Berjilbab Dan Menanti “Masyithoh” Baru
Oleh: Zamhasari J. Naimah
Meskipun tahun 2003 telah berlalu, akan tetapi banyak peristiwa-peristiwa penting yang hingga saat ini masih segar dalam ingatan kita dan semua itu tetap akan menjadi kenangan dalam catatan sejarah peradaban di dunia di masa-masa yang akan datang. Mulai dari peristiwa perang Iraq, pengeboman Hotel JW Marriot, keluarnya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank hingga pelarangan penggunaan jilbab bagi kaum Muslimah di Prancis.
Rasanya masih terngiang-ngiang di telinga kita bagaimana Taliban di Afghanistan mewajibkan seluruh wanita Muslimah di negeri itu untuk menggunakan jilbab yang dimulai dari sejak jatuhnya rezim Najibullah tahun 1992. Bahkan sejak tahun 1992 hingga Taliban mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1996 wajah-wajah wanita tidak lagi diizinkan untuk muncul di layar televisi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, anak-anak prempuan juga tidak diperkenankan untuk mendapatkan pendidikan dan para wanita juga tidak memperoleh hak untuk bekerja di luar rumah seperti halnya wanita di negara kita ini.
Bagi Taliban, kewajiban untuk mengenakan jilbab atau kerudung ini senada pula dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah SWT melalui firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab: 59 yang artinya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan para wanita yang beriman supaya mereka mengulurkan jilbabnya (menutupkan baju mantelnya keseluruh badannya). Hal itu lebih mudah untuk mengenal mereka sehingga mereka tidak diganggu atau disakiti (oleh orang-orang yang jahat). Sesungguhnya Allah maha Pengampun dan maha Pengasih.”
Namun apa yang dikehendaki oleh Taliban itu ternayata bertolak belakang dengan keinginan Presiden Prancis Jacques Chiraq. Larangan penggunaan jilbab ini tak lama lagi juga akan disusul pula oleh negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Israel. Bagi mereka, jilbab dianggap sebagai salah-satu penyebab seseorang itu bersikap brutal, jilbab juga dianggap sebagai lambang fanatisme dan membuat pribadi seseorang bersikap intoleransi yang pada akhirnya akan mengancam keselamatan pihak lain (baca: non-Muslim). Dan akhirnya larangan tersebut “menetas” dibawah payung “keamanan” dan “kebebasan”. Bukankah hal ini merupakan suatu bentuk hipokritikal “perang” yang tersembunyi? Mungkinkah perlakuan-perlakuan yang deskriminatif tersebut masih bisa mengatasnamakan “kebebasan”? Apakah arti sebuah “kebebasan” bagi wanita Muslimah di Prancis ketika larangan itu telah dikeluarkan?
Barangkali wanita-wanita Muslimah di Prancis bukanlah orang-orang yang berhak lagi menerima sebuah “kebebasan”, akan tetapi yang lebih tepatnya adalah mereka adalah orang-orang yang “terkekang” yang disebabkan oleh para penguasa yang telah dimabuk oleh sikap arogansi kekuasaan dan sikap fanatisme yang tinggi. Sehingga nilai-nilai toleransi itu dikesampingkan.
Tumbuh dan berkembangnya rasa takut terhadap Islam tersebut juga tak lepas dari peran media yang menurunkan berita-berita yang berhubungan dengan isu jihad dan terorisme, terlebih lagi media-media Barat. Sehingga dengan banyaknya berita-berita seputar isu jihad dan terorisme yang dikonsumsi oleh masyarakat, akhirnya munculnya rasa anti terhadap Islam. Kita lihat, sejak runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) di Amerika pada 11 September 2001 hingga hari ini, hampir seluruh media di dunia tak pernah lepas dari berita-berita yang berhubungan dengan isu-isu terorisme tersebut.
P
Hanya saja, kebijaksanaan sikap yang telah diambil oleh Syeikh Tantawi tersebut terkesan mengejutkan masyarakat dunia Muslim khususnya masyarakat Muslim Prancis. Seolah-olah keputusan yang ditetapkan oleh Syeikh Tantawi menggambarkan betapa beliau tidak memahami dan tidak peduli terhadap kondisi umat Islam Prancis tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa jumlah masyarakat Sikh di Prancis tersebut hanyalah minoritas. Akan tetapi mereka telah memiliki “gaung” dan suara yang lantang dalam mengantisipasi sebelum palu larangan untuk Sikh itu diketuk. Chain Singh, pemimpin kuil Gurdwara Singh Sabha di wilayah Bobigny, Prancis telah mengajukan surat yang meminta pengecualian bagi masyarakat Sikh. Di dalam surat tersebut, seperti yang diberitakan oleh The New York Times pada 12 Januari 2004 dinyatakan bahwa "berbeda dengan penggunaan jilbab dalam masyarakat Muslim atau kopiah (songkok kepala) bagi masyarakat Yahudi. Serban dalam masyarakat Syikh bukanlah merupakan simbol agama.” Dalam agama Sikh menuntut setiap laki-laki untuk tidak memangkas atau memotong rambutnya. Akan tetapi tidak menggunakan serban tersebut.
Berbeda dengan Jerman, dimana Mahkamah Konstitusi Jerman sebagaimana yang ditulis oleh Estananto di Pikiran Rakyat (7 Januari 2004) telah mengeluarkan keputusan bahwa guru Muslimah tidak bisa dilarang berjilbab di sekolah-sekolah negeri Jerman bila peraturan yang melarang berjilbab tersebut belum ada. Tokoh-tokoh politik di Jerman menjadikan jilbab ini sebagai simbol fanatisme agama. Hanya saja, penggunaan tanda salib atau simbol budaya Kristen yang lainnya harus dijaga dan itu tidak bisa disamakan dengan penggunaan Jilbab bagi seorang Muslimah.
Hebatnya lagi, pernyataan yang dibuat oleh Presiden Jerman Johannes Rau pada akhir tahun lalu telah mengundang reaksi yang bertentangan dengan para tokoh politik Jerman. Beliau menyatakan bila guru Muslimah tidak dibenarkan untuk menggunakan jilbab, maka lambang-lambang keagamaan seperti pemakaian tanda salib bagi penganut agama Kristen atau penggunaan kopiah bagi yang beragama Yahudi juga semestinya tidak dibenarkan untuk digunakan di sekolah-sekolah negeri di Jerman. Bahkan dalam wawancara dengan televisi ZDF pada 28 Desember 2003, Rau menuturkan bahwa tidak semestinya masyarakat Muslim Jerman yang berjumlah 3,2 juta jiwa tersebut dijadikan sebagai warga negara kedua.
Di Indonesia, masalah penggunaan jilbab ini masih menjadi bahan kontroversi. Apalagi setelah Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan juga berasal dari kalangan intelektual muda NU di dalam tulisannya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18 November 2002) menyebutkan bahwa “Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.”
Melihat fenomena yang “tumpang-tindih” diatas, saya masih tetap berada pada QS. Al-Ahzab: 59 diatas tadi. Meskipun pendapat yang mengatakan bahwa jilbab tak lebih dari sekedar produk “budaya” Arab tersebut dapat diterima, akan tetapi bukankan produk “budaya” Arab tersebut juga telah menjadi syariat di dalam Islam? Bahkan saya merasa bersyukur bahwa “fatwa” Prancis yang melarang wanita Muslimah di sana menggunakan jilbab akhirnya “menetas” juga, sebab larangan tersebut telah meyakinkan kita semua bahwa jilbab adalah benar Islami dan bukan hanya sekedar menjaga rambut seperti dalam agama Sikh atau sebatas produk “budaya” bangsa Arab belaka.
Zamhasari Jamil, mahasiswa program S-1 pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home