Gusdur: Pak Kiyai, seperti yang kami dengar dari berita di media-media tanah air, bahwa pak Kiyai kembali mencalonkan diri untuk menjadi Presiden. Apakah Pak Kiyai yakin akan terpilih lagi?

Dengan mantap Gusdur menjawab begini: Meskipun beberapa polling menunjukkan bahwa saya (baca: Gusdur) tidak terpilih dalam polling tersebut, tapi ketika saya hadir ke beberapa daerah, ternyata saya dihadiri oleh beberapa ratus ribu masyarakat, ini menunjukkan bahwa saya masih dicintai oleh masyarakat.

Karena saya melihat Gusdur itu begitu yakin, maka saya langsung minta agar pendidikan di Indonesia akan digratiskan saja. Saya katakan begini: Pak Kiyai, kalau Pak Kiyai terpilih jadi Presiden, tolong pendidikan di Indonesia itu digratiskan aja, India yang miskin bisa memberikan pendidikan kepada rakyatnya dengan biaya yang begitu murah, sedangkan kita Indonesia yang kaya tidak bisa berbuat seperti India, padahal Indonesia itukan kaya.

Dengan tegas dalam masalah pendidikan ini, Gusdur menjawab bahwa pendidikan akan kita prioritaskan dan gaji guru-guru akan kita naikkan beberapa persen nantinya. Selanjutnya saya juga menyarankan agar penggunaan bahasa Inggris itu sudah dimulai sejak Sekolah Dasar (SD), sebab selama ini yang menjadi kendala yang cukup besar bagi mahasiswa di luar negeri adalah kemampuan berbahasa Inggris. Pak Kiyai bilang, bahwa untuk masalah ini, bangsa Indonesia masih kekurangan tenaga pendidik yang mampu berbahasa Inggris.

Sayapun dengan yakin mengatakan: Pak Kiyai, untuk urusan tenaga pendidik yang mampu berbahasa Inggris, kami yang dari India siap untuk itu. Gusdur hanya tersenyum mendengar tawaran ini sambil mengusap mukanya pertanda beliau mungkin udah mulai ngantuk. Heks..heks..heks. Saya juga mengatakan kepada Gusdur agar sistem pendidikan kita itu dirubah, dan saya juga menyampaikan bahwa saya nanti siap untuk menduduki posisi menteri pendidikan di kabinet Pak Kiyai. Mendengar ini, Gusdur langsung tertawa lebar.

Ketika saya menyinggung soal Departemen Agama (Depag), saya sampaikan kepada Gusdur: Pak Kiyai, mengapa Indonesia yang ada Depagnya tidak pernah beres dalam mengurus masalah haji, sedangkan India itu tidak memiliki Depag, akan tetapi dalam urusan haji ini, India lancar-lancar saja dan bahkan biaya haji dari India lebih murah daripada Indonesia. Eh....eee, Gusdur menjawab, Anda tahukan, bahwa Depag itu adalah Departemen paling korup. Saya pun langsung menyambung, kalau begitu bagaimana kalau Depag dibubarkan saja Pak Kiyai. Gusdur menyebutkan bahwa yang salah itu bukan departemennya, tapi orangnya. Dan dalam kabinet Gusdur nanti, masalah haji akan dipisahkan dari Depag, sedangkan Depag hanya berkiprah dalam urusan kajian agama dan penelitian saja. Untuk urusan pendidikan agama, akan dikelola oleh Departemen Pendidikan.

Di penghujung petemuan itu, saya juga menyinggung soal dosa orang yang tidak mampu berhaji gara-gara prosedur yang memberatkan. Saya tanya ke Gusdur: Pak Kiyai, menurut saya pribadi ni, sebenarnya orang Indonesia itu mampu untuk menunaikan haji. Namun, oleh karena prosedur yang ditentukan oleh Depag, maka akhirnya masyarakat Indonesia itu jadi tidak mampu, mengingat banyaknya pungutan-pungutan haji yang tak jelas arah dan tujuannya. Nah, menurut Pak Kiyai, siapakah yang menanggung dosa-dosa orang-orang tidak berhaji ini disebabkan oleh beratnya prosedur tadi. Akhirnya Gusdur sambil mengusap mukanya lagi, ia menjawab, kalau masalah itu, ya ... jangan tanya saya. Dan ia pun kembali tertawa, hahahahahaha.

Berhubung saya juga sudah kehabisan bahan, dan saya khawatir nanti akan ada pertanyaan-pertanyaan saya tidak terarah lagi, maka sayapun menyudahi perbincangan itu sekaligus minta kesediaan untuk photo 'atu-atu' bersama mahasiswa/i yang hadir di Hotel Ashok New Delhi malam itu. Sebelumnya saya juga minta izin duluan: Pak Kiyai, boleh kan kalau kita mahasiswa/i ini minta photo satu-satu bersama Pak Kiyai? Gusdur dengan enteng menjawab, ya... silakan aja.

Salah seorang dari yang hadir mengatakan agar yang 'ewek-ewek' jangan mengambil photo berduaan dengan Gusdur, takut akan ada fitnah dan menjadi isu nasional nantinya. Pertemuan informal dengan Pak Kiyai itu berlangsung selama 45 menit, akan tetapi saya masih menyisakan satu pertanyaan yaitu: Bila Pak Kiyai tidak terpilih menjadi Presiden, maka rencana apakah yang Pak Kiyai perbuat demi kemajuan dan kemaslahatan bangsa Indonesia? ***

Zamhasari Jamil, Sekretaris Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India; Mahasiswa Pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home