Friday, January 02, 2004

Berjilbab Dan Menanti “Masyithoh” Baru

Oleh: Zamhasari J. Naimah

Meskipun tahun 2003 telah berlalu, akan tetapi banyak peristiwa-peristiwa penting yang hingga saat ini masih segar dalam ingatan kita dan semua itu tetap akan menjadi kenangan dalam catatan sejarah peradaban di dunia di masa-masa yang akan datang. Mulai dari peristiwa perang Iraq, pengeboman Hotel JW Marriot, keluarnya fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank hingga pelarangan penggunaan jilbab bagi kaum Muslimah di Prancis.

Rasanya masih terngiang-ngiang di telinga kita bagaimana Taliban di Afghanistan mewajibkan seluruh wanita Muslimah di negeri itu untuk menggunakan jilbab yang dimulai dari sejak jatuhnya rezim Najibullah tahun 1992. Bahkan sejak tahun 1992 hingga Taliban mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1996 wajah-wajah wanita tidak lagi diizinkan untuk muncul di layar televisi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, anak-anak prempuan juga tidak diperkenankan untuk mendapatkan pendidikan dan para wanita juga tidak memperoleh hak untuk bekerja di luar rumah seperti halnya wanita di negara kita ini.

Bagi Taliban, kewajiban untuk mengenakan jilbab atau kerudung ini senada pula dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah SWT melalui firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab: 59 yang artinya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan para wanita yang beriman supaya mereka mengulurkan jilbabnya (menutupkan baju mantelnya keseluruh badannya). Hal itu lebih mudah untuk mengenal mereka sehingga mereka tidak diganggu atau disakiti (oleh orang-orang yang jahat). Sesungguhnya Allah maha Pengampun dan maha Pengasih.”

Namun apa yang dikehendaki oleh Taliban itu ternayata bertolak belakang dengan keinginan Presiden Prancis Jacques Chiraq. Larangan penggunaan jilbab ini tak lama lagi juga akan disusul pula oleh negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Israel. Bagi mereka, jilbab dianggap sebagai salah-satu penyebab seseorang itu bersikap brutal, jilbab juga dianggap sebagai lambang fanatisme dan membuat pribadi seseorang bersikap intoleransi yang pada akhirnya akan mengancam keselamatan pihak lain (baca: non-Muslim). Dan akhirnya larangan tersebut “menetas” dibawah payung “keamanan” dan “kebebasan”. Bukankah hal ini merupakan suatu bentuk hipokritikal “perang” yang tersembunyi? Mungkinkah perlakuan-perlakuan yang deskriminatif tersebut masih bisa mengatasnamakan “kebebasan”? Apakah arti sebuah “kebebasan” bagi wanita Muslimah di Prancis ketika larangan itu telah dikeluarkan?

Barangkali wanita-wanita Muslimah di Prancis bukanlah orang-orang yang berhak lagi menerima sebuah “kebebasan”, akan tetapi yang lebih tepatnya adalah mereka adalah orang-orang yang “terkekang” yang disebabkan oleh para penguasa yang telah dimabuk oleh sikap arogansi kekuasaan dan sikap fanatisme yang tinggi. Sehingga nilai-nilai toleransi itu dikesampingkan.

Tumbuh dan berkembangnya rasa takut terhadap Islam tersebut juga tak lepas dari peran media yang menurunkan berita-berita yang berhubungan dengan isu jihad dan terorisme, terlebih lagi media-media Barat. Sehingga dengan banyaknya berita-berita seputar isu jihad dan terorisme yang dikonsumsi oleh masyarakat, akhirnya munculnya rasa anti terhadap Islam. Kita lihat, sejak runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) di Amerika pada 11 September 2001 hingga hari ini, hampir seluruh media di dunia tak pernah lepas dari berita-berita yang berhubungan dengan isu-isu terorisme tersebut.

P
eristiwa bom Bali (12 Oktober 2002), meledaknya Hotel JW Marriot (5 Agustus 2003), pengeboman Istanbul (15 Oktober 2003) seolah-olah telah membenarkan opini yang sedang berkembang saat ini bahwa memang benarlah seorang Muslim tersebut dilahirkan sebagai seorang tukang teror, tukang bunuh rakyat sipil yang tak berdosa, tukang buat kekacauan dan lain sebagainya. Sayangnya, kutukan keras tindakan biadab dari para tokoh agama dan ulama Islam yang terkemuka di dunia ini – boleh dikatakan – tak pernah dimuat oleh media-media besar.

Salahkah bila Presiden Chiraq mengeluarkan larangan berjilbab di negaranya? Sebelum palu larangan itu diketuk, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prancis Nicolas Sarkozy sempat mengadakan kunjungan ke Al-Azhar, Mesir guna meminta pendapat dari seorang ulama ternama Al-Imam al-Akbar Syeikh Mohamed Sayyed Tantawi. Dalam kunjungan Mendagri Prancis tersebut, Syeikh Tantawi menjelaskan beberapa pokok syariat Islam yang diantaranya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa memberikan kebebasan kepada setiap pemeluknya. Kemudian beliau juga menegaskan bahwa penggunaan jilbab bagi seorang wanita Muslimah yang sudah dewasa (baligh) adalah wajib. Hal ini didukung oleh firman Allah SWT seperti yang telah penulis sebutkan diatas tadi. Namun bila seseorang Muslimah tersebut tidak memenuhi perintah ini, maka urusan ini dikembalikan kepada Allah SWT.

Namun yang sangat disayangkan adalah bahwa beliau mengatakan bahwa ketentuan itu hanya berlaku bagi wanita Muslimah yang tinggal di negara Muslim, dan pihak luar tidak diperkenakan untuk mengadakan tekanan terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di negara Muslim tersebut. Akan tetapi bila seorang Muslimah tersebut tinggal di negara yang non-Muslim seperti di Prancis misalnya, dimana di negara tersebut diterapkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab, maka itu semua adalah hak negara dan kita juga tidak bisa mencegahnya. Dan akhirnya status melepaskan jilbab bagi wanita Muslimah Prancis adalah darurat. (lihat QS. Al-Baqarah: 173)

Hanya saja, kebijaksanaan sikap yang telah diambil oleh Syeikh Tantawi tersebut terkesan mengejutkan masyarakat dunia Muslim khususnya masyarakat Muslim Prancis. Seolah-olah keputusan yang ditetapkan oleh Syeikh Tantawi menggambarkan betapa beliau tidak memahami dan tidak peduli terhadap kondisi umat Islam Prancis tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa Prancis akan bersikap seimbang dalam menetapkan larangan tersebut, dimana larangan itu tidak hanya berlaku dalam penggunaan kerudung atau jilbab bagi wanita Muslimah saja, akan tetapi larangan tersebut juga berlaku bagi penganut agama Yahudi yang menggunakan kopiah dan tanda salib bagi masyarakat Kristen. Dan larang ini berlaku di semua sekolah negeri Prancis. Dan seperti yang pernah disampaikan oleh Presiden Chiraq pada akhir tahun lalu bahwa larangan tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Sikh India yang juga menggunakan serban sebagai penutup kepala. Padahal, orang-orang Sikh yang tinggal di Prancis hanya beberapa ribu orang saja. Bila dibandingkan dengan jumlah masyarakat Muslim yang mencapai enam juta jiwa dan masyarakat Yahudi sekitar 600.000 jiwa. (Hindustan Times, 12 Januari 2004).

Fakta menunjukkan bahwa jumlah masyarakat Sikh di Prancis tersebut hanyalah minoritas. Akan tetapi mereka telah memiliki “gaung” dan suara yang lantang dalam mengantisipasi sebelum palu larangan untuk Sikh itu diketuk. Chain Singh, pemimpin kuil Gurdwara Singh Sabha di wilayah Bobigny, Prancis telah mengajukan surat yang meminta pengecualian bagi masyarakat Sikh. Di dalam surat tersebut, seperti yang diberitakan oleh The New York Times pada 12 Januari 2004 dinyatakan bahwa "berbeda dengan penggunaan jilbab dalam masyarakat Muslim atau kopiah (songkok kepala) bagi masyarakat Yahudi. Serban dalam masyarakat Syikh bukanlah merupakan simbol agama.” Dalam agama Sikh menuntut setiap laki-laki untuk tidak memangkas atau memotong rambutnya. Akan tetapi tidak menggunakan serban tersebut.

Berbeda dengan Jerman, dimana Mahkamah Konstitusi Jerman sebagaimana yang ditulis oleh Estananto di Pikiran Rakyat (7 Januari 2004) telah mengeluarkan keputusan bahwa guru Muslimah tidak bisa dilarang berjilbab di sekolah-sekolah negeri Jerman bila peraturan yang melarang berjilbab tersebut belum ada. Tokoh-tokoh politik di Jerman menjadikan jilbab ini sebagai simbol fanatisme agama. Hanya saja, penggunaan tanda salib atau simbol budaya Kristen yang lainnya harus dijaga dan itu tidak bisa disamakan dengan penggunaan Jilbab bagi seorang Muslimah.

Hebatnya lagi, pernyataan yang dibuat oleh Presiden Jerman Johannes Rau pada akhir tahun lalu telah mengundang reaksi yang bertentangan dengan para tokoh politik Jerman. Beliau menyatakan bila guru Muslimah tidak dibenarkan untuk menggunakan jilbab, maka lambang-lambang keagamaan seperti pemakaian tanda salib bagi penganut agama Kristen atau penggunaan kopiah bagi yang beragama Yahudi juga semestinya tidak dibenarkan untuk digunakan di sekolah-sekolah negeri di Jerman. Bahkan dalam wawancara dengan televisi ZDF pada 28 Desember 2003, Rau menuturkan bahwa tidak semestinya masyarakat Muslim Jerman yang berjumlah 3,2 juta jiwa tersebut dijadikan sebagai warga negara kedua.

Di Indonesia, masalah penggunaan jilbab ini masih menjadi bahan kontroversi. Apalagi setelah Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan juga berasal dari kalangan intelektual muda NU di dalam tulisannya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18 November 2002) menyebutkan bahwa “Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.”

Disini terdapat cara pandang yang berbeda antara Ulil Abshar Abdalla dengan Jacques Chiraq. Ulil telah menempatkan jilbab sebatas produk “budaya” bangsa Arab, namun di lain pihak Chiraq menjadikan jilbab sebagai sesuatu yang melambangkan agama. Padahal kedua pihak (baca: Ulil dan Chiraq) ini sama-sama mengusung pandangan liberal.

Melihat fenomena yang “tumpang-tindih” diatas, saya masih tetap berada pada QS. Al-Ahzab: 59 diatas tadi. Meskipun pendapat yang mengatakan bahwa jilbab tak lebih dari sekedar produk “budaya” Arab tersebut dapat diterima, akan tetapi bukankan produk “budaya” Arab tersebut juga telah menjadi syariat di dalam Islam? Bahkan saya merasa bersyukur bahwa “fatwa” Prancis yang melarang wanita Muslimah di sana menggunakan jilbab akhirnya “menetas” juga, sebab larangan tersebut telah meyakinkan kita semua bahwa jilbab adalah benar Islami dan bukan hanya sekedar menjaga rambut seperti dalam agama Sikh atau sebatas produk “budaya” bangsa Arab belaka.

Karena itu, bila wanita-wanita Muslimah di Prancis tetap mengutamakan agamanya dan lebih mementingkan akidahnya, maka tidak lama lagi kita akan mendengar wanita-wanita yang mati sebagai syahidah karena mempertahankan jilbabnya. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka kisah meninggalnya Siti Masyithoh, seorang tukang sisir Permaisuri Fir’aun yang menutup lembaran hidupnya di dalam kancah (kuali besar) yang di dalamnya berisikan air panas yang mendidih itu akan terulang kembali. Wa ilallahil musta’an.[]

Zamhasari Jamil, mahasiswa program S-1 pada Department of Islamic Studies di Jamia Millia Islamia, New Delhi, India.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home